Jumat, Februari 13, 2009
AR Baswedan, Arab Revolusioner
AR BASWEDAN
Abdul Rahman (AR) Baswedan merupakan jurnalis dan politikus yang lahir di kampung Ampel Surabaya, 9 September 1908. Beliau merupakan anak dari pasangan Awad Baswedan dan Aliyah binti Abdullah Jarhum. Kakeknya, Umar bin Muhammad bin Abdullah, berasal dari keluarga syekh terkenal dari Kota Syibam, Hadhramaut.
Baswedan lahir di tengah situasi retaknya struktur tradisional: sayyid, gabili, syekh, dan masakin, yang merupakan bawaan dari Hadhramaut, Yaman Selatan.
Sayyid merupakan strata tertinggi, dengan klaim keturunan Nabi dari Husein. Gabili, suku pemegang senjata dan syekh, elite agama lokal, ada di lapisan tengah. Adapun masakin--orang miskin, lemah, dan asal usulnya tak penting--di strata paling bawah. Tapi, di nusantara, pedagang kelompok masakin yang kaya raya mulai menolak mengakui superioritas sayyid--yang di Hadhramaut sekalipun dicium tangannya.
Ada pula pembagian hadhrami murni atau totok alias wulaiti, dengan indohadhrami atau peranakan alias muwallad. Hadhrami totok kerap dianggap superior. Selain masalah asal usul itu, persoalan itu lebih diperkompleks pemilahan kelompok konservatif dan progresif dalam bidang agama dan pendidikan yang tecermin lewat Jami'at Khair dan Jami'at al Irsyad.
Baswedan yang merupakan Arab peranakan, sejak kecil mengalami berbagai kontradiksi dan konfrontasi. Maka, saat dewasa dia pun tampil dengan ide-ide persamaan. Dia mulai menyerang dominasi Arab totok yang saat itu diakui lebih superior.
Saat menjadi wartawan Sin Tit Po--koran berbahasa Melayu yang merupakan lawan Sin Po, media orang Cina yang mendukung nasionalisme Cina dan Chiang Kai-Shek--dan mingguan Matahari, pandangan AR Baswedan semakin luas. Dia mulai menulis tentang masalah nasionalisme Indonesia.
Selain artikel-artikelnya, Baswedan juga melobi berbagai komunitas hadhrami di Jawa untuk berpartisipasi dalam konferensi yang merupakan cikal bakal lahirnya Partai Arab Indonesia. Organisasi yang dibangun dengan meruntuhkan sekat-sekat ekslusivisme keturunan Arab ini, mengintegrasikan gerakan keturunan Arab ke kancah nasional.
Terintegrasinya nasionalime keturunan Arab ke dalam nasionalisme Indonesia, sebenarnya merugikan keturunan Arab. Sebab, Belanda saat itu memberi hak-hak istimewa kepada mereka, sebagaimana kepada orang Cina. Tapi, jalan inilah yang lebih dipilih oleh AR Baswedan dan kawan-kawan seperjuangannya.
Dalam perjalanan kariernya, Baswedan sendiri mengalami resistensi serupa sewaktu ia diterima bekerja di surat kabar Soeara Oemoem. Bahkan koran Bintang Timoer secara khusus menyoroti dan mempertanyakan penerimaan orang keturunan Arab dalam surat kabar yang berhaluan nasionalis dan diasuh dokter Soetomo itu. Ada satu tesis doktoral yang ditulis oleh Husain Haikal yang menjelaskan bahwa keadaan ini bagian dari politik kolonial yang ingin memisahkan orang Hadrami dari orang Indonesia. Dalam tesis berjudul Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia itu, Haikal melukiskan betapa Baswedan sangat berutang budi kepada dokter Soetomo, yang begitu gigih mendukungnya di Soeara Oemoem.
”Masuknya saya dalam redaksi Soeara Oemoem yang didirektori almarhum itu seperti sudah diduga lebih dulu olehnya. Telah menjadi pertanyaan pihak Indonesia maupun pihak Arab. Bahkan telah menerbitkan polemik antara Soeara Oemoem dan salah satu harian Indonesia di Jakarta. Tapi semua itu tidaklah mengganggu beliau untuk bergeser dari keyakinannya yang suci,” demikian Baswedan mengenang kepergian dokter Soetomo.
Baswedan juga terlibat dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Dia, antara lain, menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Setelah kemerdekaan Baswedan juga sempat menjadi menteri muda penerangan, serta anggota parlemen dan konstituante. Ketika Masjumi dibubarkan oleh Soekarno, Baswedan tetap berjuang bersama tokoh-tokoh Masjumi lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Dia menjadi ketua DDII Yogyakarta dan mengasuh Badan Koordinasi Pengajian Anak-anak (Bakopa) atau Ikatan Khatib.
AR Baswedan meninggal dunia pada 1986 lalu. Meski demikian, jasanya yang mendobrak ekslusivisme dan menyerukan persamaan, tetap relevan dilanjutkan. Pembauran keturunan Arab yang mulus, adalah salah satu jejaknya yang paling nyata. Bukankah tak ada beda antara orang Arab dan orang bukan Arab, kecuali takwa?.n arz/bbs
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar