Senin, Februari 09, 2009
Siap-Siap Jadi Wartawan Perjuangan
Harus rela desak-desakan demi mendapat sebuah berita
Free Hit Counter
Hari ini, 9 Februari 2009 Hari Pers Indonesia dirayakan. Acara puncak peringatan Hari Pers Nasional di Tenis Indoor Senayan dihadiri Presiden SBY dan sejumlah menteri kabinet, seperti Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Komunikasi dan Informarika M.Nuh, dan Ketua DPR Agung Laksono.Acara dihadiri oleh para insan pers, loper dan agen koran, serta mahasiswa. Puncak hari pers nasional kali ini mengambil tema, "Kemerdekaan Pers dari dan untuk Rakyat". Sebelum acara puncak, digelar gerak jalan dan konvensi nasional bidang ekonomi serta pemilu.
Di tengah gemerlapnya acara, ada ironi dan fakta tak terelakkan yang terjadi di dunia pers.
BANYAK USAHA PERS YANG GULUNG TIKAR!
Mengapa itu bisa terjadi?
Chairman Jawa Pos Group, Dahlan Iskan yang juga Ketua umum SPS Pusat (Serikat Penerbit Surat Kabar) mengatakan, waktu koran hanya lima tahun!
Pembaca koran naik drastis di Amerika Serikat (AS), tapi pembeli koran turun drastis. Demikian juga ”pemirsa laptop” naik drastis dan pemirsa TV turun drastis. Untuk kali pertama dalam sejarah media, pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 AS pada 21 Januari lalu lebih banyak ditonton lewat laptop daripada lewat pesawat televisi.
Naiknya pembaca koran lewat internet dan meningkatnya pemirsa laptop untuk peristiwa besar telah menyusutkan pendapatan iklan kedua jenis media itu. Belum ada usul bagaimana mengatasi ancaman terhadap televisi itu, tapi mulai ada wacana agar perusahaan koran yang mengalami kesulitan keuangan akibat krisis global ini juga di-bailout oleh pemerintah AS. Apalagi, di AS amat terkenal kredo ”lebih baik tidak ada pemerintah daripada tidak ada koran”. Kalau perusahaan mobil saja di-bailout, mengapa pilar demokrasi ini tidak.
Perkembangan lain, TV lokal di AS kini mulai bisa mengalahkan jaringan nasional –khususnya untuk TV berita. Ini karena berita yang nasional-nasional akan menjadi garapan empuk jaringan internet yang dengan lebih mudah ditonton di laptop. Sedangkan naiknya pembaca koran secara elektronik menimbulkan kesulitan besar: pembaca membayar bukan kepada
perusahaan koran, melainkan ke provider internet.
Perusahaan koran belum menemukan cara yang memadai untuk mendapatkan penghasilan dari hasil perubahan cara baca itu. Memang berita koran –terutama dari koran yang reputasinya baik– lebih dipercaya daripada sumber yang bukan dari koran, tapi tetap saja pengguna internet telanjur terbiasa sejak awal dulu bahwa sesuatu yang di internet itu gratis. Padahal, untuk mendapatkan kepercayaan bahwa ”berita koran itu lebih bisa dipercaya” memerlukan biaya. Kelak, kalau semua pembaca koran tidak mau membayar ongkos untuk melahirkan ”berita koran lebih dipercaya” itu? Dari sinilah awalnya mengapa ada wacana bailout untuk surat kabar. Bahkan, sudah ada yang mewacanakan bahwa surat kabar itu kelak dianggap saja sama dengan rumah sakit atau universitas: universitasnya demokrasi dan rumah sakitnya demokrasi. Atau, mungkin mirip rumah sakit yang sekaligus teaching university. Koran bisa seperti RS Tjiptomangunkusumo atau RS dr Sutomo.
Belum ditemukannya bagaimana cara ”membayar” itu antara lain karena selama ini memang tidak pernah dipikirkan. Kalau toh terpikirkan, barulah yang caranya juga tradisional: siapa yang mengakses koran harus berlangganan. Ini tidak efektif karena psikologi isi internet itu gratis. Baru sekarang ini, sekarang ini, bingung. Yakni, setelah terjadi krisis finansial global yang ternyata juga melanda perusahaan surat kabar AS.
Grup surat kabar terkemuka di dunia Chicago Tribune sudah menyatakan bangkrut. Bisa dibayangkan nasib koran yang lebih lemah. The New York Times yang begitu hebat, sedang di ambang jurang yang sama. Utangnya yang hampir jatuh tempo mendekati Rp 40 triliun, sedangkan dana yang siap baru Rp 4 triliun. The New York Times mengalami krisis dana cash yang luar biasa besar.
Mengapa selama ini tidak dipikirkan cara yang ampuh untuk menghubungkan agar pemanfaatan isi koran lewat internet itu bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan koran? Jawabnya jelas: perusahaan koran sudah seperti perusahaan pada umumnya: “mabuk” pasar modal.
