tag:blogger.com,1999:blog-352543772024-02-20T08:46:03.096+07:00Kebenaran Hanya Milik AllahManusia Itu Gudangnya Salah. Tak Perlu Eker-Ekeran, Gak Perlu Gontok-Gontokan Karena Kebenaran Hanya Milik Allah..Unknownnoreply@blogger.comBlogger22125tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-91260198937016458842009-02-13T17:32:00.006+07:002009-02-19T13:14:43.560+07:00AR Baswedan, Arab Revolusioner<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3qv_qmhOZF9LERrl5SQqFzxlhkV7607_17xj4a8pIqybuB_zw64aE2Vm5vzPZ_owq1_GpPBYL0Dhj608wNfWD9aOgROZM8YkH0i3vbPAsr5oVgdBzo5cA2DjwYISO4peTqab8/s1600-h/AR+BASWEDAN2.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 253px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3qv_qmhOZF9LERrl5SQqFzxlhkV7607_17xj4a8pIqybuB_zw64aE2Vm5vzPZ_owq1_GpPBYL0Dhj608wNfWD9aOgROZM8YkH0i3vbPAsr5oVgdBzo5cA2DjwYISO4peTqab8/s320/AR+BASWEDAN2.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5302228835005816354" /></a><br />AR BASWEDAN<br /><br />Abdul Rahman (AR) Baswedan merupakan jurnalis dan politikus yang lahir di kampung Ampel Surabaya, 9 September 1908. Beliau merupakan anak dari pasangan Awad Baswedan dan Aliyah binti Abdullah Jarhum. Kakeknya, Umar bin Muhammad bin Abdullah, berasal dari keluarga syekh terkenal dari Kota Syibam, Hadhramaut.<br />Baswedan lahir di tengah situasi retaknya struktur tradisional: sayyid, gabili, syekh, dan masakin, yang merupakan bawaan dari Hadhramaut, Yaman Selatan.<br />Sayyid merupakan strata tertinggi, dengan klaim keturunan Nabi dari Husein. Gabili, suku pemegang senjata dan syekh, elite agama lokal, ada di lapisan tengah. Adapun masakin--orang miskin, lemah, dan asal usulnya tak penting--di strata paling bawah. Tapi, di nusantara, pedagang kelompok masakin yang kaya raya mulai menolak mengakui superioritas sayyid--yang di Hadhramaut sekalipun dicium tangannya.<br />Ada pula pembagian hadhrami murni atau totok alias wulaiti, dengan indohadhrami atau peranakan alias muwallad. Hadhrami totok kerap dianggap superior. Selain masalah asal usul itu, persoalan itu lebih diperkompleks pemilahan kelompok konservatif dan progresif dalam bidang agama dan pendidikan yang tecermin lewat Jami'at Khair dan Jami'at al Irsyad.<br />Baswedan yang merupakan Arab peranakan, sejak kecil mengalami berbagai kontradiksi dan konfrontasi. Maka, saat dewasa dia pun tampil dengan ide-ide persamaan. Dia mulai menyerang dominasi Arab totok yang saat itu diakui lebih superior.<br />Saat menjadi wartawan Sin Tit Po--koran berbahasa Melayu yang merupakan lawan Sin Po, media orang Cina yang mendukung nasionalisme Cina dan Chiang Kai-Shek--dan mingguan Matahari, pandangan AR Baswedan semakin luas. Dia mulai menulis tentang masalah nasionalisme Indonesia.<br />Selain artikel-artikelnya, Baswedan juga melobi berbagai komunitas hadhrami di Jawa untuk berpartisipasi dalam konferensi yang merupakan cikal bakal lahirnya Partai Arab Indonesia. Organisasi yang dibangun dengan meruntuhkan sekat-sekat ekslusivisme keturunan Arab ini, mengintegrasikan gerakan keturunan Arab ke kancah nasional.<br />Terintegrasinya nasionalime keturunan Arab ke dalam nasionalisme Indonesia, sebenarnya merugikan keturunan Arab. Sebab, Belanda saat itu memberi hak-hak istimewa kepada mereka, sebagaimana kepada orang Cina. Tapi, jalan inilah yang lebih dipilih oleh AR Baswedan dan kawan-kawan seperjuangannya.<br />Dalam perjalanan kariernya, Baswedan sendiri mengalami resistensi serupa sewaktu ia diterima bekerja di surat kabar Soeara Oemoem. Bahkan koran Bintang Timoer secara khusus menyoroti dan mempertanyakan penerimaan orang keturunan Arab dalam surat kabar yang berhaluan nasionalis dan diasuh dokter Soetomo itu. Ada satu tesis doktoral yang ditulis oleh Husain Haikal yang menjelaskan bahwa keadaan ini bagian dari politik kolonial yang ingin memisahkan orang Hadrami dari orang Indonesia. Dalam tesis berjudul Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia itu, Haikal melukiskan betapa Baswedan sangat berutang budi kepada dokter Soetomo, yang begitu gigih mendukungnya di Soeara Oemoem. <br />”Masuknya saya dalam redaksi Soeara Oemoem yang didirektori almarhum itu seperti sudah diduga lebih dulu olehnya. Telah menjadi pertanyaan pihak Indonesia maupun pihak Arab. Bahkan telah menerbitkan polemik antara Soeara Oemoem dan salah satu harian Indonesia di Jakarta. Tapi semua itu tidaklah mengganggu beliau untuk bergeser dari keyakinannya yang suci,” demikian Baswedan mengenang kepergian dokter Soetomo. <br />Baswedan juga terlibat dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Dia, antara lain, menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).<br />Setelah kemerdekaan Baswedan juga sempat menjadi menteri muda penerangan, serta anggota parlemen dan konstituante. Ketika Masjumi dibubarkan oleh Soekarno, Baswedan tetap berjuang bersama tokoh-tokoh Masjumi lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Dia menjadi ketua DDII Yogyakarta dan mengasuh Badan Koordinasi Pengajian Anak-anak (Bakopa) atau Ikatan Khatib.<br />AR Baswedan meninggal dunia pada 1986 lalu. Meski demikian, jasanya yang mendobrak ekslusivisme dan menyerukan persamaan, tetap relevan dilanjutkan. Pembauran keturunan Arab yang mulus, adalah salah satu jejaknya yang paling nyata. Bukankah tak ada beda antara orang Arab dan orang bukan Arab, kecuali takwa?.n arz/bbsUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-72063202126580523582009-02-09T23:01:00.009+07:002009-02-13T17:42:46.336+07:00Resiko Mati, Gaji Setengah Hati<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3F9IKofkwQIvAFiqHRgS1WuPC8pHPybtIHaFx9H431U6PclhCiTv1TjvSvxBL-ch82qy94G65v1ZABs-l2IVWezica165u2jRXsgSpMYXEwqSqW2ZWqcDqQrcrNhKnTWhTzZD/s1600-h/utama.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 270px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3F9IKofkwQIvAFiqHRgS1WuPC8pHPybtIHaFx9H431U6PclhCiTv1TjvSvxBL-ch82qy94G65v1ZABs-l2IVWezica165u2jRXsgSpMYXEwqSqW2ZWqcDqQrcrNhKnTWhTzZD/s320/utama.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5300828582071740226" /></a><br /><br /><span style="font-style:italic;">Wartawan Itu Banyak Uang<br />Wartawan Itu Tau Banyak Hal<br />Wartawan Itu Tukang Ngarang<br /></span><br /><br />Itu persepsi jamak yang dianut banyak orang tentang profesi wartawan. Padahal, tak semua wartawan seperti itu. Banyak wartawan yang hidupnya pas-pasan atau bahkan kekurangan. Banyak wartawan yang hanya tau sedikit hal karena tak punya kesempatan dan dikebiri untuk tau banyak hal. Dan kalau yang terakhir, memang harus diakui tak sedikit wartawan yang tukang ngarang.<br />Pers, termasuk wartawan merupakan bagian dari pilar demokrasi keempat. Tugas dan tanggungjawab wartawan pun tak main-main meski bayarannya terkadang main-main.<br />Saya pernah dengar, Aliansi Jurnalis Indonesia Surabaya pada tahun 2008 pernah bikin angket untuk cari tau seberapa besar sih gaji wartawan di Surabaya dan berapa gaji wartawan yang ideal? Hasilnya ternyata tak mengejutkan bagi yang tau seluk beluk dunia pers. Hasil angket itu menyatakan gaji wartawan di Surabaya masih di bawah UMK tahun 2008 yang sebesar Rp 850 ribu per bulan. Masih banyak wartawan yang digaji antara Rp 400 sampe Rp 700 ribu per bulan. Bahkan, ada juga yang nggak digaji. Parahnya lagi, sudah nggak digaji masih ditarget cari iklan! Puihhh, susah banget jadi wartawan.<br />Padahal, resiko yang harus ditanggung pelaku profesi ini nggak main-main. Mulai dari yang ringan seperti teror, luka kekerasan ringan hingga paling parah mati. Dan pualing parah lagi udah dianggep mati tapi nggak tau bagaimana matinya. Contoh: wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin. Pengen tau lebih lengkap tentang kisah Udin? Klik http://id.wikipedia.org/wiki/Fuad_Muhammad_Syafruddin.<br />Suherman dan Muhammad Guntur, kameramen Lativi dan SCTV, wafat ketika meliput tenggelamnya KM Levina. <br />Seandainya benarlah cerita film Superman Return, maka pasti Clark Kent akan lebih memilih tugas jurnalistiknya di Indonesia. Walau tak menginginkan Pulitzer Award, sebuah penghargaan tertinggi di dunia pers Amerika, pastilah berita-beritanya mengenai Indonesia akan diganjar Pulitzer.<br />Clark Kent memang tidak dilahirkan oleh Jor-El, ayahnya dari Planet Crypton, untuk menjadi penakut dan pengecut. Ia dilengkapi kemampuan terbang, mata yang tembus pandang dan bisa mengeluarkan sinar laser, tenaganya dapat mengangkat planet bumi, kebal senjata apapun dan mampu melesat melebihi kecepatan suara dan cahaya. Tak ada alasan bagi Clark Kent untuk takut. Dan, ia pasti ke Indonesia.<br />Mengapa Indonesia? “Jangan tanya, tebak saja,” tulis Mustofa Bisri dalam Negeri Teka-teki. Clark Kent tak butuh banyak alasan, cukup satu saja: ia dibutuhkan di sini.<br />Kemampuan terbangnya diperlukan karena Indonesia bukanlah Amerika, yang sistem transportasinya sudah cukup bagus. Kalaupun ada kecelakaan pesawat di negara itu, itu karena pembajakan. Jadi, bukan karena operatornya menjadi pegawai karena membayar sejumlah uang, juga bukan karena radar dan perlengkapan bandara dibeli melalui penunjukan langsung ala Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Ketua KPK Taufiqurahhman Ruki, dan pasti bukan karena pesawatnya sudah uzur dan ongkos maintenance-nya dipangkas hingga kemudian tiket pesawat bisa jadi lebih murah.<br />Jadi bukan tanpa alasan, bila Taufik Ismail dalam Presiden Boleh Pergi Presiden Boleh Datang pernah berujar pedas, Kini simaklah sebuah kisah, seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah. Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, Honda metalik, dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah. Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika. Ia pun tak perlu naik kereta api. Malah, Clark Kent dibutuhkan untuk membentangkan badannya di bantalan rel, agar rel kereta api yang sering dicuri orang di sini tidak mengakibatkan kereta keluar jalur. Sang Superman juga dibutuhkan terutama agar ia tidak terlambat mengejar deadline berita hanya gara-gara jalan protokol tidak lebih bagus dari jalan kecamatan, kabupaten, propinsi maupun nasional. Dengan demikian, ia juga bisa menghindari rentetan kecelakaan karena jalan-jalan itu sering digali Badan Usaha Milik Negara (seperti PLN dan Telkom) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (seperti PDAM). Dan, terutama agar ia tidak dimaki orang ketika menyeberang jalan walau lampu lalu lintas sedang berwarna merah.<br />Dus, mata supernya juga sangat diidam-idamkan di negeri ini. Sehingga bila ada kebijakan sekolah lima hari, ia bisa melihat betapa sekolah-sekolah madrasah sedang diambang kehancuran karena siswa-siswanya lebih sibuk dan sudah lelah belajar di sekolah terpadu ataupun yang menerapkan one-day school. Nantinya, mata super ini juga bisa meneliti, kalau tiba-tiba suatu fraksi partai politik di DPR dan DPRD menolak pertanggungjawaban penguasa, maka apakah partai itu juga menolak dana bantuan partai yang selalu dianggarkan dalam APBN dan APBD.<br />Mata superman yang bisa mengeluarkan sinar laser itu, pastilah diperlukan untuk menerobos dinding-dinding protokoler dan rahasia yang bukan rahasia. Ini karena lembaga komunikasi politik antara rakyat dan penguasanya serta wakilnya kini pun harus dipisah oleh pagar besi seperti tampak di kantor DPRD.<br />Ini juga karena untuk masuk kantor penguasa daerah tingkat satu, haruslah lewat detektor dan meninggalkan KTP. Padahal siapa pun tahu, urusan administrasi pemerintahan seperti KTP, tidak semua rakyat punya. Kadang pun satu orang bisa lima KTP, tergantung kebutuhannya apa. Bila untuk mencairkan dana Biaya Langsung Tunai (BLT) dipakailah KTP miskin, tapi bila hendak membikin curicullum vitae atau mengurus surat nikah, maka dipakailah KTP yang bertuliskan pejabat ataupun pengusaha. Jadi wajar saja bila Biro Pusat Statistik (BPS), dinas kependudukan, atau bahkan KPU pun bingung berapa sebenarnya jumlah penduduk.<br />Tenaga super Clark Kent juga dibutuhkan wartawan Indonesia. Itu karena sumber gizi wartawan tak cukup bagi dirinya apalagi bagi keluarga dan handai tolannya. Namun, wartawan di daerah berkembang dan negara miskin, memang tak sepatutnya pula menjadi kaya. Kalaupun ia kaya, maka tak patut pula ia dicurigai telah menjual informasi penting dan rahasia kepada penguasa ataupun mengolah berita yang “wangi”. Mungkin saja ia sudah pintar sedikit dan membuka kedai sampah di depan rumahnya. Kalau dia sampai membuka plaza, tentulah statusnya sebagai wartawan tidak diperlukan lagi.<br />Sistem kekebalan tubuh superman juga dibutuhkan di sini. Pasalnya, Undang-undang Pokok Pers belumlah berdiri layaknya sebuah pokok yang kuat dan tahan banting. Kematian Udin wartawan Bernas, sampai sekarang masihlah menjadi misteri, demikian juga Eliuddin wartawan Berita Sore di Teluk Dalam, Nias. Kantor wartawan juga sampai harus didatangi mahasiswa karena mahasiswa itu merasa dirugikan ketika pejabat kampusnya diberitakan terlibat korupsi dan manipulasi. Wartawan memang tak pantas untuk ditakuti. Taufik Ismail saja dalam puisinya takut ’66, takut ’98 tak menghitung wartawan.<br />Tak percaya? Inilah kata Taufik Ismail soal takut itu, /mahasiswa takut pada dosen/ dosen takut pada dekan/ dekan takut pada rektor/ rektor takut pada menteri/ menteri takut pada presiden/presiden takut pada mahasiswa”<br />Lucunya, sudah tak masuk dalam kategori yang ditakuti, para wartawan sendiri pun kadang-kadang harus saling berkelahi karena “tuan” yang berbeda-beda.<br />Kecepatan Superman juga menjadi barang langka di sini. Kegesitan diperlukan untuk mengimbangi kelihaian seorang politisi atau kandidat penguasa yang sering dikatakan “curi start”. Selentingan yang mengatakan, ketika seorang pejabat disumpah pertama kali maka di situlah kampanye untuk periode keduanya bermula, sudah berurat-berakar di daerah ini. Kecepatan dalam melihat dan menangkap peluang-peluang serta mempraktekkan korupsi menjadi syarat utama untuk menjadi pejabat di Indonesia.<br />Di negeri yang subur ini, hanya ada dua kontestan terdepan dalam soal kecepatan, yaitu pertambahan orang miskin dan pertumbuhan koruptor. 30 tahun lalu, Rendra sudah mengatakan ini dalam bait-bait Sajak Pertemuan Mahasiswa. Bacalah bait satirnya ini: kenapa maksud baik dilakukan/ tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya/ tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota/ perkebunan yang luas/ hanya menguntungkan segolongan kecil saja/ alat-alat kemajuan yang diimpor/ tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.<br />Marilah berbicara yang tak masuk akal karena logika sudah tak lagi diperlukan. Jangan bertanya mengapa karena Mustofa Bisri sudah bilang ini memang negeri teka-teki. Katanya, “jangan tanya siapa/ membunuh buruh dan wartawan/ siapa merenggut nyawa/ yang dimuliakan Tuhan/ jangan tanya mengapa,/ tebak saja.”<br />Ah, seandainya saja Suherman dan Muhammad Guntur serta wartawan lainnya yang ikut meliput tenggelamnya KM Levina, tidak meliput ke sana.<br />Seandainya saja manusia Indonesia tanggap bahwa tenggelamnya kapal bukan karena ditelan naga laut.<br />Seandainya saja, kapal-kapal itu telah mengalami pemeriksaan dan uji kelayakan. Seandainya pejabat yang meluluskan uji kelayakan itu kuat imannya dalam mengambil keputusan.<br />Seandainya atasannya pun tak salah memilih orang. Dan atasan atasannya itu melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya yang satu lagi. Dan seandainya, atasan yang satu lagi itu, benar-benar melaksanakan amanah yang diberikan orang-orang miskin, si kaya, anak-anak yatim, para mahasiswa, wartawan, seniman, para garong, orang cacat, TKI dan TKW, dan seluruhnya.<br />Dan seandainya pula orang-orang yang memilih para wakil dan pemimpinnya ini, sadar terhadap orang dipilihnya, dan bukan karena pesona, uang, dan keangkerannya.<br />Ah, seandainya tak ada keyakinan akan adanya “tuah” itu, maka seorang politisi pun tak harus melontarkan “ruwatan penguasa”. “Ada republik rasa kerajaan,” sitir Mustofa dalam Zaman Kemajuan.<br />Seandainya itu terjadi, mungkin Clark Kent alias Superman alias Kar-el tak perlu diundang ke mari. Karena ia pasti tak paham soal doa, apalagi Doa Orang-orang Lapar-nya Rendra. Tapi, seandainya Clark Kent si wartawan itu percaya akan doa, maka dengarkanlah rintihan Mustofa Bisri dalam Doa.<br />kami tak berani menatap langit<br />bumi yang terbaring<br />terus mengerang<br />menghisap air mata kami<br />( tapi tak menghilangkan, sayang<br />bahkan menambah dahaga ) <br />Selamat jalan, para wartawan…! (*)Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-38198542234158985712009-02-09T22:31:00.005+07:002009-02-19T13:11:10.353+07:00Siap-Siap Jadi Wartawan Perjuangan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYCa15SbydHvNfuRYKS1JpDWrD7aVrY2lLcP4RtjXvhUQQSoN1UB-6mYRVUITyFaYYWw4yTIvP4mfNybFIGqP3KAGD0PUFhTz8rvGh_u7WmQSi_WzRAT2EvTSKcZKDVFDU6vMq/s1600-h/wartawan-2.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 258px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYCa15SbydHvNfuRYKS1JpDWrD7aVrY2lLcP4RtjXvhUQQSoN1UB-6mYRVUITyFaYYWw4yTIvP4mfNybFIGqP3KAGD0PUFhTz8rvGh_u7WmQSi_WzRAT2EvTSKcZKDVFDU6vMq/s320/wartawan-2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5300822876118903234" /></a><br /><br />Harus rela desak-desakan demi mendapat sebuah berita<br /><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Hari ini, 9 Februari 2009 Hari Pers Indonesia dirayakan. Acara puncak peringatan Hari Pers Nasional di Tenis Indoor Senayan dihadiri Presiden SBY dan sejumlah menteri kabinet, seperti Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Komunikasi dan Informarika M.Nuh, dan Ketua DPR Agung Laksono.Acara dihadiri oleh para insan pers, loper dan agen koran, serta mahasiswa. Puncak hari pers nasional kali ini mengambil tema, "Kemerdekaan Pers dari dan untuk Rakyat". Sebelum acara puncak, digelar gerak jalan dan konvensi nasional bidang ekonomi serta pemilu.<br />Di tengah gemerlapnya acara, ada ironi dan fakta tak terelakkan yang terjadi di dunia pers. <br />BANYAK USAHA PERS YANG GULUNG TIKAR! <br />Mengapa itu bisa terjadi? <br />Chairman Jawa Pos Group, Dahlan Iskan yang juga Ketua umum SPS Pusat (Serikat Penerbit Surat Kabar) mengatakan, waktu koran hanya lima tahun!<br />Pembaca koran naik drastis di Amerika Serikat (AS), tapi pembeli koran turun drastis. Demikian juga ”pemirsa laptop” naik drastis dan pemirsa TV turun drastis. Untuk kali pertama dalam sejarah media, pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 AS pada 21 Januari lalu lebih banyak ditonton lewat laptop daripada lewat pesawat televisi. <br />Naiknya pembaca koran lewat internet dan meningkatnya pemirsa laptop untuk peristiwa besar telah menyusutkan pendapatan iklan kedua jenis media itu. Belum ada usul bagaimana mengatasi ancaman terhadap televisi itu, tapi mulai ada wacana agar perusahaan koran yang mengalami kesulitan keuangan akibat krisis global ini juga di-bailout oleh pemerintah AS. Apalagi, di AS amat terkenal kredo ”lebih baik tidak ada pemerintah daripada tidak ada koran”. Kalau perusahaan mobil saja di-bailout, mengapa pilar demokrasi ini tidak. <br />Perkembangan lain, TV lokal di AS kini mulai bisa mengalahkan jaringan nasional –khususnya untuk TV berita. Ini karena berita yang nasional-nasional akan menjadi garapan empuk jaringan internet yang dengan lebih mudah ditonton di laptop. Sedangkan naiknya pembaca koran secara elektronik menimbulkan kesulitan besar: pembaca membayar bukan kepada <br />perusahaan koran, melainkan ke provider internet. <br />Perusahaan koran belum menemukan cara yang memadai untuk mendapatkan penghasilan dari hasil perubahan cara baca itu. Memang berita koran –terutama dari koran yang reputasinya baik– lebih dipercaya daripada sumber yang bukan dari koran, tapi tetap saja pengguna internet telanjur terbiasa sejak awal dulu bahwa sesuatu yang di internet itu gratis. Padahal, untuk mendapatkan kepercayaan bahwa ”berita koran itu lebih bisa dipercaya” memerlukan biaya. Kelak, kalau semua pembaca koran tidak mau membayar ongkos untuk melahirkan ”berita koran lebih dipercaya” itu? Dari sinilah awalnya mengapa ada wacana bailout untuk surat kabar. Bahkan, sudah ada yang mewacanakan bahwa surat kabar itu kelak dianggap saja sama dengan rumah sakit atau universitas: universitasnya demokrasi dan rumah sakitnya demokrasi. Atau, mungkin mirip rumah sakit yang sekaligus teaching university. Koran bisa seperti RS Tjiptomangunkusumo atau RS dr Sutomo. <br />Belum ditemukannya bagaimana cara ”membayar” itu antara lain karena selama ini memang tidak pernah dipikirkan. Kalau toh terpikirkan, barulah yang caranya juga tradisional: siapa yang mengakses koran harus berlangganan. Ini tidak efektif karena psikologi isi internet itu gratis. Baru sekarang ini, sekarang ini, bingung. Yakni, setelah terjadi krisis finansial global yang ternyata juga melanda perusahaan surat kabar AS. <br />Grup surat kabar terkemuka di dunia Chicago Tribune sudah menyatakan bangkrut. Bisa dibayangkan nasib koran yang lebih lemah. The New York Times yang begitu hebat, sedang di ambang jurang yang sama. Utangnya yang hampir jatuh tempo mendekati Rp 40 triliun, sedangkan dana yang siap baru Rp 4 triliun. The New York Times mengalami krisis dana cash yang luar biasa besar. <br />Mengapa selama ini tidak dipikirkan cara yang ampuh untuk menghubungkan agar pemanfaatan isi koran lewat internet itu bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan koran? Jawabnya jelas: perusahaan koran sudah seperti perusahaan pada umumnya: “mabuk” pasar modal. <br />Perusahaan koran berlomba mengumumkan semakin tingginya angka hit terhadap koran mereka. Kian banyak orang mengklik kian bangga –meski itu mencerminkan semakin dijauhinya koran edisi cetak mereka. Dengan menggalakkan edisi on line, perusahaan koran itu sebenarnya sudah mendorong agar pembaca meninggalkan edisi cetak. Bertahun-tahun dorongan itu dilakukan dan hasilnya sangat ”baik”: kian banyak orang yang pindah ke on line. Baik menurut ukuran ekonomi saat itu. <br />Dengan tingginya angka hit sebuah koran, performance mereka di pasar modal semakin baik. Harga sahamnya pun naik drastis. Kenaikan harga saham setiap tahun inilah yang dikejar. Mengejar kenaikan harga saham melalui peningkatan hit di on line lebih mudah daripada memperbesar sirkulasi surat kabar. Usaha memperbesar sirkulasi koran secara tradisional sangatlah sulit: pelaksananya bukan hanya harus pintar, tapi juga harus bekerja keras. Termasuk bekerja keras mengeluarkan keringat di pasar sejak pukul 03.00. Dari segi pemasaran, perusahaan koran tidak ada bedanya dengan tukang sayur: sudah harus ada di pasar sejak sebelum subuh. Sedangkan meningkatkan ”sirkulasi” koran lewat on line meski juga harus pintar, tapi lebih mudah: bisa dikerjakan di ruang AC dengan tidak harus bercucuran keringat. Kalau bisa meningkatkan harga saham dengan cara mudah, mengapa harus melakukannya dengan cara susah payah? Toh, sistem ekonomi pasar di AS saat itu memungkinkan berkembangnya ekonomi yang tidak perlu riil seperti itu dengan penuh gairah. <br />Itulah gairah yang ”memabukkan”. Maka, ketika tiba-tiba terjadi krisis keuangan dan hal-hal yang tidak riil tidak bisa lagi dijual, bangunan megah itu ternyata seperti rumah-rumahan dari styrofoam: terbang terbawa angin ribut. Ketahuanlah bahwa jumlah pembaca koran yang naik terus itu sebenarnya diikuti dengan turunnya oplah. Iklan pun merosot drastis. Pengguna on line sudah telanjur dibiasakan tidak membayar. Harga saham koran seperti The New York Times terjun bebas: kini sudah mendekati kategori junk bond. <br />Di Indonesia belum ada koran raksasa yang mengalami kesulitan –karena selama ini mereka itu sebenarnya memang belum pernah benar-benar jadi raksasa. Belum ada koran raksasa yang terjun ke pasar modal. Baru ada tiga koran yang masuk bursa: TEMPO, Republika dan –melalui induk perusahaannya– Seputar Indonesia. Performa harga saham dua koran pertama tidak pernah tinggi –dan karena itu tidak bisa anjlok. <br />Sedangkan performa koran ketiga sulit dinilai karena yang masuk bursa bukan koran itu sendiri, melainkan induknya.<br />Boleh dikata, belum ada perusahaan koran di Indonesia yang “mabuk” pasar modal. Sudah ada memang yang baru ingin mau ”mabuk”, tapi sudah keburu ada krisis: Jawa Pos. <br />Jawa Pos sudah lama mempersiapkan diri masuk pasar modal, tapi selalu ditunda karena ragu-ragu akibat baik-buruknya. <br />Koran di Indonesia juga masih punya waktu kira-kira lima tahun untuk menghadapi ancaman on line itu. Mengapa lima tahun? Jawabnya ini: akhir tahun depan pembangunan Palapa Ring tahap pertama selesai. Yakni, penanaman jaringan fiber optic sejauh 3.000 km di banyak kota di Indonesia. Dengan jaringan fiber optic yang demikian luas, koridor untuk on line sangat leluasa. Akses internet akan mengalami percepatan yang menggila. Apalagi, kalau Palapa Ring sudah terbangun sempurna lima tahun lagi. “Jalan tol” di bawah tanah itu akan jauh meninggalkan kelancaran jalan tol yang di atas tanah.<br />Lima tahun ke depan ini adalah tahap yang amat menentukan bagi koran di Indonesia. Maju atau mati. Karena itu, Hari Pers Nasional yang diperingati hari ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana wartawan bisa tetap hidup bersama korannya. Wartawan akan terus hidup, tapi akankah dia kerja gratisan untuk pembacanya di on line? Jangan-jangan itulah saatnya yang disebut era wartawan perjuangan, yakni wartawan yang berjuang menegakkan keadilan, kebenaran dan demokrasi, membela yang tertindas, membongkar kejahatan termasuk korupsi, dan melakukan kontrol sosial yang kuat –tanpa jelas siapa yang harus memberi gaji setiap bulan. Kalau itu terjadi, itulah baru yang disebut “wartawan perjuangan” yang murni.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-30722703140649073742009-02-09T21:17:00.005+07:002009-02-09T21:25:18.057+07:00Menjadi Manusia Merdeka<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLS-1SRzstjANULiZa81hr8KISV5LbosTK-dusQoisNUzzwNlCS1tP3ur1cc5KUshLiAQPJ3iVFvKxnO92eLJGwvjjuh6fLstSfMvkY31oxWCagMuHzs6BuWw0Xj5zgFLofRyH/s1600-h/P1190610.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLS-1SRzstjANULiZa81hr8KISV5LbosTK-dusQoisNUzzwNlCS1tP3ur1cc5KUshLiAQPJ3iVFvKxnO92eLJGwvjjuh6fLstSfMvkY31oxWCagMuHzs6BuWw0Xj5zgFLofRyH/s320/P1190610.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5300802260947176770" /></a><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Rabu, 17 Desember 2008 merupakan hari terakhir saya berkarier di Surabaya Mandiri Group. Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai redaktur di koran lokal yang kini berkembang pesat itu. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena ada konflik dengan sesama karyawan, bukan karena sedang marah atau bukan pula dalam situasi yang tidak menyenangkan karena dipindah halaman yang saya senangi. <br />Mungkin terasa aneh pada posisi itu tiba-tiba saya mengundurkan diri.<br /><br />Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit. Pertama, ketika saya memutuskan keluar dari Republika. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari SMG.<br /><br />Jujur saja, sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari SMG. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese. Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.<br /><br />Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya dipindahkan oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.<br /><br />Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.<br /><br />Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari SMG. Keluar dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari keju itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti lentera jiwa saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.<br /><br />Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul Lentera Hati yang dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang. Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang sudah menduduki posisi lumayan di suatu perusahaan, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa lentera jiwanya ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.<br /><br />Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya. Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup. "Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya," ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon masih penuh enerji. Dinamis. Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-60137529993267040242008-11-09T16:45:00.007+07:002008-11-09T17:38:19.896+07:00Lokalisasi Dolly: Dengan Rp 150 Ribu, Bisa Kencani PSK ‘Bau Kencur’<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipEHlvOMOsdGQArEaPViiNBOGA1DpgR2fFEpMEG5WA6S90fcJOZMXBp-q9xRU0UAA0RqzXfjoai-26lh2ZXGhCPIlxP5xlWuQ1gGrPuDUUWv3ZQyeIAO_FXeEU1QiLFIGZH6rv/s1600-h/dolly+saat+malam2.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 308px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipEHlvOMOsdGQArEaPViiNBOGA1DpgR2fFEpMEG5WA6S90fcJOZMXBp-q9xRU0UAA0RqzXfjoai-26lh2ZXGhCPIlxP5xlWuQ1gGrPuDUUWv3ZQyeIAO_FXeEU1QiLFIGZH6rv/s320/dolly+saat+malam2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266604494872148914" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdwEGlDPLxkWBlwM1M-DdMiOe6za-eTrNkRE8tOX6_IYAxDvfkA_OMQ8DJlJBAn0aZiYr2i_oG2SQeeHUx958qNuLv9C-w2EdZUDtypc6q8Z-V77jnowUsxFYR-MxLXLQ_2QtX/s1600-h/dolly+saat+malam.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 213px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdwEGlDPLxkWBlwM1M-DdMiOe6za-eTrNkRE8tOX6_IYAxDvfkA_OMQ8DJlJBAn0aZiYr2i_oG2SQeeHUx958qNuLv9C-w2EdZUDtypc6q8Z-V77jnowUsxFYR-MxLXLQ_2QtX/s320/dolly+saat+malam.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266604308534190130" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxNgFZY5vBD6zz6H0eTMENf07ik6wD_KGFqhqO7VjKTjfs2p1u4XXGxWD4OvZvAplVjxrcWHhmk10o9aOXHa8nZMhNw7Epqr6MbYDlzuPl04O5WqeGE8cSEbekVAAsMti3_Iqf/s1600-h/dolly90-an.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 194px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxNgFZY5vBD6zz6H0eTMENf07ik6wD_KGFqhqO7VjKTjfs2p1u4XXGxWD4OvZvAplVjxrcWHhmk10o9aOXHa8nZMhNw7Epqr6MbYDlzuPl04O5WqeGE8cSEbekVAAsMti3_Iqf/s320/dolly90-an.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266604105728219570" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0XzXfBFqk4AOKuBuDr4FMZaeGlNKz_L7nYos6bPTfhOUYJxoxhSZaGklP9VR9EDkLDs4bLOxm4VnOY7-y4HcHcyhA0cwPKbOMt-BWT72w52QxG3xC2RJ1eOlZBcDrxwMtLHsU/s1600-h/akuarium+dolly.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 272px; height: 208px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0XzXfBFqk4AOKuBuDr4FMZaeGlNKz_L7nYos6bPTfhOUYJxoxhSZaGklP9VR9EDkLDs4bLOxm4VnOY7-y4HcHcyhA0cwPKbOMt-BWT72w52QxG3xC2RJ1eOlZBcDrxwMtLHsU/s320/akuarium+dolly.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266603804598963314" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwoAHR3_rCDFhLAeO_Fb9YaOesdETc1-syz7X3eoATY1Uk-4PJD_jKC9iP9Gcsxm_1yABf9dUTTJWlJl8HpuUybA2zBTo41TkJXg7m8CmW0LrM6llD5H0HwT4N6P4arj6NRkf0/s1600-h/dagangan+dolly+(3).jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 250px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwoAHR3_rCDFhLAeO_Fb9YaOesdETc1-syz7X3eoATY1Uk-4PJD_jKC9iP9Gcsxm_1yABf9dUTTJWlJl8HpuUybA2zBTo41TkJXg7m8CmW0LrM6llD5H0HwT4N6P4arj6NRkf0/s320/dagangan+dolly+(3).jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266603659063935330" /></a><br /><br /><br /><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br /><br />Surabaya adalah Kota Pahlawan. Surabaya adalah Lontong Balap dan Semanggi. Surabaya adalah Dolly. Citra itulah yang tertanam di benak warga luar Surabaya, dan bahkan mungkin luar negeri. Keberadaan lokalisasi Dolly sudah menjadi bagian dari ikon Surabaya. <br />Para pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota ini kalau belum mampir ke sana.<br />Sore itu, Dolly mulai menggeliat dari tidurnya. Sejumlah lelaki berperawakan besar menyiapkan dan membersihkan wisma-wisma. Ada yang menyapu, membersihkan kaca, dan bahkan mengepel lantai. Di dalam wisma, beberapa gadis muda dan seksi berdandan dan bercanda dengan sebaya. <br />Itulah sebagian potret lokalisasi Dolly. Lokalisasi ini kini menjadi favorit karena lokasinya yang strategis. Atraksi penawaran PSK dengan memajang mereka dalam etalase kaca seperti ”ikan dalam akuarium” punya daya tarik tersendiri. Meski tak tampak ada papan nama bertuliskan ”Dolly”, daerah itu menjadi magnet yang menggaet para lelaki hidung belang.<br />Ada sedikitnya 58 wisma di Dolly. Wisma-wisma ini berlomba-lomba menawarkan ‘barang’ dagangan dengan beragam cara. Selain selalu menghadirkan ‘barang’ baru, pemilik wisma juga merekrut makelar atau calo. Jangan heran jika setiap melintas di sini tangan Anda ditarik-tarik untuk sekadar melihat ‘barang’ yang mereka tawarkan.<br />Berdasarkan data yang dimiliki Yayasan Abdi Asih, jumlah PSK di sini sedikitnya 221 orang. “Kemungkinan bertambah dan kecil kemungkinan berkurang karena itu data tahun 2007,” kata Vera, aktivis Yayasan Abdi Asih, kemarin. <br />Karena kualitas ‘barang’ lebih baik ketimbang lokalisasi lain, maka jangan heran jika tarifnya lebih mahal. Mereka mematok tarif antara Rp 75 ribu – Rp 150 ribu per jam. <br />Semakin muda dan cantik, semakin mahal pula tarifnya. “Terserah mau main berapa kali. Yang penting satu jam segitu,” ujar Dewi, salah satu PSK Dolly.<br />PSK-PSK itu berasal dari penjuru Indonesia. Ada yang datang dari Bandung, Bogor, Sukabumi, dan bahkan Kalimantan. “Sekarang yang lagi ngetrend dari Sukabumi. Ceweknya cakep-cakep, bersih, dan nggak rewel,” ujar Kartono, salah satu makelar PSK di Dolly.<br />Usia PSK di sini banyak yang masih ‘bau kencur.’ Dalam operasi yustisi yang sering dilakukan petugas memang lebih 17 tahun. Padahal, menurut Kartono, banyak PSK yang masih berusia di bawah 17 tahun. Bagaimana mereka bisa ada di sini meski masih belia?. “Semua bisa diatur mas. Sing penting lhak duwike. Nek onok dhuwik, opo sih sing gak isok diakali,” katanya sembari tersenyum. Banyak juga PSK yang ada di sana sebenarnya korban penipuan sindikat perdagangan anak. Salah satunya Dhani (17 tahun). PSK asal Blitar ini mengaku korban penipuan seorang lelaki yang dikenalnya di Terminal Bungurasih. Dua tahun lalu, ia nekat mengadu nasib di Surabaya karena kampung halamannya tak lagi bisa diharapkan. Tujuannya, bekerja di kawasan Perak di mana salah satu rekannya bekerja di sana sebagai karyawan toko. “Awalnya sedih. Tapi setelah dipikir-pikir, rasanya kok memang lebih enak. Banyak uang dengan sedikit keringat,” katanya sembari tertawa lepas. <br />Dalam sehari, biasanya ia melayani antara 2-3 tamu dengan tariff Rp 100 ribu. Uang yang didapat, kata dia, masih dipotong Rp 30 ribu untuk ‘maminya.’ Kalau dirata-rata, dalam semalam dia minimal mendapat Rp 140 ribu. “Kadang ada tamu yang baik dan memberi uang lebih,” katanya.<br />Meski sudah mendapat uang berlebih, ia bertekad untuk keluar dari Dolly setelah hutangnya pada pemilik wisma lunas. “Awal bekerja saya dikasih uang Rp 10 juta. Uang itu sudah habis untuk beli sapi, baju dan handphone,” tandasnya. <br />Dolly memang punya sejarah unik, lokasi strategis, dan cara menjajakan pelacur yang dramatis. Pada mulanya Dolly hanyalah kawasan pemakaman China di daerah pinggiran kota yang sepi. Tahun 1960-an, makam itu banyak dibongkar untuk dijadikan hunian.<br />Tahun 1967, seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina, Dolly Khavit, mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang Timur I. Lantaran dianggap sebagai perintis, Dolly kemudian diabadikan sebagai nama daerah itu. ”Dari hanya beberapa wisma, Dolly lantas berkembang menjadi kawasan pelacuran yang ramai tahun 1980-an,” kata Sugeng, mantan germo di Dolly.n kha/arzUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-82708690141142523422008-11-09T16:38:00.002+07:002008-11-09T16:41:30.239+07:00Lokalisasi Jarak: Esek-eseknya Murah, Dan Lain-lainnya Bikin Kantong Jebol<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimDsHFr3oAAKIp6Yl4m9NuyTtsoYydLqVQQv_mapyweCPo9Spx74s4OxZr3aKWwL4xBhyphenhyphenajNPRMm9KLD09LpfcCDQmYrIBiK1lpmdp6or8bhvkroBfFgi36fEutmk8VvGdNx52/s1600-h/suasana+jarak+sekitar+jam+7+pagi.jpeg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimDsHFr3oAAKIp6Yl4m9NuyTtsoYydLqVQQv_mapyweCPo9Spx74s4OxZr3aKWwL4xBhyphenhyphenajNPRMm9KLD09LpfcCDQmYrIBiK1lpmdp6or8bhvkroBfFgi36fEutmk8VvGdNx52/s320/suasana+jarak+sekitar+jam+7+pagi.jpeg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266590225298593506" /></a><br /><br />Suasana lokalisasi Jarak di pagi hari. <br /><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Lokalisasi prostitusi Putat Jaya berada satu kawasan dengan Dolly. Meski bersebelahan, namun masing-masing lokalisasi memiliki banyak perbedaan. Di antaranya; PSK yang praktek di lokalisasi Jarak umumnya sudah "STW". Dalam menjaring tamu, para PSK di Jarak juga cukup menampakkan dan menjajakan dirinya di depan wisma-wisma tinggalnya. Tak ada teriakan makelar menawarkan ‘barang’ sehingga lelaki hidung belang bisa lebih bebas memilih pasangan kencan. <br />Satu hal lagi yang membedakan kedua tempat pelacuran ini adalah tarif. Di Dolly berlaku harga pas, kalau pun bisa ditawar paling hanya bergeser sedikit saja dari harga semula. Sedangkan di Jarak dibutuhkan kemampuan tawar menawar. Rata-rata tarif sekali kencan dengan wanita di Jarak berkisar antara Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per jam.<br />Persamaan antara Dolly dengan Jarak adalah keduanya tidak berlaku short time maupun long time. Sebab, pembayaran dilakukan berdasarkan durasi. “Nggak masalah mau main berapa kali. Yang penting bookingnya per jam,” katanya.<br />Lokalisasi seluas 3 hektare ini, selain menyediakan kamar-kamar untuk check-in berukuran 1 x 2 meter, juga terdapat ruang karaoke. Di sini pelanggan bebas memilih lagu-lagu yang disukainya sambil ditemani menyanyi wanita-wanita itu. <br />Menurut data dari Yayasan Abdi Asih, sebuah lembaga sosial yang dikenal memiliki kepedulian melakukan pendampingan terhadap PSK, jumlah PSK di Jarak sebanyak 2.060 orang dan menempati 385 wisma. Angka ini, menurut Vera—Koordinator Abdi Asih--, kemungkinan besar terus bertambah sebab itu merupakan data tahun 2007. <br />“Faktor kemiskinan merupakan pemicu utama. Dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Ini sebuah angka yang fenomenal. Bayangkan, ada ribuan PSK di satu kelurahan yang sama,” tuturnya.<br />Lokasi yang strategis, tarif yang relatif terjangkau, dan banyaknya pilihan ‘barang’ menjadi magnet lokalisasi ini. <br />Salah satu pelanggan tetapnya adalah Winarso (40). Supir angkot yang ditemui Surabaya Pagi di sebuah warung kopi di kawasan Jarak ini mengaku jajan ke Jarak menjadi rutinitasnya sejak remaja. “Sudah kadung kepincut dengan suasananya. Saya kalau main ya di sini ini (Jarak, red). Pertama karaoke sambil minum bir, lalu nyarung,” katanya tanpa malu-malu. Nyarung merupakan istilah lazim bagi lelaki yang main dengan PSK di sini. Setiap kali berkunjung, ia harus merogoh kocek dalam-dalam. Sejak menginjakkan kaki hingga pulang, pengunjung lokalisasi memang harus mengeluarkan uang. “Mulai parkir, karaokenya, mbayar PSK untuk nemani karaoke, bir, nyarung, dan ke ponten. Nggak ada yang gratis mas di sini,” katanya seraya tertawa lepas. Paling tidak, setiap kali berangkat ia membawa sangu Rp 500 ribu. Dan itu, biasanya habis dalam semalam. Padahal, dalam sebulan ia biasanya datang ke Jarak bisa sampai 3 kali. “PSKnya memang murah. Dan lain-lainnya itu lho sing nggarai kantong jebol,’’ katanya.<br />Cerita Winarso dapat dijadikan gambaran betapa besarnya perputaran uang di lokalisasi ini. Jika satu PSK di Jarak melayani 3 tamu semalam dengan tarif rata-rata Rp 50 ribu, uang yang beredar Rp 309 juta. Jika dikalikan lagi dalam sebulan maka ketemu angka Rp 9, 27 miliar. Itu hanya perputaran uang jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman, makanan, dan lain-lain. <br /><br />Taruhlah jika satu wisma menjual satu krat bir seharga sekitar Rp 250.000 per krat, maka total transaksi penjualan bir dari 385 wisma di Jarak mencapai Rp Rp 9.625.000 dalam semalam. Dan dalam sebulan ketemu angka Rp 2,8 miliar untuk penjualan minuman saja.<br />Tak hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat pada pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras lain.<br />”Cuci satu baju Rp 1.000, celana panjang Rp 1.500, satu singlet Rp 500. Satu <br />hari, saya bisa dapat Rp 30.000,” kata Narti (37), warga Putat Jaya yang <br />menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun terakhir.n kha/arzUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-28317269691545462032008-11-09T16:31:00.005+07:002008-11-09T16:42:49.247+07:00Lokalisasi Moroseneng: Lebih Baik dari Jarak, Alternatif Wisata Seks setelah Dolly<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiy0v94XNwWt89ozqo4yu09Axn0JILpw9VvYrIzREV7xihIIwxC2DKgejmzPwoy4aiwrZE6kmZmDWnwZjTey34ouc0xZL_otH6jIBJQImUemwaPvSeS1cVajPtTNM2itPxeC1jB/s1600-h/MOROSENENG1.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiy0v94XNwWt89ozqo4yu09Axn0JILpw9VvYrIzREV7xihIIwxC2DKgejmzPwoy4aiwrZE6kmZmDWnwZjTey34ouc0xZL_otH6jIBJQImUemwaPvSeS1cVajPtTNM2itPxeC1jB/s320/MOROSENENG1.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266588457845701970" /></a><br /><br />MOROSENENG:Suasana di Moroseneng saat siang hari. <br /><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Lokalisasi Sememi atau yang lebih dikenal Moroseneng merupakan lokasi favorit kedua setelah Dolly. Meski berada di kawasan pinggiran dan dekat perbatasan kota, namun tak menyurutkan niat lelaki hidung belang bertandang ke sana. Di akhir pekan, jumlah pengunjung di sana bisa mencapai ribuan. Ada yang sekadar minum-minum dan menikmati ‘pemandangan’, namun tak sedikit yang menjajal ‘barang’ yang konon kualitasnya setara dengan Dolly.<br />‘Moro’ dalam makna harfiah adalah datang, dan ‘Seneng’ adalah senang. Itulah janji yang ditawarkan pengusaha bisnis esek-esek di sana kepada pria hidung belang; Anda datang maka akan senang. Bagi mereka yang hobi berwisata seks mungkin janji itu tidak berlebihan. PSK-PSK yang ditawarkan di sini memang kualitasnya lebih baik ketimbang lokalisasi lain di Surabaya—selain Dolly--,tentunya. Usia yang masih muda, penampilan menggoda dengan tarif yang relatif lebih murah pasti membuat pria-pria iseng tergoda.<br />Salah satu PSK di sana adalah Rianti (27). Gadis asal Lamongan ini merupakan salah satu primadona di sana. Dalam sehari, ia mengaku mampu melayani antara 3-5 tamu dengan tarif Rp 75 ribu- Rp 100 ribu per jam. <br />“Kalau malam minggu bisa lebih dari biasanya. Itu nanti dikurangi setoran Rp 30 ribu untuk mami,” katanya singkat.<br />Meski tahu bahwa apa yang dilakoninya ini termasuk pekerjaan hina, namun ia merasa tak ada beban. Dia pun masih belum berpikir untuk hengkang dari lokalisasi ini meski sudah berada di sana sejak 5 tahun silam. “Sik ngelumpukno bondo mas,” katanya.<br />Cita-citanya sederhana yaitu ingin membuka wisma. Alasannya, apalagi kalau bukan karena ingin mendapat keuntungan besar dengan cara instan. “Saiki kerjo opo sing hasile isok podho ambek penggaweanku saiki. Nek onok sing podho, pasti aku leren,” katanya seraya tertawa lepas.<br />Ada lagi PSK bernama Siska (29) yang mengaku berasal dari Ponorogo. Di usianya yang hampir menginjak kepala 3 ini ia mengaku belum memunyai cukup tabungan untuk membuka usaha. Dia pun siap-siap menghadapi hukum alam di mana yang tua harus tersingkir oleh yang muda. Kini ia mencari-cari informasi untuk pindah ke lokalisasi Klakah Rejo yang berada tak jauh dari Moro Seneng.<br />“Siap-siap pindah mas. Kapene leren duwik yo sik durung gableg. Nek wis sugih ae aku leren,” katanya tanpa malu-malu.<br />Di belakang bangunan wisma yang berderet di sepanjang Jalan Moro Seneng juga terdapat lokalisasi Sememi. Karena lokasinya menyatu dengan Moro Seneng namun dari kualitas barang ada sedikit perbedaan. Di lokalisasi Sememi Gang I dan II, PSK yang sudah berumur di atas 30 tahun berbaur dengan PSK yang masih belia. “Orang tahunya Moro Seneng. Padahal ada perbedaan antara Sememi dengan Moro Seneng. Kalau Moro Seneng itu yang ada di wisma-wisma pinggir jalan, dan Sememi masuk gang,” kata Ahmad Haerun, Ketua RW setempat.<br />Jumlah PSK dan wisma di lokalisasi ini tergolang stabil. Sejak dulu, menurut Haerun, jumlah wismanya tak lebih dari 25 dan jumlah PSK-nya paling banyak 130 orang. Namun ia memprediksi tahun ini akan terjadi pengurangan. Sebab, hingga kemarin baru 50 PSK yang kembali setelah libur lebaran. “Nggak tahu ke mana mereka. Mungkin ada yang tobat dan mungkin pula ada yang milih freelance,” katanya.<br />Meski tak ada penambahan wisma dan PSK namun jangan dikira kompetisi di sini tak terjadi. Wisma-wisma yang ada di Moro Seneng dan Sememi berlomba-lomba merenovasi bangunan agar lebih menarik plus fasilitas tambahan lainnya. Bahkan ada salah satu wisma yang juga membangun parkir mobil khusus bagi pelanggannya. Tujuannya, apalagi jika bukan untuk memberi jaminan privasi. “Lokasinya kan di pinggir jalan besar. Kalau diparkir di depan wisma dan ketemu istri atau keluarganya bagaimana?,” ujar Mona, salah satu mami PSK sembari tertawa lepas.n kha/arzUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-34790070963045854872008-11-09T15:53:00.005+07:002008-11-09T16:08:04.014+07:00Lokalisasi Klakahrejo: Tempat Terpencil, Kualitas ‘Barang’ Bikin Mata Mecicil<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsmQKcubbE1Uyk-URYJaWHQClVNWgJUiNfl8zNnZc_AV62vZiGYqWsTLyS13CfX9pTTGj8MX-YNbwzIG0rPRmnq4yo4uHn6efra0G1BoMExRsuyPk_Ufw0OgqSVK6aYaFfzfjs/s1600-h/DSCN2891.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsmQKcubbE1Uyk-URYJaWHQClVNWgJUiNfl8zNnZc_AV62vZiGYqWsTLyS13CfX9pTTGj8MX-YNbwzIG0rPRmnq4yo4uHn6efra0G1BoMExRsuyPk_Ufw0OgqSVK6aYaFfzfjs/s400/DSCN2891.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266579415137381042" /></a><br /><br />GEMUK YA: Inilah salah satu model PSK di lokalisasi Klakahrejo. Memang sih terlihat gemuk, tapi --menurut germonya--wajahnya mirip Nafa Urbach.<br /><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br /><br />Surabaya benar-benar dikepung dengan lokalisasi prostitusi. Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Surabaya, terdapat kompleks pelacuran di Desa Klakah Rejo, Kecamatan Benowo. Lokalisasi ini berada tak jauh dengan lokalisasi Moroseneng di Sememi yang terkenal itu. Meski berada di kawasan pinggiran dan perbatasan kota, namun kedua lokalisasi ini lebih baik ketimbang lokalisasi Dupak Bangunsari dan Tambakasri. Karena itu, kawasan ini biasa dikunjungi hidung belang kelas menengah yang memburu kenikmatan sesaat. <br />Namanya memang kalah popular dengan Moroseneng. Namun bagi lelaki hidung belang, ini merupakan salah satu lokalisasi favorit. Letaknya yang terpencil plus ‘barang’ yang relatif muda, sungguh menjadi magnet tersendiri. Memang, jika kurang teliti mengamati wilayah ini sulit membedakan mana yang rumah tangga biasa dan mana yang rumah yang dijadikan wisma PSK. “Karena itu enak njajan nang kene. Nek ketemon dulur, ngomong ae dolen nang konco,” ujar Adi—bukan nama sebenarnya--, salah satu pelanggan lokalisasi ini.<br />Wisma PSK di Klakah Rejo dipusatkan di Gang Barokah yang berada di wilayah RW II, Kelurahan Klakah Rejo, Kecamatan Benowo. <br />Di lokalisasi ini, sedikitnya terdapat 47 wisma dengan 167 PSK yang berusia antara 20-30 tahun dengan tarif antara Rp 50 ribu – Rp 100 ribu. <br />Namun beberapa tahun terakhir pamor lokalisasi ini meredup. Ini terlihat dari jumlah PSK dan wisma yang semakin berkurang. <br />Ketua RW II, Kuswadi mengatakan, pihaknya tak tahu pasti mengapa terjadi penurunan. Yang jelas, tahun lalu di lokalisasi ini sedikitnya masih ada 200 PSK yang menjajakan diri di 50 wisma yang ada.<br />“Mungkin saja merasa modal sudah cukup dan membuka usaha di kampung halamannya. Sekarang saja banyak yang masih belum pulang setelah libur lebaran,” katanya.<br />Pernyataan Kuswadi itu dibenarkan Titin (27), PSK Wisma Flamboyan. <br />Menurutnya, banyak rekan-rekannya sesama PSK yang mentas setelah merasa mengantongi cukup uang untuk membuka usaha. Gadis jebolan SMP ini pun mengaku akan melakukan hal serupa jika uang yang ia kumpulkan dari hasil menjual diri sejak lima tahun silam, itu cukup untuk membuka usaha. <br />Saat ini, ia sudah memiliki sebuah toko yang menjual kebutuhan rumah tangga di kampung halamannya di Blitar. “Alhamdulillah mas punya took. Sekarang lagi ngumpulin uang untuk membuka usaha lain,” katanya.<br />Menurutnya, menjadi seorang PSK merupakan pilihan terakhir setelah sebelumnya ia mencoba pekerjaan lain. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya, ia bekerja di sebuah warung makan. Menganggap beban kerja yang tak sesuai dengan uang yang didapat, Titin akhirnya keluar. “Pertama kerja di warung aku dibayar Rp 280 ribu sebulan. Dapat apa dengan uang segitu. Padahal, setiap bulan aku harus mengirim uang ke kampung untuk emak,” katanya.<br />Dia pun tergiur dengan tawaran seorang teman lelakinya yang menawarkan pekerjaan dengan penghasilan lima kali lipat. “Saya langsung tertarik dan mau saja diajak ke Moroseneng,” katanya. <br />Tak satupun keluarga dan rekannya di kampung yang tahu profesinya sebenarnya. Dia menutup rapat-rapat pekerjaan yang dianggapnya hina ini. Bahkan suaminya yang kini berada di Malaysia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pun tak tahu pekerjaan yang dilakoninya saat ini. “Suamiku tahunya aku kerja di Surabaya. Itu saja,” katanya.<br />Di lokalisasi ini ada banyak Titin-Titin lainnya. Mereka ada yang memang sejak awal berniat menjadi PSK, namun ada juga yang terpaksa karena kadung kebujuk. Ada yang sudah remaja, namun tak sedikit yang benar-benar masih belia. <br />Awal bulan Juli tahun ini, Polwiltabes Surabaya bahkan berhasil mengungkap penjualan <br />dua gadis di bawah umur yang melibatkan seorang sekretaris desa di Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan.<br />Modusnya, sekdes berinisial BD ini membantu memalsukan KTP dua gadis bernama Desi dan Ratna (keduanya nama samaran). Usia Desi diubah dari 16 tahun menjadi 22 tahun, dan usia Ratna diubah dari 17 tahun menjadi 23 tahun. Sebelumnya, kedua gadis itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.n kha/arzUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-78121141205875150792008-11-09T15:45:00.005+07:002008-11-09T16:05:29.689+07:00Lokalisasi Kremil: Tahu Diri, Tak Marah Dibayar Seikhlasnya<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqiqBpfzmgGNOC7X15sEBnh7eKZAM-EfPmj-FAsMz5K37S8xVFe-hl-cq4TUJ7ttOc6fg1_erpagXzIV5uiN7JnyU19vBwjEsTWB0fU5m3mCT6-YV7a343ct7cmKjYKw0gWmeR/s1600-h/kremil_tovanbram.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 315px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqiqBpfzmgGNOC7X15sEBnh7eKZAM-EfPmj-FAsMz5K37S8xVFe-hl-cq4TUJ7ttOc6fg1_erpagXzIV5uiN7JnyU19vBwjEsTWB0fU5m3mCT6-YV7a343ct7cmKjYKw0gWmeR/s400/kremil_tovanbram.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266577282797901250" /></a><br /><br />SEPI: Ini suasana Kremil saat siang hari. Terlihat sepi meski ada beberapa PSK yang sudah mejeng. Tuh di dekat gapura ada salah satu PSK yang mejeng sambil asyik nelpon.<br /><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Lokalisasi prostitusi Tambakasri ini juga disebut sebagai lokalisasi Kremil. Ini merupakan satu di antara 6 lokalisasi prostitusi di Surabaya yang masih eksis. Lokalisasi yang terletak di wilayah Kecamatan Krembangan, itu juga dikenal sebagai lokalisasi untuk warga kelas menengah-bawah. Maklum saja, tarif PSK di lokalisasi dengan jumlah PSK terbesar kedua setelah lokalisasi Jarak (versi Dinsos) ini memang relatif murah meriah. Cukup mengeluarkan uang antara Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu, syahwat pun terpuaskan.<br /><br />Siang itu, Tutik (55) terlihat serius membersihkan halaman rumahnya yang berdebu. Ia pun semangat membersihkan kaca bening berukuran 2 x 3 meter yang terbungkus tembok depan rumahnya. Tutik adalah satu di antara sekian banyak mami PSK di lokalisasi yang juga biasa disebut Kremil itu. Tak ada papan nama di depan wisma yang sekaligus ia jadikan tempat tinggalnya. Yang membedakan rumah miliknya dengan rumah tangga biasa adalah di atas pintu masuk terdapat plat seng bertuliskan ‘Anggota TNI Dilarang Masuk.’<br />Tutik tergolong wajah lama di Tambakasri. Sudah sejak umur 20 tahun dia ‘terjebak’ di sini. “Kebujuk wong lanang,” katanya singkat.<br />Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia mengaku tak tahu apa-apa. Maklum, saat itu ia hanya gadis desa biasa yang mencoba mengadu untung di Surabaya. “Tahu-tahu diajak ke sini disuruh kerja di warung dan jualan bir. Lama-lama kok keterusan dan (maaf) jadi lonte,” katanya.<br />Tahun 1981, ia naik kelas menjadi germo sekaligus pemilik wisma bermodal uang tabungan selama jadi PSK. Wisma miliknya berukuran 6 X 10 meter, dengan dinding terbuat dari triplek. Ada 6 sekat ruang yang 5 di antaranya ia fungsikan sebagai kamar anak buahnya. Di teras rumah terdapat meja besar dan etalase sederhana yang ia gunakan berjalan nasi dan minuman ringan. “Meski elek, sing penting iso gawe ndelek duwek gawe nyambung urip,” katanya.<br />Meski begitu Tutik masih beruntung. Banyak rekan-rekan seusianya yang hingga kini masih menjajakan diri. Karena sudah kewut (baca:tuwek), tentu saja penghasilan yang mereka terima tak menentu. Memang, di Tambakasri dikenal sebagai lokalisasi khusus PSK kewut. Kalaupun ada yang ‘muda’ itupun berusia di atas 30 tahun. “Yang di bawah 30 tahun bisa dihitung dengan jari. Yang banyak di atas 40 tahun dan 50 tahun juga banyak,” kata Tutik. <br />Sri (35), salah satu PSK asal Madiun merupakan primadona wisma Tutik. Meski menjadi primadona jangan dibayangkan jika Sri bergelimang harta. Dalam sehari ia maksimal hanya mengantongi uang Rp 50 ribu dari hasil menjual diri. “Saya tidak memasang tarif mas. Hanya berharap kerelaan tamu saja. Dikasih berapapun saya terima. Namun pasarannya memang antara Rp 25 ribu – Rp 50 ribu,” kata Sri. <br />Menurutnya, lokalisasi Tambakasri semakin meredup. Saking sepinya, terkadang ia terpaksa mulai ‘praktek’ sejak siang bolong. “Mungkin aja ada yang mampir,” katanya.<br />Meski dianggap sepi, namun PSK yang masih bertahan di sana cukup banyak. Data tahun 2007 yang dilansir Dinas Sosial menyebutkan, jumlah PSK di Tambakasri mencapai 1.600 orang. Jumlah ini terbesar kedua setelah lokalisasi Jarak yang berisi 2.543 PSK. “Banyak yang seharusnya pensiun tapi tetap kerja. Makanya jadi yang terbanyak,” ujar Tutik dengan tawa lepas.<br />Namun data ini dibantah Sekretaris RW setempat, Agus Purnomo. Dari data yang ia miliki, jumlah PSK saat ini sebanyak 435 orang dan tersebar di 143 wisma. Setiap PSK-PSK itu dikenai retribusi atau yang menurutnya uang kontrol sebesar Rp 5 ribu. Hasil yang terkumpul digunakan untuk biaya operasional RW dan petugas keamanan.n arzUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-17512601357798258292008-10-23T14:48:00.007+07:002008-11-09T16:29:39.670+07:00Lokalisasi Bangunsari: Khusus Penggemar Estewe<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGF-yN6tG7WsnuRnySiU1PNnkBCLPbFdjTGyzVuDHjJ-ZAmZrUT9Iqkwr74BAxWtPHBA_p_masv3dLjavlw1URxrKF105il9OfZHOgE-4ZhGjtjM_qMCQdam-d5aBikFdosoSu/s1600-h/WAKER+BR1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGF-yN6tG7WsnuRnySiU1PNnkBCLPbFdjTGyzVuDHjJ-ZAmZrUT9Iqkwr74BAxWtPHBA_p_masv3dLjavlw1URxrKF105il9OfZHOgE-4ZhGjtjM_qMCQdam-d5aBikFdosoSu/s320/WAKER+BR1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266587006188037778" /></a><br /><br />WAKER BR: Nih fotonya Pak Slamet lagi nunjukin aktivitas PSK di sana. Beliau penjaga atau petugas kontrol di BR.<br /><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Layak kiranya jika Surabaya disebut sebagai Kota Prostitusi. Di kota ini bisnis seks tumbuh subur layaknya cendawan di musim hujan. Ada 6 lokalisasi prostitusi yang tersebar di berbagai kawasan, yakni; lokalisasi Tambakasri, Dupak Bangunsari, Dolly, Jarak, Sememi, dan Klakah Rejo. Belum lagi PSK yang memilih ‘independen’ dengan menjual diri di jalanan seperti di Jl Diponegoro, Jl Embong Malang, dan kawasan Wonokromo dan Jagir. Surabaya Pagi secara berseri menurunkan laporan mengenai potret masing-masing lokalisasi itu. Berikut laporan pertama yang diawali dengan lokalisasi Dupak Bangunsari.<br />Senja itu, Lastri (35 tahun) mulai sibuk berdandan. Setelah mengulas bedak di wajah dan menoreh lipstik di bibir, ia kemudian duduk tenang di depan rumah. Pandangan matanya tajam menatap laki-laki yang lalu lalang di depannya. Tak ada suara, hanya lambaian ringan mengundang para lelaki itu untuk menghampirinya.<br />Lastri adalah satu di antara 350 PSK di Dupak Bangunsari yang masih bertahan. Usianya memang sudah tak muda, namun ia masih menjadi primadona di sana. Di antara rekan-rekannya sesama profesi, ibu dua anak ini memang paling cantik dan menarik.<br />Karena itu, meski sudah estewe ia masih percaya diri ‘mengusir’ tamunya jika merasa tamu itu berpenyakit. Menurutnya, tak ada patokan pasti ciri-ciri seseorang mengidap penyakit kelamin. Ia hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman selama berpuluh tahun menjadi PSK untuk menyeleksi tamu-tamunya. “Elek-elek ngene awak dhewe yo gak gelem sembarangan mas,” katanya.<br />Ia memasang tarif Rp 60 ribu untuk dua kali main selama satu jam. Dalam semalam, ia mengaku tak lebih melayani 2 tamu saja. Hasil ‘jualan’ tak utuh ia kantongi. Dari tarif Rp 60 ribu itu, ia hanya mendapat Rp 35 ribu saja. “Sisanya untuk bayar kamar dan kontrolan. Untuk orang seusia saya kerjo opo maneh oleh duwik sak mene nek gak dadi (maaf) balon,” tuturnya.<br />Ia mengaku dari tahun ke tahun pamor lokalisasi yang biasa disebut BR—akronim Bangunsari--, itu semakin meredup. Saat pertama terjun di BR lima tahun lalu, jumlah PSK masih ribuan. Di sini tak berlaku hukum dagang di mana semakin sedikit barang maka harga meningkat seiring dengan melonjaknya permintaan. Dengan berkurangnya PSK maka menyusut pula jumlah tamu karena menganggap pilihan semakin sedikit. “Inilah bedanya jualan minyak dengan jual diri,” ujar Lastri sambil tertawa lepas.<br />Memang benar apa yang dikatakan PSK asal Blitar itu. Berdasarkan data Dinas Sosial Kota Surabaya, di tahun 2007 jumlah PSK di Surabaya mencapai 4.191 orang. Angka ini menurun dibanding tahun 2006 yang mencapai 8.009 orang. <br />Lokalisasi Dupak Bangunsari merupakan penyumbang terbesar penurunan angka tersebut. Saat ini, hanya 350 PSK yang masih bertahan di sana. Padahal, sekitar lima tahun lalu, PSK di lokalisasi itu mencapai 3.000 orang dan tersebar di 15 gang yang ada di sana. <br />Ketua RW IV Dupak Bangunsari, Totok Basuki Rahmad mengatakan, jumlah PSK di wilayahnya terus menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dimilikinya, tahun 2007 ada 380 PSK dan di tahun 2008 menyusut lagi menjadi 350 PSK. PSK-PSK ini tersebar di 70 wisma dan terkonsentrasi di wilayah RW IV agar mudah pembinaannya.<br />Menurutnya, selama ini tak pernah terungkap kasus child trafficking (perdagangan anak dan dijadikan PSK) di wilayahnya karena memang sejak dulu BR merupakan lokalisasi prostitusi estewe. “Ikut hukum alam. Di sini ini khusus PSK estewe. Yang muda jelas saja di Dolly,” katanya.<br />Ke mana PSK itu?”Ada yang pindah ke Kremil (Lokalisasi Tambak Asri, red), banyak juga yang tobat,” tukasnya. <br />Menurunnya jumlah PSK di sana, tak lepas dari kiprah sejumlah tokoh agama baik dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang terjun di sana. <br />Salah satunya adalah Muhammad Hatta. Bersama rekan-rekannya sesama pengurus Muhammadiyah Cabang Krembangan ia mengawali dakwah dengan membangun masjid. <br />Dia berpikir, jika ada rumah ibadah, paling tidak, setiap hari mucikari dan PSK mendapatkan pencerahan dari corong-corong pengeras suara.<br />”Paling tidak, mucikari atau PSK bisa mendengarkan suara azan, suara orang melafalkan Alquran dalam jarak cukup dekat. Kami juga rutin menggelar ceramah-ceramah di masjid supaya mereka selalu ingat,” tuturnya. Hatta termasuk salah seorang penceramah yang aktif berbicara melalui pengeras suara. ”Materinya itu tadi, agar masyarakat tabah menghadapi cobaan, tidak gampang putus asa, dan selalu berusaha menjadi lebih baik,” katanya.<br />Hatta dan rekan-rekannya juga mengadakan pengajian keliling dari gang ke gang. Setiap acara mereka menutup seluruh akses menuju wisma. ”Misalnya, pengajiannya di Bangunsari Gang I, seluruh akses jalan ditutup. Jadi, wisma tidak bisa beroperasi, minimal selama pengajian. Biasanya acara digelar pukul 19.00 hingga 21.00. Padahal, saat itu kan sedang ramai-ramainya tamu,” ucapnya. Bukan hanya PSK dan mucikari yang tidak bisa bekerja selama pengajian. Pria hidung belang yang akan suka jajan juga dipaksa balik kanan oleh acara itu. ”Saya kira, pengajian itu cukup memberikan kontribusi,” katanya.<br />Strategi selanjutnya jatuh pada pembelian aset milik mucikari. ”Selama ini, kalau ada wisma dijual, biasanya dibeli mucikari lain, kemudian didirikan wisma dengan nama baru. Ini yang juga kami antisipasi,” ucapnya. Lagi-lagi, Hatta menggalang bantuan donatur. Dia meminta kawannya yang punya uang lebih untuk membeli wisma-wisma yang dijual pemiliknya. ”Akhirnya, banyak wisma yang dibeli jamaah kami, kemudian dibuat sebagai tempat tinggal,” tandasnya.arzUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-29312902225944558852008-07-06T15:55:00.001+07:002008-07-08T22:33:21.506+07:00Bertahan di Tiang Kesabaran<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3Lb3KamARAg-E8b3K9fFJ47uoe_k2HCRdh3CEGnO9WK8XnXsEhM0gcRaZU6CRAe2C2Vc3q95F8x1_pg2exfBHJDNl6QFuWt5pYEsKfaDcWYOIJi394H9UauZ7TSvAPynyxw-E/s1600-h/Lumpuh080708-2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3Lb3KamARAg-E8b3K9fFJ47uoe_k2HCRdh3CEGnO9WK8XnXsEhM0gcRaZU6CRAe2C2Vc3q95F8x1_pg2exfBHJDNl6QFuWt5pYEsKfaDcWYOIJi394H9UauZ7TSvAPynyxw-E/s400/Lumpuh080708-2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5220666157503945922" /></a><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Kamis, 3 Juli 2008 mungkin hari yang akan selalu dikenang Abdul Ghofur (22) selama hidupnya. Pertama kalinya ia harus berurusan dengan polisi setelah sebelumnya kepergok warga Jl Asemrowo tengah mencuri dua batang pipa besi. Perkara pencurian yang dilakukan warga Kalianak, Surabaya, ini sebenarnya tergolong biasa dan sepatutnya seseorang yang mengambil barang bukan miliknya mendapat ganjaran. Yang menarik dan patut kita telaah adalah alasannya mengapa ia sampai nekat melakukan hal itu.<br />Di depan penyidik Polres Surabaya Utara, ia mengaku tergoda mengambil dua pipa besi yang kebetulan tergeletak di depan rumah warga untuk menambah penghasilannya.<br />Ia menganggap penghasilannya sebagai pemulung masih tak cukup menutup kebutuhan rumah tangganya. Apalagi, pasangan muda ini dalam hitungan bulan bakal mendapat momongan. Ia nekat. Tak berpikir panjang, diambilnya barang yang bukan haknya itu. <br />Saat itu, mungkin yang dipikirkan Ghofur hanya cara bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk biaya istrinya melahirkan.<br />Alasan yang diutarakan Ghofur, bagi saya sangat memilukan. Menyadari perannya sebagai suami yang harus bertanggungjawab, membuatnya mengorbankan diri hidup di balik terali besi.<br />Di sekeliling kita, apa yang dilakukan Ghofur banyak juga dilakukan orang lain. Namun, tentu saja dengan beragam alasan yang berbeda. Nilai barang yang dicuri, pun bermacam-macam. Ada yang cuma senilai puluhan ribu, seperti yang dilakukan Ghofur atau ada juga yang nilainya mencapai miliaran. Ini, benar terjadi seperti yang dilakukan Bulyan Royan, anggota Partai Bintang Reformasi yang ditangkap KPK dua hari lalu. Bagi saya, apa yang dilakukan Bulyan justru lebih hina. Ghofur, si calon ayah itu mencuri untuk kebutuhan hidupnya. Namun Bulyan, tak jelas untuk apa uang sebesar Rp 1,6 miliar yang didapatnya dari pemenang tender pengerjaan di Depertemen Perhubungan. Bulyan menganggap uang itu sebagai fee. Namun KPK beranggapan lain. KPK menganggap ada persekongkolan jahat antara Bulyan yang juga kiai pemilik pondok pesantren itu dengan pemilik perusahaan pemenang tender pengadaan kapal patroli. Perusahaan pemenang tak bakal memberi uang secara cuma-cuma kepada anggota Komisi V DPR RI itu tanpa ada perjanjian-perjanjian sebelumnya. Bedanya, Bulyan lebih professional, memang berniat maling sejak awal, dan tentu saja nilai uang yang diembat lebih besar dari nilai barang yang dicuri Ghofur. Tambah lagi, uang yang diambil sebenarnya milik orang banyak. Dan bagaimanapun, maling tetaplah maling. Mereka pantas mendapat ganjaran setimpal perbuatannya. <br />Di hari yang sama dengan kesialan Ghofur, saya bertemu dengan seorang wanita. Orang-orang biasa memanggilnya Mbak Nasi Kuning. Ia saya temui saat tengah melepas lelah tak jauh dari penjual es tebu langganan. Usianya belum genap 25 tahun. Tapi raut wajahnya terlihat seperti seseorang yang sudah berusia 30 tahunan. Ia duduk berjongkok di atas batu. Tak jauh darinya, teronggok dua bungkus besar tas plastik berwarna merah. Isinya, nasi kuning yang dibungkus dalam wadah sterefoam kotak. Jam menunjukkan pukul 11.00. Tapi 20 nasi yang dibawanya, tak satupun yang terjual. “Sepi mas. Nek gak payu, aku sungkan ambek juraganku,” katanya sembari mengeluarkan air putih yang ditaruh di botol Aqua yang sudah usang. Sesekali ia mengusap peluh yang menerobos keluar dari topi putihnya yang terlihat agak kecoklat-coklatan. Setiap hari, ia berjalan sambil membawa dua tas plastik besar itu keliling ke perumahan-perumahan. Kira-kira, masing-masing tas itu beratnya sekitar 3-4 kilograman. Ia berangkat dari rumah pemilik nasi kotak itu tak lama setelah azan shubuh. Saat itu, nasi masih hangat. Dan saat saya cek, nasi itu tetap hangat. “Nasike sampek anget maneh mas. Kepanasan,” ujarnya tersenyum kecut. Tak satupun nasi yang dibawanya terjual. Ia tak habis pikir mengapa hari itu dan hari-hari sebelumnya ia benar-benar sial. Tak satupun terjual. Padahal, dari komisi nasi yang terjual itulah ia baru mendapat penghasilan yang ‘lebih’. Dalam sebulan, tanpa libur 30 hari kerja ia mendapat gaji pokok sebesar Rp 300 ribu. Artinya, dalam sehari ia tetap mendapat uang Rp 10 ribu baik laku atau tidak nasi yang ia jual. Sementara dari setiap kotak yang terjual, ia mendapat komisi lima ratusa perak. Ya, Cuma lima ratus perak. Andaikan terjual semua, barulah tambahan sebesar Rp 10 ribu berada di genggamannya. “Gak pernah habis. Paling apik payu separuh,” katanya.<br />Jika di rata-rata dalam sehari nasi yang terjual sebanyak 7 bungkus, maka komisinya sebesar Rp 3.500. Cukupkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? “Jujur, nggak cukup mas. Tapi yaopo maneh,” katanya. Saat ini, ia memang tak punya pilihan lain. Menurutnya, berapapun penghasilan yang ia dapatkan yang penting telah membantu mengurangi beban suaminya mencukupi kebutuhan keluarga. “Bojoku tukang sampah mas. Sak ulan mek Rp 600 ribu,” katanya polos.<br />Sehari sebelumnya, di tempat yang sama secara kebetulan aku juga bertemu dengan seorang pemuda. Usianya mungkin sepantaran. Ia berdiri di sebelah sepeda MTB butut. Di atas boncengan sepedanya, ada tumpukan keset. Jumlahnya tak sampai 10 biji. Seseorang terlihat membolak-balik keset dagangannya. Pemuda yang belakangan kuketahui bernama Yanto itu hanya diam. Ia unik tak seperti pedagang-pedagang umumnya. Ia diam jika tak ditanya dan tak pula mengunggul-unggulkan dagangannya. Ia menjawab lirih “Tujuh ribu lima ratus pak,” saat seorang calon pembeli menanyakan berapa harga keset dagangannya. Entah karena kemahalan atau sekadar iseng, orang itu berlalu. Yanto pun diam saja tak berusaha mengejar atau menurunkan harga. Ia menata lagi keset yang sudah dibolak-balik itu dengan sabar. Tak lama kemudian ia memesan es tebu dan mengambil sepotong gorengan. Barulah setelah kulihat ia agak santai, kuberanikan diri berbincang dengannya. Dan ia tak keberatan meladeni pertanyaan-pertanyaanku. Ia mengaku berasal dari sebuah desa yang tak kukenal di daerah Porong, Sidoarjo. Ingatanku langsung melayang ke lumpur. Bencana alam atau mungkin lebih pantas disebut alam yang dibencanakan itu telah menyusahkan ribuan atau bahkan ratusan ribu orang. Dan ternyata Yanto salah satunya korbannya. Sambil menerawang ia menceritakan kebahagiaan hidupnya sebelum Lumpur menyembur atau disemburkan. Ia pernah menjadi mandor di salah satu pabrik krupuk yang ada di desanya. Sebagai pemuda desa, bekerja di pabrik dengan jabatan mandor tentu sudah menjadi kebanggaan. “Meski bayaran nggak sepiro tapi rasane cukup mas,” katanya. Namun, karena pabrik krupuk terpaksa tutup setelah ditelan Lumpur maka iapun menjadi pengangguran. Bukan hanya itu, ia juga terpaksa mengungsi ke Pasar Baru dengan istri yang baru beberapa bulan ia nikahi. “Ngenes mas. Kemanten anyar tapi turune ambek wong akeh,” ujarnya sembari tersenyum kecut. Dua bulan ia bertahan hidup mengandalkan tabungan dan hadiah perkawinan. Bermodal uang yang tak seberapa, ia membulatkan tekad berdagang kasur lantai yang dikulak dari Pasuruan. Kasur-kasur itu kemudian ia jual ke tetangga-tetangganya di Pasar Baru. Lumayan juga untung yang didapat meski itu tak bertahan lama karena mulai banyak orang yang meniru. Ia menganggur lagi untuk sekian lama. Bekerja apapun ia lakoni. Mulai dari ngernet, hingga menjadi kuli panggul pernah ia rasakan. “Abot mas. Masio kerjo ngono ae yo sikut-sikutan. Aku gak betah nek kerjo model koyok ngono. Mending ngalah ae. Mosok pengeran gak welas,” katanya bijak.<br />Hingga akhirnya sejak sebulan terakhir ia memilih berjualan keset. Alas lantai itu bukan miliknya sendiri. Dagangan itu milik temannya dan harus ia setor berapa-berapa yang laku setiap harinya. Dari harga jual Rp 7.500, ia mendapat untung Rp 2.500. Itupun menurutnya sudah bagus. “Akeh sing nawar mas. Padahal, nek tuku nang supermarket oleh tah nawar. Gak oleh kan,” katanya kali ini sembari terkekeh.<br />Dalam sehari, dengan sepeda bututnya itu ia keliling menawarkan 10 keset. Paling banter, separuhnya saja yang terjual. Katakanlah dalam sehari keset yang terjual sebanyak 5 biji, maka ia hanya mengantongi keuntungan Rp 12.500. Cukupkah uang sebesar itu untuk menopang hidup? “Bukane gak bersyukur mas. Tapi jelas ae kurang. Untunge koncoku iku ngerti. Kadang aku sik digawan-gawani panganan. Lumayan duwike isok gawe kebutuhan liyane,” katanya. <br />Dan malam sebelum kuketik naskah ini, lagi-lagi kubertemu dengan orang-orang semacam Mbak Nasi Kuning dan Yanto. Sebetulnya sejak lama aku amati bapak tua yang selalu bertopi ini. Setiap kali pulang kerja, selalu kulihat ia duduk dengan tenang di depan rambak dan bipang dagangannya. Ia mangkal tak jauh dari ATM Taman Pondok Jati, Sidoarjo. Di perbatasan malam menuju pagi, kulihat tas plastik bening berukuran besar miliknya masih cukup penuh terisi rambak dan bipang. Cukup sering aku berhenti sejenak membeli sekotak bipang seharga Rp 2.500 dan sebungkis rambak dua ribuan dagangannya. Tapi entah mengapa, setelah bipang di genggaman biasanya aku langsung tancap gas dan hanya membatin betapa berat perjuangan bapak itu mencari nafkah. Namun tadi malam terasa beda. Aku merasa sudah kenal akrab sekali dan langsung duduk di sebelahnya. Setelah dekat, barulah terlihat lebih jelas gurat-gurat ketuaan di wajahnya. Meski mengaku tak tahu umur karena tak ingat tahun kelahirannya, namun aku menduga bapak tua yang mengaku bernama Pak Man ini usianya mendekati 70-an. Ia asli Malang. Di Surabaya ia indekos di daerah Kalijaten. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari tempatnya berjualan saat ini. Tanpa kuminta, ia menceritakan aktivitasnya sehari-hari. Usai shalat Shubuh berjamaah, ia biasanya kulakan bipang di Kota Pasuruan menggunakan kereta api. Setiap dua hari sekali ia bolak-balik Surabaya-Pasururun dan Pasuruan-Surabaya. Sepulang kulakan, ia beristirahat sejenak di tempat kos yang ia sewa sebesar Rp 60 ribu sebulan. Baru sorenya ia beranjak dengan berjalan kaki ke tempat ia biasa mangkal sehari-hari. Baru dua bulan terakhir ia mangkal di dekat ATM. Biasanya ia keliling dari satu perumahan ke perumahan lainnya dan dari kampong ke kampong lainnya. Namun sejak rematik dan asam uratnya akhir-akhir ini tak mau kompromi, ia terpaksa menahan hasrat untuk berkeliling. “Kulo mboten purun nyusahaken lare-lare. Sakjane ngge mboten angsal sadeyan. Kulo seng mekso piyambak. Kulino nyambut damel, mboten eco nek tenguk-tenguk mawon ten nggriyo,” ujarnya dengan bahasa Jawa karma.<br />Ia cukup bangga dengan apa yang ia lakoni saat ini. Meski tak bias dikatakan berlebih, ia bersyukur mampu membiayai sendiri biaya hidupnya. “Masio sadeyan ngeten, kulo taksih saget nyangoni putu-putu,” ujarnya seraya tersenyum<br />Dalam sehari, pendapatan kotornya rata-rata sekitar Rp 80 ribu. Setelah dipotong modal dan beli ini-itu, ia masih mampu menyisihkan uang sebesar Rp 15 ribu sehari. <br />Saya salud dan angkat topi dengan lakon yang dialami ketiga orang yang saya temui tak lama ini. Dengan segala keterbatasan dan kesulitan hidup, Mbak Nasi Kuning, Yanto, dan Pak Man, tetap bersabar dan semangat menjalani hidup. Sempat bertemu dan berbincang dengan mereka, membuat saya bersyukur dan lebih bersyukiur lagi. Seharusnyalah mereka yang berniat korupsi, berpikir seribu kali lagi karena mereka yang hidup dengan keterbatasan itu saja masih sanggup bertahan. Tentu saja, mereka bertahan dan berpegang di tiang kesabaran.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-24370546173803090562008-05-28T00:38:00.004+07:002008-07-30T22:57:22.751+07:00Di Mana Kita<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh79qNfJU6w0Lw7TiysD5uXi8CXWErhQM_GZ_MN8p-mJmNsKjyZaAoqfHVWIU1rBZLvV2_gxeTqcQcXfv_dnZXB3mTKDCu6wuh3kUokqspDVxHzhT4T7ElSF8OmQMTbZfRBhAD1/s1600-h/UPal110607.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh79qNfJU6w0Lw7TiysD5uXi8CXWErhQM_GZ_MN8p-mJmNsKjyZaAoqfHVWIU1rBZLvV2_gxeTqcQcXfv_dnZXB3mTKDCu6wuh3kUokqspDVxHzhT4T7ElSF8OmQMTbZfRBhAD1/s400/UPal110607.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5228836715987534178" /></a><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Selasa, 27 Mei 2008. Seorang nenek yang diperkirakan berumur 75 tahun meninggal tepat di depan Mapolsek Wonokromo. <br />Menurut Kusnan, saksi mata, sejak pagi nenek itu memang sudah berada di lokasi kejadian dengan posisi tidur sembari memayungi tubuhnya. <br />Namun menjelang sore, saat diamati korban ternyata sudah tidak bernafas lagi sehingga langsung dilaporkan ke Polsek Wonokromo yang berada dibelakang lokasi kejadian. <br />Ironisnya, nenek yang diperkirakan pengemis itu besar dugaan meninggal karena kelaparan. Saat ditemukan, nenek itu dalam posisi tidur di bawah payung yang masih terbuka. <br />Kapolsek Wonokromo, AKP Nuriadi kesulitan mencari tahu alamat korban karena kondisi korban sendiri tanpa identitas. <br />Karena itulah selama beberapa jam sejak ditemukan meninggal,jenazah korban dibiarkan begitu saja sebelum akhirnya dibawa ke RSUD dr Soetomo.<br />Berita ini sangat menyedihkan. Di negeri yang katanya negeri agraris ini ternyata masih juga ditemukan orang yang meninggal karena kelaparan.<br />Yang menjadi pertanyaan dan patut kita renungkan bersama adalah; DI MANA KITA saat nenek renta itu meregang nyawa karena lapar. Saat nenek renta itu meregang nyawa, mungkin beberapa di antara kita sedang ketawa-ketiwi di starbucks. Di antara kita mungkin ada yang tengah antre di Mc D. Di antara kita, mungkin ada yang tengah menikmati sabu yang konon harganya saat ini Rp 1,5 juta untuk satu gramnya. Bayangkan jika kita membatalkan niat kita datang ke starbuck ketika dalam perjalanan melihat seorang nenek renta tidur di bawah payung. Mungkinkah kita sisihkan uang Rp 3 ribu untuk sekadar membuatnya kenyang. Tak terbayangkan kah oleh kita untuk mengajaknya ikut makan di Mc D bersama-sama. Atau tak terbayangkan kah oleh kita berapa banyak nasi bungkus yang bisa kita dapat dengan uang Rp 1,5 juta? <br />Meninggal karena bunuh diri minum racun serangga, masih mending karena memang kematian itulah yang diinginkan peminumnya. Namun meregang nyawa setelah menahan lapar yang hanya nenek itu saja yang tahu kapan terakhir ia makan, sungguh tak mungkin terbayangkan oleh kita. <br />Namun semuanya sudah terlambat. Nenek itu, kini mungkin lebih 'terjamin' hidupnya. Di alam barzah, mungkin baginya surga sementara karena ia tak perlu merasakan sakitnya saat lapar. Apa yang dialami oleh nenek itu, bukan hanya menjadi bahan renungan. Tapi juga tamparan. Betapa kita ternyata semakin tak peduli dengan sekitar kita. Betapa kita hanya mementingkan diri sendiri. Saatnya bagi kita untuk peduli dan berbagi...Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-13268948400345730802008-05-12T03:35:00.005+07:002008-07-26T03:08:18.726+07:00Tentang Kami...<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBwHpFqU80VhQdl2UvV6Ky1a8P05OzXC1KSvH01ZHTGHFnb3uGSzkMe5gO9OMNHqiNGnweusCscZI5lyvdyEOBKrA0QxHiL1NYhFbuytYdBOFHXArPeHKUy7hlFvowvni-TIhs/s1600-h/P1190572.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBwHpFqU80VhQdl2UvV6Ky1a8P05OzXC1KSvH01ZHTGHFnb3uGSzkMe5gO9OMNHqiNGnweusCscZI5lyvdyEOBKrA0QxHiL1NYhFbuytYdBOFHXArPeHKUy7hlFvowvni-TIhs/s400/P1190572.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5227043327755132274" /></a><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Suatu ketika, dalam perbincangan lepas malam dengan seorang kawan Ia menceritakan betapa anaknya tak bisa tidur pulas tanya hembusan AC. Istrinya pun, kata dia, tak bisa nyaman di rumah tanpa ada lemari es. Mencuci, rasanya juga akan berat tanpa ada mesin cuci. Aku bangga karena teman yang mulanya aku anggap ekonominya pas-pasan itu ternyata bisa menyisihkan uangnya untuk membeli perabot-perabot yang aku sebut di atas. Setelah bercerita panjang lebar dan tak mungkin aku utarakan di sini, ia kemudian bertanya. "Bagaimana dengan kamu?" Aku tahu apa yang dia maksud. <br />Tanpa pikir panjang, Aku pun bercerita. "Aku nggak punya AC. Aku juga nggak punya mesin cuci dan lemari es," jawabku.<br />Ia tergelak dan menganggap aku berbohong. "Tapi itulah kenyataannya," kataku. <br />"Kalau AC, aku sih maklum. Tapi kalau nggak punya kulkas dan mesin cuci, nggak mungkinlah. Bagaimana dengan istrimu," cerocosnya.<br />Hidup tanpa AC, mesin cuci, dan kulkas memang suatu hal yang baru bagiku. Tapi itulah yang kurasakan dan ingin kubiasakan sejak 6 tahun terakhir. Tepatnya, sejak aku menikahi istriku dan mantap ingin memulai hidup baru. <br />Bukan tanpa alasan jika rumahku tak ber-AC, tak ber-mesin cuci, dan tak ber-kulkas.<br />Dengan AC, memang tidur anakku akan lebih pulas. Tapi ketika dia tidur pulas, aku pun tak sanggup untuk tak dekat dan mendekapnya. Kupastikan, aku pasti terlelap dan malas bekerja.<br />Dengan ber-kulkas, aku merasa hidupku akan lebih konsumtif. Sebab, tak mungkin kita biarkan kulkas kosong dan hanya mencetak bongkahan-bongkahan es. Jika ada kulkas, istriku mungkin tak seperti saat ini. Di mana ia selalu masak sesuai dengan kebutuhan sehari. Tak ada makanan tersisa dalam keluargaku dan dengan begitu istriku akan terbiasa berhemat. Tak ber-mesin cuci, bukan karena aku pelit mengeluarkan uang ketika rekening listrik pastinya ikut melonjak seiring makin seringnya mesin cuci digunakan. Aku hanya merasa, saat mencuci baju itulah aku,istri, dan anakku benar-benar berolahraga. Energi-energi yang dikeluarkan saat mencuci, aku yakini sama dengan berjalan kaki 5 kilometer.<br />Ritual saat mencuci baju, juga merupakan saat-saat bagiku untuk bersenda gurau bersama. <br />"Apa istrimu nggak pernah iri dengan tetangga," tanya temanku.<br />Aku bangga dengan istriku. Jangankan iri, tak terlintas sedikitpun di benaknya bahwa apa yang dimiliki oleh orang lain harus ia miliki juga. Meskipun terkadang seharusnya ia memang patut memiliki itu. <br />Ia terkesima dengan ceritaku dan kelihatannya ia tak percaya dengan apa yang aku utarakan tadi. <br />Aku, bukan tak mampu membelikan istriku barang-barang sering kusebut di atas. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, barang-barang itu bagiku bukan sebuah barang mewah yang kuanggap tak sanggup kubeli. Aku dan istriku hanya merasa, kami belum butuh itu dan tak ingin disibukkan dengan pikiran bahwa kami harus beli itu.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-12545352684730955232008-02-05T22:46:00.000+07:002008-02-05T22:56:09.887+07:00Bangsa Kepiting<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdqs9yMquXjNOm49wclcgNB6Bpsrp0xg-ASPTL0kgJBRIvzgEwpAcg-LRahUH0zfwgjzSO29ofO3BCrR_RZNOJAAJJGlKZ_lRcrvvPXzvP3U97GguTUK2YeiTvapCyr2tU3g76/s1600-h/Img0068.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdqs9yMquXjNOm49wclcgNB6Bpsrp0xg-ASPTL0kgJBRIvzgEwpAcg-LRahUH0zfwgjzSO29ofO3BCrR_RZNOJAAJJGlKZ_lRcrvvPXzvP3U97GguTUK2YeiTvapCyr2tU3g76/s400/Img0068.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5163524855279634994" /></a><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br /><br />Suatu ketika, saya melihat putri saya tengah asyik mengamati tingkah kepiting-kepiting yang berada di dalam wadah. Kepiting-kepiting kecil itu hasil tangkapan saya dari sungai kecil di belakang rumah. Ia terheran-heran mengapa kepiting-kepiting tersebut tak keluar dari wadah meskipun wadahnya tak seberapa besar. “Lucu ya Yah. Kepitingnya nggak mau ngalah,” katanya, dengan polos.<br />Sejenak, saya tertegun. Saya tak menyangka, putri saya yang masih berusia empat tahun lebih beberapa bulan itu mampu mengamati dengan baik dan menerjemahkan pengamatannya dalam kata-kata. <br />Setelah saya ikut mengamati, memang benarlah adanya. Kepiting-kepiting tersebut tak bisa keluar karena kawannya selalu menarik dari belakang. Mereka saling mengait ketika ada kepiting lain yang berusaha keluar dari wadah. Mereka benar-benar nggak mau ngalah.<br />Seperti itulah yang terjadi di negeri kita saat ini. Setiap orang, tak berhenti mengkritik yang lain. Seakan-akan, apa yang telah dilakukan orang lain itu tak lebih baik dari apa yang telah ia lakukan. Semua terbiasa menghujat. Saking seringnya, hujatan secara langsung tak lagi mempan. Kini, semua kembali menggunakan bahasa sindiran. Memang, dengan menyindir terasa lebih halus. Namun jeleknya, sindiran membuat segalanya terasa kabur. <br />Bahasa sindiran itu pula yang dipilih mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Peristiwanya terjadi saat Mega –panggilan akrab Megawati—berpidato di acara peringatan puncak HUT PDIP ke-35 di GOR Sriwijaya, Jl POM IX Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (31/1).<br />"Pemerintahan saat ini, saya melihat seperti penari poco-poco. Maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Tidak pernah beranjak dari tempatnya. Bergoyang hanya untuk menghibur orang lain," kata Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.<br />Tak berselang lama, kritikan Mega ini langsung ditanggapi pemerintah. "Itu bukan tari poco-poco," ujar Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng.<br />Menurut Andi, apa yang telah dilakukan Bosnya merupakan langkah konkret. Ia pun kemudian menyebut-nyebut beberapa kebijakan yang bermanfaat besar bagi bangsa ini. <br />"Begitu ada indikasi resesi di Amerika Serikat yang juga memicu kenaikan harga barang-barang, Presiden langsung mengambil langkah-langkah konkret," ujarnya.<br />Wakil Presiden Jusuf Kalla pun ikut-ikutan angkat bicara. Bukan hanya membela, saudagar kaya asal Sulawesi itu ganti membalas sindiran Mega dengan sindiran pula. JK mengatakan, tarian poco-poco lebih baik daripada “Dansa Sambil Jual Gas Murah.” <br />"Poco-poco itu kan sehat. Itu gerak bersatu. Lagipula poco-poco itu lebih baik dari tari dansa yang hanya berputar-putar sambil jual gas yang murah," cetus JK.<br />"Ngerti kan maksudnya? ujar JK menyindir masa pemerintahan Mega saat menjadi presiden. Ketika itu Mega menjual gas di Papua dengan harga yang murah. <br />Kubu SBY, melalui Partai Demokrat balas menyindir Mega telah menari undur-undur. <br />"Masih lumayan poco-poco ada majunya, daripada tari undur-undur, mundur terus," cetus Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Sutan Bathoegana di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2008).<br />Apa yang dilontarkan Mega, boleh jadi merupakan balas dendam atas pernyataan SBY tahun lalu. Sekitar bulan November 2007, SBY pernah melontarkan pernyataan bahwa pemerintahannya saat ini siang malam mencuci piring pesta yang dulu. Makanya, demi keadilan, SBY minta jangan diganggu.<br />"Kita harus kerja keras cuci piring biar bersih, karena banyak yang dulu berpesta, lupa cuci piring," kata SBY.<br />SBY mengungkapkan hal itu saat menerangkan komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Namun upayanya itu masih 'diusik' oleh pemerintahan terdahulu.<br />"Yang diingat cuci tangan ketimbang cuci piring. Untuk keadilan, kepada pihak-pihak yang seperti itu, jangan ganggu kami-kami, kita-kita yang siang malam mencuci piring," kata SBY.<br />Terlepas dari kesalahan masing-masing, kini saatnya bersama-sama membangun bangsa ini dengan kebersamaan. Ibarat satu rumah, tak akan ada kedamaian bila salah satu anggota rumah bersitegang. <br />Sebaiknya pula sebagai sesama tokoh bangsa tidak usah saling menyindir. Para tokoh bangsa sebaiknya saling memberikan masukan konstruktif pada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. <br />Saatnya pula kita belajar pada bangsa semut. Mereka, memang terbagi dalam beberapa kasta. Ada semut pekerja, dan ada juga semut pemimpin. Namun, mereka tak pernah bertengkar dan saling bahu membahu membangun sarang. Saatnya pula kita belajar dari bangsa lebah yang mencurahkan segenap waktunya untuk kepentingan sang ratu….Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-23429052395729712392007-10-17T19:51:00.000+07:002007-10-17T19:54:06.161+07:00Ramadhan Terakhir<a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Mungkin Ramadhan Terakhir <br /><br />Ramadhan telah usai. Hampir sebulan, menahan lapar dan haus, memelihara pandangan dan perkataan, memperbanyak ibadah dan sedekah. Ini bulan yang sangat indah, mulia, dan penuh berkah. Nikmat mana lagi yang kita ingkari?<br /><br />Allah mencurahkan nikmatnya melimpah ruah, melebihi apa yang diperkirakan semua manusia. Tanah dengan segala kekayaan di dalamnya, air dengan segala kekayaan di dalamnya, udara dengan segala kekayaan di dalamnya, langit dengan segala energi dan keajaibannya. Allah mengatur darah yang mengalir di sekujur tubuh, mengatur detak jantung, paru-paru, rambut, dan kuku. Nikmat mana lagi yang kita ingkari?<br /><br />Namun, manusia selalu lalai untuk mensyukuri nikmat besar itu. Selalu merasa kurang, padahal siapa yang dapat menciptakan air yang mereka reguk, siapa yang menciptakan tanah tempat mereka berpijak dan menggali rezekinya, siapa yang menciptakan udara untuk mereka hirup, siapa yang menciptakan darah untuk mereka hidup, siapa yang menciptakan jantung, paru-paru, dan kuku? Manusia tidak mampu, meski dengan kehebatan ilmunya, membuat kuku yang terus tumbuh itu.<br /><br />Allah mengalirkan rasa cinta kepada semua manusia sehingga manusia dapat mencintai antarsesamanya. Mengalirkan rasa iba, nafsu, dan amarah. Cinta membuat manusia bertahan hidup sejak ribuan tahun lalu --dari masa Adam dan Hawa-- hingga nanti akhir masa. Cinta membuat manusia saling menyapa, saling senyum, dan melihat dunia menjadi seuatu yang indah. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS Ar- Rahman: 13).<br /><br />Manusia sangat merugi dan lupa pada keterbatasan dirinya. Mereka lancang mengubah cinta menjadi kebencian, saling membunuh, saling fitnah, dan menyakiti. Padahal Allah Maha Pencipta, menciptakan manusia karena kasih sayang-Nya. Mereka mensyukuri kasih sayang Allah ketika mendapatkan limpahan harta, kekuasaan, dan kehormatan. Namun, mencerca ketika mendapat cobaan dan musibah.<br /><br />Tidakkah manusia dapat merasakan sentuhan udara di ujung hidungnya, disediakan tanah untuk mereka berdiri dan bercocok tanam, merasakan sinar matahari, air yang memancar dari tanah dan pepohonan. Apakah manusia dapat menciptakan satu ranting saja pohon atau sedikit saja air dari buah-buahan? Cinta Allah adalah memberi. Dan, kita menerima nikmat melimpah ruah, yang tidak sedikit pun dapat kita ciptakan.<br /><br />Kebahagiaan bukanlah sebuah rumah mewah dan taman dengan bunga-bunga yang indah, bukan pula kekuasaan yang besar dan harta yang melimpah. Kebahagiaan adalah mensyukuri nikmat Allah, dada yang lapang, memberi kepada yang tidak punya, membantu sesama, menebar kebaikan siang dan malam, menerima maaf, dan leluasa beribadah. Sebarkanlah kasih sayang dan kebaikan. Dalam hadis, Rasulullah mengatakan, "Kebaikan mendatangkan ketenangan."<br /><br />Ramadhan sebentar lagi berakhir. Inilah bulan dalam limpahan kasih dan cinta Allah. Cinta dan kasih sayang itu lebih luas dari samudera yang luas, lebih tinggi dari gunung paling tinggi. Tidak ada yang melebihi kasih sayang Allah itu. Dia membuka pintu maaf seluas-luasnya, memberi rahmat dan pengampunan sebesar-besarnya. Tapi, mengapa kita membiarkan anak-anak yatim dan fakir miskin dibelit sengsara?<br /><br />Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (QS Al-Ma'un 1-3).<br /><br />Ya Allah, atas kehendak-Mu, ini bisa saja Ramadhan terakhir bagi kami, karena kami tidak dapat menahan nyawa keluar dari raga. Tidak akan dapat. Ya Rabb, tolonglah kami dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya. Kami tak ingin pulang dalam hina dan wajah yang bernanah.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-69785933093089970152007-09-18T23:15:00.000+07:002007-09-18T23:20:20.215+07:00Trend Celana Melorot Remaja Kita<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfti6COHYGcK0wKH-RSoOHv6mOtssxy71KEAR3ky1Wy4Bb_fk3_lXJOpipjeLQW9Zxl2OAiYwCwCLAYmrvNjHwIJxQNBZp8PmCyk63TghWy5bjzkupY0Q1-Qh2uvS1ViN_1RMf/s1600-h/backside180.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfti6COHYGcK0wKH-RSoOHv6mOtssxy71KEAR3ky1Wy4Bb_fk3_lXJOpipjeLQW9Zxl2OAiYwCwCLAYmrvNjHwIJxQNBZp8PmCyk63TghWy5bjzkupY0Q1-Qh2uvS1ViN_1RMf/s400/backside180.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5111579663409548994" /></a><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Ini berita dari Amerika Serikat, negara yang dikenal sangat liberal. Kota Alexandria dan Shreveport dua kota di negara bagian Louisiana, AS membuat peraturan baru: melarang remaja putra dan putri mengenakan celana melorot di bawah pinggang yang memperlihatkan (maaf) celana dalam mereka.<br /><br />Peraturan itu, tulis Kantor Berita AFP Prancis pekan lalu, diterima secara bulat. Larangan ini lahir setelah warga memprotes gaya berpakaian para remaja, yang berjalan dengan celana melorot di bawah pinggang itu. Gaya tersebut, menurut Konselor Kota Alexandria, Louis Marshall, tidak sopan. <br /><br />Louis Marshall, yang hidup dalam tradisi demokrasi, beruntung. Pelarangan itu sama sekali tidak menuai protes. Tidak ada aktivis yang menyatakan peraturan tersebut melanggar hak asasi manusia, antipluralisme, dan konservatif. <br /><br />Bayangkan jika di Indonesia, negara yang baru saja menghirup udara demokrasi. Louis Marshall akan dikecam dan dianggap telah membunuh kebebasan individu untuk berkreasi. Keputusan pelarangan tersebut bahkan akan diejek sebagai 'campur tangan pemerintah terhadap hak pribadi warga negara'.<br /><br />Ini yang terjadi di Indonesia. Pada Desember 2004, seratus hari pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kegusarannya atas tayangan televisi. Melalui Menko Kesra Alwi Shihab ketika itu, Presiden yang kuat memegang norma agama dan sosial itu meminta media televisi untuk tidak mempertontonkan pusar perempuan. "Itu sangat mengganggu," kata Presiden saat itu.<br /><br />Pernyataan SBY itu baru sebatas permintaan, belum menjadi keputusan. Namun, tidak terlalu lama berbagai reaksi dari kalangan aktivis perempuan bermunculan dalam diskusi-diskusi dan tulisan di media massa. Mereka antara lain menyatakan, SBY telah melanggar prinsip demokrasi, terhadap hak asasi, dan kebebasan individu berekspresi. <br /><br />Mereka menentang keras pernyataan SBY itu. Menurut mereka, apabila negara dibiarkan mengatur hak pribadi warga negara, di antaranya soal pusar tadi, maka demokrasi dan kebebasan individu untuk berkreasi, pun mati. Itu pulalah yang menjadi alasan mereka menentang Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi. Apabila disahkan, maka RUAPP tersebut akan mengatur tubuh perempuan demi kepentingan politik konservatif. <br /><br />Alexandria dan Shreveport, dua kota di negara bagian Louisiana, AS, telah memberlakukan keputusan, yang melarang remaja putra dan putri mengenakan celana melorot. Keputusan itu disambut baik warga, yang sejak lahir telah menghirup udara demokrasi. Tidak ada yang protes dan menyebutnya sebagai antikebebasan berekspresi, antipluralis, konservatif, dan pertanda matinya demokrasi.<br /><br />Demokrasi, sistem yang memiliki berbagai kelemahan, sesungguhnya tidak mati hanya karena pelarangan celana yang melorot dan pelarangan memperlihatkan pusar. Pandangan yang berlebihan terhadap demokrasilah apalagi membenturkannya dengan nilai-nilai di masyarakat, nilai-nilai agama, dan menyebutnya sebagai konservatif yang memungkinkan sistem itu kehilangan esensinya. <br /><br />Di Alexandria dan Shreveport, remaja-remaja tidak lagi mengenakan celana melorot. Mereka tidak merasa menjadi konservatif apalagi antidemokrasi. Di Indonesia, para remaja bebas membiarkan (maaf) celana dalamnya menyembul. Inilah yang disebut para aktivis sebagai kebebasan berekspresi. Dan, para aktivis itu sangat takut demokrasi mati hanya karena remaja menutup pusarnya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-26542484862754743222007-03-06T21:56:00.000+07:002007-03-08T18:28:52.025+07:00Mana Mungkin Berwirausaha Tanpa Modal?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge8vS8kNm9OAie5qlMhXB1OEztHYnJC44Gv0hYvWpu9dA4EQyOiMiK4jUkcLSehxD5yiLlCbDUY4T573qW4o3n6Tp_rCetvsQ0M1kSF8zf5PG26ocLBHq9sANRG9rggO_YU62L/s1600-h/Sofa.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge8vS8kNm9OAie5qlMhXB1OEztHYnJC44Gv0hYvWpu9dA4EQyOiMiK4jUkcLSehxD5yiLlCbDUY4T573qW4o3n6Tp_rCetvsQ0M1kSF8zf5PG26ocLBHq9sANRG9rggO_YU62L/s400/Sofa.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5038833746184404978" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigBtlGhHnzF8VYze9OfoJfwLAvRAb_0veSaQjq4kB60Szgvp0fRBy15x2Xf9GNPLKPEErJvnCu2krYAurIg6SwUlapCipJ_0ylLtNNchi6POn3fsJulkVyVFiOVX0xGQ448epl/s1600-h/405894_bm3.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigBtlGhHnzF8VYze9OfoJfwLAvRAb_0veSaQjq4kB60Szgvp0fRBy15x2Xf9GNPLKPEErJvnCu2krYAurIg6SwUlapCipJ_0ylLtNNchi6POn3fsJulkVyVFiOVX0xGQ448epl/s400/405894_bm3.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5038832504938856418" /></a><br /><a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />"Berwirausaha tuh membutuhkan modal. Jangan ngimpi memulai usaha tanpa modal."<br /><br />Kalimat yang bernada pesimis itu mungkin sering kali kita dengar. Tak bisa dipungkiri memang, dan saya tak menyalahkan jika ada orang yang berkata seperti itu. Namun, ungkapan itu juga tak sepenuhnya benar kok..Masyarakat kita saja yang selalu mengidentikkan modal dengan uang. Uang memang penting dalam memulai usaha. Tapi uang bukanlah segalanya. Uang hanya salah satu faktor pendukung sebelum memulai usaha.<br /><br />So, apa 'modal' utama dalam memulai usaha? 'KEBERANIAN'! <br />Itu saja? Tentu tidak. <br />Banyak lagi faktor selain uang yang memuluskan jalannya menuju wirausaha. <br /><br />Tapi yang paling utama bagi saya memang itu. 'KEBERANIAN' <br />Betapa banyak orang yang memiliki banyak ide dan angan-angan bidang usaha apa yang akan dilakoni tapi tak ada tindak lanjutnya. Saya menyadari memang harus memikirkan berbagai pertimbangan sebelum memulai usaha. Namun, terlalu banyak pertimbangan hanya akan membuang waktu. <br /><br />Jika memang sudah ada ide dan merasa yakin ide itu akan berjalan mala LAKUKANLAH! Jangan hanya duduk-duduk di sofa sambil memperhitungkan kemungkinan untung-ruginya. <br /><br />"Halah...kamu mungkin hanya bisa omong doang." Mungkin itu yang ada di benak Anda saat membaca tulisan ini. Silahkan saja. Itu hak Anda. Tapi, apa yang saya katakan tadi memang benar saya lakukan.<br /><br />Saat ini, saya tengah merintis usaha perbaikan dan pembuatan sofa limited edition. Perusahaan yang saya rintis sejak sejak Ramadhan 2006 silam dan saya beri label RUMAH SOFA itu, memang terlalu dini untuk saya anggap berhasil. Tapi paling tidak, kini menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Sangat jauh dari bayangan saya sebelumnya. <br /><br />Saya masih ingat benar berapa modal yang saya keluarkan saat pertama kali memulai usaha. Tak sampai Rp 100 ribu. Uang itu saya gunakan untuk biaya pemasangan iklan di media cetak lokal. Saya masih ingat benar, dalam kondisi berpuasa saya survei pekerjaan hingga beberapa tempat. Sangat melelahkan memang. Tapi saya menemukan kepuasan karena dari 5 tempat yang saya survei dalam sehari, 4 di antaranya sepakat dengan nilai pengerjaan yang saya tawarkan. <br /><br />Sementara untuk menyelesaikan order yang saya terima biasanya saya akan meminta DP (down payment) minimal 30 persen dari total biaya. Hitung-hitung untuk membantu biaya produksi yang biasanya memakan biaya sebesar 50 persen dari total pengerjaan. <br /><br />Dus mengenai tenaga kerjanya, saya merekrut mantan tukang ayah saya. Sistemnya pun freelance. Jika ada pekerjaan mereka akan saya panggil. Dengan begitu, saya tak terbebani dengan gaji pokok. <br /><br />Alhamdulillah saat ini saya mulai memetik buah yang saya tanam. Untuk survei, saya merekrut seorang karyawan. Dia bertanggung jawab penuh atas pekerjaan yang ia dapatkan. Mulai dari mengambil barang, membeli bahan, hingga mengirim barang tersebut. <br /><br />Pun juga dengan masalah tukang, saat ini saya memiliki 2 tukang tetap. Mungkin angka ini tergolong sedikit. Tapi saya berprinsip, "tak apalah sedikit yang penting kesejahteraannya terjamin." Toh jika nanti banyak pekerjaan, saya tinggal mengontak 4 tukang yang bersedia bekerja dengan sistem freelance. <br /><br />Saat ini, saya berkeinginan untuk mengembangkan usaha saya dengan membuka showroom di berbagai wilayah di Surabaya dan mempunyai armada yang kuat.Doakan saja ya<br /><br />Ohya, modal keberanian saja belum cukup. Yang tak kalah penting adalah kesabaran, ketekunan dan yang pasti doa. Saya percaya, kekuatan doa akan melebihi modal apapun yang dimiliki manusia.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-3598065608713390112007-03-04T17:43:00.000+07:002007-03-04T17:50:53.354+07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil3YQU92exGt1SDSVP9gKQR2UisZs0lwUh1ICFrx5N4v20wU4WkrmM4JNYJISUpt6flNJ9rZxX_t245UxyQxzCs9nZ106HvTAAPsKfYsh05ZgxWYCS-igplh4S13HuE31djN30/s1600-h/34118740960936l.jpg"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil3YQU92exGt1SDSVP9gKQR2UisZs0lwUh1ICFrx5N4v20wU4WkrmM4JNYJISUpt6flNJ9rZxX_t245UxyQxzCs9nZ106HvTAAPsKfYsh05ZgxWYCS-igplh4S13HuE31djN30/s320/34118740960936l.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5038018702199295490" /></a><br/><a href="http://hitcounter-1.com/u/alimah/"><img border="0" src="http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a" /></a><br/><a href="http://hitcounter-2.com/u/alimah/">Free </a><a href="http://hitcounter-3.com/u/alimah/">Hit </a><a href="http://hitcounter-4.com/u/alimah/">Counter</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-1160475623772347222006-10-10T17:15:00.000+07:002006-10-10T17:21:21.870+07:00Menguji Akurasi Berita<a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a><br /><br />Akurasi adalah kunci kredibilitas. Ketidak-akuratan biasanya disebabkan karena kecerobohan, kemalasan, penipuan atau ketidakpedulian reporter dalam menuliskan hasil reportasenya. Pengecekan ulang sebelum kita menulis, membaca kembali dengan hati-hati dan mengeceknya kembali setelah kita menulis adalah benteng terbaik terhadap ketidak-akuratan.<br /><br />Penulis dan pembaca mempunyai keperluan yang berbeda, namun bisa bekerjasama. Penulis tak ada artinya tanpa pembaca, dan pembaca masuk dalam sebuah cerita dengan harapan besar bisa memahami semuanya.<br /><br />Tanggung jawab yang terbesar terletak pada penulis. Jika penulis mengkhianati harapan pembaca dengan membuat sejumlah kesalahan atau kekurang-tepatan, dia merusak kerjasama yang telah terbentuk.<br /><br />MENGUJI AKURASI<br /><br />Berikut ini adalah elemen-elemen utama dalam mencermati sebuah fakta atau<br />detil.<br /><br />Jangan menebak<br /><br />Penulis harus memegang betul apa saja yang diketahui dan apa saja yang dimengerti. Jika kita tidak benar-benar memahami, cek kembali hal itu atau tinggalkan sama sekali. Jangan pernah mengira-kira.<br /><br />Angka<br /><br />Ceklah dua kali semua angka dan jumlah. Sebuah angka seringkali tak memiliki makna, kecuali diletakkan pada konteks yang mudah dipahami pembaca. Angka tentang omset penjualan misalnya, tak punya makna jika tak disertai omset penjualan tahun lalu, berapa prosentase kenaikan atau penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.<br /><br />Angka juga seringkali lebih bermakna jika disertai penjelasan yang menyentuh pembaca:<br /><br /> * Seberapa jauh melampaui standar pencemaran udara?<br /> * Seberapa mahal dibanding APBN Indonesia tahun ini atau dibanding harga<br /> mobil Kijang yang rata-rata dimiliki pembaca?<br /> * Seberapa luas dibanding lapangan sepakbola?<br /><br /> <br /><br />Anda bisa melakukan konversi ukuran di situs ini dan konversi mata uang di sini<br /><br />Nama, Tanggal dan Tempat<br /><br />Dengan kata lain, angka yang ada sebaiknya disertai ekuivalennya yang mudah dicerap pembaca. Ukuran-ukuran juga sebaiknya dikonversikan ke ukuran yang lazim dipakai pembaca: km bukan mil, rupiah bukan dolar, meter bukan kaki, kg bukan pound. Jika Anda tak menghitung sendiri, sebutkan dari mana angka itu dikutip -- dari sumber atau dari buku statistik, misalnya.<br /><br />Nama, Tanggal dan Tempat<br /><br />Tak ada orang yang suka namanya ditulis secara salah. Usahakan untuk meminta sumber berita mengeja sendiri nama sekaligus gelar dan nama panggilannya. Lihat di buku rujukan yang terpercaya, misalnya buku apa siapa atau ensiklopedi. Jangan percaya hanya pada leaflet atau selebaran atau omongan teman Anda.<br /><br />Catatan penting tentang nama sumber: sebagian besar nama orang Indonesia terdiri atas dua kata (kecuali Soeharto misalnya). Cantumkan nama lengkap ketika pertama kali Anda menyebutnya dalam laporan. Pada saat kita menulis tentang tanggal, lihatlah kalender lebih dahulu. Ketika menulis tentang tempat, lihatlah kembali peta. Jika mungkin, milikilah sebuah buku pintar, infopedi, tabel konversi, kalender dan peta kecil. Letakkan pada tempat yang mudah dijangkau, sehingga tak enggan kita untuk mengecek sesuatu fakta.<br /><br />Kutipan<br /><br />Apakah sesuatu kutipan benar-benar seperti yang dikatakan oleh sumber? Apakah catatan kita benar dan kita berani mempertahankan sampai di meja pengadilan? Jika tidak, sebaiknya dijelaskan dengan kata-kata kita sendiri saja.<br /><br />Terburu-buru<br /><br />Kata-kata yang sering digunakan sebagai permintaan maaf atas beberapa kesalahan adalah: ''Saya tidak punya waktu untuk mengeceknya kembali''. Alasan yang tidak bisa diterima.<br /><br />Cerita Bohong<br /><br />Sangat jarang penerbitan yang tidak memasukkan hal ini ke dalam beritanya. Keragu-raguan adalah perlindungan yang terbaik. Jika sebuah cerita atau kenyataan seolah-olah sangat aneh atau menakjubkan untuk dipercaya, jangan percaya hal itu sebelum ada pembuktiannya.<br /><br />Kesalahan Teknis<br /><br />Perhatian yang istimewa sangat dibutuhkan pada tulisan khusus seperti ilmu pengetahuan, hukum, kedokteran, teknik, keuangan dan sejenisnya. Sediakan waktu untuk menelitinya, dan kemudian ceklah kembali informasi yang kita peroleh melalui pakar yang dapat dipercaya pada bidang tersebut.<br /><br />Rekayasa<br /><br />Manipulasi, perubahan konteks, distorsi, pemaparan yang salah, sindiran, kebencian, gosip, kabar angin dan melebih-lebihkan. Semua itu sangat tinggi ongkosnya, sementara hasilnya sangat rendah.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-1160248652505413352006-10-08T02:16:00.000+07:002006-10-08T02:17:32.506+07:00Bismillah<a href=http://hitcounter-1.com/u/alimah/><img border=0 src=http://ctr.hitcounter-1.com/counter/index.php?u=alimah&s=a></a><br><a href=http://hitcounter-2.com/u/alimah/>Free </a><a href=http://hitcounter-3.com/u/alimah/>Hit </a><a href=http://hitcounter-4.com/u/alimah/>Counter</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-1160157376539378322006-10-07T00:53:00.000+07:002007-09-18T23:39:12.388+07:00Tak Seorangpun Ingin Menjadi Pengemis<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8ux3Wfxqmzo0c9o7OjGuspCWwGT92mDvSN-jYhz3nz7-rZoMm4XBQQRXA5uTyOT37rWyBmhShmfXUDgcvpcHxl2wDCYiGGfq4REYHAQutZk-j0FMzqB7GWPzR0vgbspXRDdqo/s1600-h/sedekah2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8ux3Wfxqmzo0c9o7OjGuspCWwGT92mDvSN-jYhz3nz7-rZoMm4XBQQRXA5uTyOT37rWyBmhShmfXUDgcvpcHxl2wDCYiGGfq4REYHAQutZk-j0FMzqB7GWPzR0vgbspXRDdqo/s400/sedekah2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5111583954081877746" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLEZv3EPSpb29y9BqtBxRXXZDW0d9iFrH8gatls0ZWtFZh1MVoj8gttywa6SlXj-xBxP7lXWXkkrpSYhcsKXcADOJ91X5xXqIlB0pFXH0SkIbDSLwxFICjg9StMPzoSbNu-5AW/s1600-h/34118740960936l.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLEZv3EPSpb29y9BqtBxRXXZDW0d9iFrH8gatls0ZWtFZh1MVoj8gttywa6SlXj-xBxP7lXWXkkrpSYhcsKXcADOJ91X5xXqIlB0pFXH0SkIbDSLwxFICjg9StMPzoSbNu-5AW/s320/34118740960936l.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5038021833230454290" /></a><br />Suatu ketika saya menumpang mobil seorang kawan--panggil saja namanya Sulton--menuju tempat kerja. Kami berdua memang bekerja di perusahaan yang sama. Sebelum menuju tempat kerja, ia mengantar putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika mobil berhenti di lampu merah, seperti biasa mobil langsung dihampiri beberapa pengemis. Mulai dari yang masih anak-anak, ibu-ibu sambil membawa balitanya, hingga nenek-nenek yang sudah renta.<br/><br/>Sulton berkali-kali mengangkat tangannya dan menempelkan ke jendela mobil pertanda dia tak bisa memberi sedekah. Sampai tiba ada seorang gadis yang menghampiri mobilnya. Dari tatapan matanya, terlihat sekali gadis yang mungkin masih belum genap berusia 20 tahun itu mengharapkan belas kasih.<br/><br/>Meskipun tangan kawan saya tadi tetap ditempelkan di jendela, namun gadis itu tetap saja tak beranjak dari tempatnya. Sambil menengadahkan tangannya, dengan lirih gadis itu meminta belas kasih. "Sedekahnya pak..saya punya adik yang belum makan," rengek gadis itu.<br/><br/>Kawan saya bergeming dan tak berusaha mengambil uang receh yang tercecer di dashboardnya. <br/><br/>Karena merasa kasihan, saya pun langsung berusaha merogeh pecahan seribuan yang ada di dalam kantong jeans belel saya. "Tak akan miskin orang yang memberi orang lain yang membutuhkan," ujar saya dalam hati. Sebelumnya, jujur saja saat itu saya menimbang-nimbang akan memberi sedekah berapa bagi gadis itu. Maklum saja, kantong saya saat itu memang lagi kering.<br/><br/>Ketika berusaha menjulurkan tangan yang menggenggam pecahan seribuan, tanpa saya duga ternyata teman saya tadi menampik dan meminta saya menyimpan uang tersebut. "Nggak usah diberi. Biar saja. Sebentar lagi dia kan pasti akan menyingkir," ujar Sulton dengan mimik serius.<br/><br/>Tak lama mobil pun bergerak dan meninggalkan asap dan debu bagi gadis yang sepertinya melakukan aksi minta-minta itu dengan terpaksa. <br/><br/>"Orang-orang seperti itu nggak usah diberi. Mereka itu hanya pura-pura saja. Saya malah jengkel lagi kalau ada yang muda seperti tadi meminta-minta. Ketimbang mengemis, bukankah mereka bisa mencari pekerjaan yang lebih terhormat. Kalau kita memberi, berarti kita membenarkan keberadaan mereka. Mereka itu anggota sindikat," ujar Sulton seolah membenarkan sikapnya.<br/><br/>Ia pun menambahkan, banyaknya pengemis di jalan-jalan tanpa sengaja merupakan 'ciptaan' masyarakat sendiri. Kata dia, orang memutuskan menjadi pengemis setelah menganggap meminta-minta di jalan lebih mudah dilakukan ketimbang harus berjualan di perempatan. <br/><br/>"Lihat saja, kita lebih suka memberi uang receh kepada pengemis ketimbang membeli dagangan seorang anak. Ini sangat tidak mendidik. Lambat laun anak tersebut akan mempunyai pemikiran bahwa lebih baik mengemis ketimbang berjualan," ujarnya.<br/><br/>Pendapat Sulton yang terakhir memang benar meskipun tak dapat dibenarkan seluruhnya. Awalnya saya hanya diam mendengarkan penjelasannya. Namun akhirnya saya memutuskan untuk membantah pernyataannya. Bagaimanapun juga saya tak bisa menerima pernyataannya bahwa semua yang dilakukan para pengemis itu adalah pura-pura. Sebab, saya meyakini bahwa tak ada satupun manusia di dunia ini yang menginginkan peran itu.<br/><br/>Saya memang pernah menjumpai seorang pemuda yang berpura-pura kehilangan kakinya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana pemuda itu menekuk kakinya dan melumurinya dengan obat merah agar terlihat seperti terluka. Terlepas apa yang dilakukan oleh si pemuda itu, bagaimanapun juga dalam hati kecilnya ia sungguh tak ingin menjalani peran itu. Suatu pekerjaan yang berat harus berada di bawah panas terik matahari sembari duduk dengan kaki terlipat hanya dengan beralaskan celana kain yang sudah compang-camping di sana-sini.<br/><br/>Pernah juga saya menjumpai seorang pemuda yang biasanya berdiri di atas viaduk Gubeng sembari memegang tangannya pertanda ia sangat kelaparan namun ternyata di sore hari ia dijemput dengan menggunakan minibus.<br/><br/>Apa yang dilakukan oleh kedua pemuda tadi memang tak dapat dibenarkan. Namun, terlepas dari patokan apapun yang ada di dunia ini, saya meyakini bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya di luar kehendak mereka. <br/><br/>Semua orang pasti ingin kaya, semua orang ingin berkecukupan, dan semua orang pastinya selalu ingin pada posisi tangan di atas daripada tangan di bawah. Itu merupakan fakta yang tak mungkin terbantahkan. <br/><br/>Bukan kita yang menciptakan mereka. Keadaan serta himpitan ekonomi yang maha hebat yang membuat mereka kehilangan rasa malu. Saya yakin kedua pemuda atau bahkan para pengemis yang ada di seluruh dunia ini memang tak mempunyai pilihan selain harus mengorbankan harga diri demi sesuap nasi.<br/><br/>Maka, berbahagialah kita yang masih diberi kesempatan oleh Allah untuk memilih. Memilih untuk tak menjadi pengemis. Bahagialah kita yang masih diberi kesempatan oleh Allah dapat memberi orang lain sekecil apapun pemberian itu. Maka, mulailah untuk saling berbagi tanpa ada perasaan curiga akan dikemanakan pemberian kita itu. Sebab, itu merupakan urusan Allah..Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-35254377.post-1159807333230913772006-10-02T23:42:00.000+07:002006-10-02T23:42:13.246+07:00NEWS :: PHOTOS :: EAST JAVA :: INDONESIA: Enam Bulan Untuk Penganiaya Wartawan<a href="http://idnugroho.blogspot.com/2006/09/enam-bulan-untuk-penganiaya-wartawan.html#links">NEWS :: PHOTOS :: EAST JAVA :: INDONESIA: Enam Bulan Untuk Penganiaya Wartawan</a>Unknownnoreply@blogger.com0