Perusahaan koran berlomba mengumumkan semakin tingginya angka hit terhadap koran mereka. Kian banyak orang mengklik kian bangga –meski itu mencerminkan semakin dijauhinya koran edisi cetak mereka. Dengan menggalakkan edisi on line, perusahaan koran itu sebenarnya sudah mendorong agar pembaca meninggalkan edisi cetak. Bertahun-tahun dorongan itu dilakukan dan hasilnya sangat ”baik”: kian banyak orang yang pindah ke on line. Baik menurut ukuran ekonomi saat itu.
Dengan tingginya angka hit sebuah koran, performance mereka di pasar modal semakin baik. Harga sahamnya pun naik drastis. Kenaikan harga saham setiap tahun inilah yang dikejar. Mengejar kenaikan harga saham melalui peningkatan hit di on line lebih mudah daripada memperbesar sirkulasi surat kabar. Usaha memperbesar sirkulasi koran secara tradisional sangatlah sulit: pelaksananya bukan hanya harus pintar, tapi juga harus bekerja keras. Termasuk bekerja keras mengeluarkan keringat di pasar sejak pukul 03.00. Dari segi pemasaran, perusahaan koran tidak ada bedanya dengan tukang sayur: sudah harus ada di pasar sejak sebelum subuh. Sedangkan meningkatkan ”sirkulasi” koran lewat on line meski juga harus pintar, tapi lebih mudah: bisa dikerjakan di ruang AC dengan tidak harus bercucuran keringat. Kalau bisa meningkatkan harga saham dengan cara mudah, mengapa harus melakukannya dengan cara susah payah? Toh, sistem ekonomi pasar di AS saat itu memungkinkan berkembangnya ekonomi yang tidak perlu riil seperti itu dengan penuh gairah.
Itulah gairah yang ”memabukkan”. Maka, ketika tiba-tiba terjadi krisis keuangan dan hal-hal yang tidak riil tidak bisa lagi dijual, bangunan megah itu ternyata seperti rumah-rumahan dari styrofoam: terbang terbawa angin ribut. Ketahuanlah bahwa jumlah pembaca koran yang naik terus itu sebenarnya diikuti dengan turunnya oplah. Iklan pun merosot drastis. Pengguna on line sudah telanjur dibiasakan tidak membayar. Harga saham koran seperti The New York Times terjun bebas: kini sudah mendekati kategori junk bond.
Di Indonesia belum ada koran raksasa yang mengalami kesulitan –karena selama ini mereka itu sebenarnya memang belum pernah benar-benar jadi raksasa. Belum ada koran raksasa yang terjun ke pasar modal. Baru ada tiga koran yang masuk bursa: TEMPO, Republika dan –melalui induk perusahaannya– Seputar Indonesia. Performa harga saham dua koran pertama tidak pernah tinggi –dan karena itu tidak bisa anjlok.
Sedangkan performa koran ketiga sulit dinilai karena yang masuk bursa bukan koran itu sendiri, melainkan induknya.
Boleh dikata, belum ada perusahaan koran di Indonesia yang “mabuk” pasar modal. Sudah ada memang yang baru ingin mau ”mabuk”, tapi sudah keburu ada krisis: Jawa Pos.
Jawa Pos sudah lama mempersiapkan diri masuk pasar modal, tapi selalu ditunda karena ragu-ragu akibat baik-buruknya.
Koran di Indonesia juga masih punya waktu kira-kira lima tahun untuk menghadapi ancaman on line itu. Mengapa lima tahun? Jawabnya ini: akhir tahun depan pembangunan Palapa Ring tahap pertama selesai. Yakni, penanaman jaringan fiber optic sejauh 3.000 km di banyak kota di Indonesia. Dengan jaringan fiber optic yang demikian luas, koridor untuk on line sangat leluasa. Akses internet akan mengalami percepatan yang menggila. Apalagi, kalau Palapa Ring sudah terbangun sempurna lima tahun lagi. “Jalan tol” di bawah tanah itu akan jauh meninggalkan kelancaran jalan tol yang di atas tanah.
Lima tahun ke depan ini adalah tahap yang amat menentukan bagi koran di Indonesia. Maju atau mati. Karena itu, Hari Pers Nasional yang diperingati hari ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana wartawan bisa tetap hidup bersama korannya. Wartawan akan terus hidup, tapi akankah dia kerja gratisan untuk pembacanya di on line? Jangan-jangan itulah saatnya yang disebut era wartawan perjuangan, yakni wartawan yang berjuang menegakkan keadilan, kebenaran dan demokrasi, membela yang tertindas, membongkar kejahatan termasuk korupsi, dan melakukan kontrol sosial yang kuat –tanpa jelas siapa yang harus memberi gaji setiap bulan. Kalau itu terjadi, itulah baru yang disebut “wartawan perjuangan” yang murni.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar