Selasa, Februari 05, 2008

Bangsa Kepiting



Free Hit Counter


Suatu ketika, saya melihat putri saya tengah asyik mengamati tingkah kepiting-kepiting yang berada di dalam wadah. Kepiting-kepiting kecil itu hasil tangkapan saya dari sungai kecil di belakang rumah. Ia terheran-heran mengapa kepiting-kepiting tersebut tak keluar dari wadah meskipun wadahnya tak seberapa besar. “Lucu ya Yah. Kepitingnya nggak mau ngalah,” katanya, dengan polos.
Sejenak, saya tertegun. Saya tak menyangka, putri saya yang masih berusia empat tahun lebih beberapa bulan itu mampu mengamati dengan baik dan menerjemahkan pengamatannya dalam kata-kata.
Setelah saya ikut mengamati, memang benarlah adanya. Kepiting-kepiting tersebut tak bisa keluar karena kawannya selalu menarik dari belakang. Mereka saling mengait ketika ada kepiting lain yang berusaha keluar dari wadah. Mereka benar-benar nggak mau ngalah.
Seperti itulah yang terjadi di negeri kita saat ini. Setiap orang, tak berhenti mengkritik yang lain. Seakan-akan, apa yang telah dilakukan orang lain itu tak lebih baik dari apa yang telah ia lakukan. Semua terbiasa menghujat. Saking seringnya, hujatan secara langsung tak lagi mempan. Kini, semua kembali menggunakan bahasa sindiran. Memang, dengan menyindir terasa lebih halus. Namun jeleknya, sindiran membuat segalanya terasa kabur.
Bahasa sindiran itu pula yang dipilih mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Peristiwanya terjadi saat Mega –panggilan akrab Megawati—berpidato di acara peringatan puncak HUT PDIP ke-35 di GOR Sriwijaya, Jl POM IX Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (31/1).
"Pemerintahan saat ini, saya melihat seperti penari poco-poco. Maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Tidak pernah beranjak dari tempatnya. Bergoyang hanya untuk menghibur orang lain," kata Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Tak berselang lama, kritikan Mega ini langsung ditanggapi pemerintah. "Itu bukan tari poco-poco," ujar Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng.
Menurut Andi, apa yang telah dilakukan Bosnya merupakan langkah konkret. Ia pun kemudian menyebut-nyebut beberapa kebijakan yang bermanfaat besar bagi bangsa ini.
"Begitu ada indikasi resesi di Amerika Serikat yang juga memicu kenaikan harga barang-barang, Presiden langsung mengambil langkah-langkah konkret," ujarnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun ikut-ikutan angkat bicara. Bukan hanya membela, saudagar kaya asal Sulawesi itu ganti membalas sindiran Mega dengan sindiran pula. JK mengatakan, tarian poco-poco lebih baik daripada “Dansa Sambil Jual Gas Murah.”
"Poco-poco itu kan sehat. Itu gerak bersatu. Lagipula poco-poco itu lebih baik dari tari dansa yang hanya berputar-putar sambil jual gas yang murah," cetus JK.
"Ngerti kan maksudnya? ujar JK menyindir masa pemerintahan Mega saat menjadi presiden. Ketika itu Mega menjual gas di Papua dengan harga yang murah.
Kubu SBY, melalui Partai Demokrat balas menyindir Mega telah menari undur-undur.
"Masih lumayan poco-poco ada majunya, daripada tari undur-undur, mundur terus," cetus Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Sutan Bathoegana di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2008).
Apa yang dilontarkan Mega, boleh jadi merupakan balas dendam atas pernyataan SBY tahun lalu. Sekitar bulan November 2007, SBY pernah melontarkan pernyataan bahwa pemerintahannya saat ini siang malam mencuci piring pesta yang dulu. Makanya, demi keadilan, SBY minta jangan diganggu.
"Kita harus kerja keras cuci piring biar bersih, karena banyak yang dulu berpesta, lupa cuci piring," kata SBY.
SBY mengungkapkan hal itu saat menerangkan komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Namun upayanya itu masih 'diusik' oleh pemerintahan terdahulu.
"Yang diingat cuci tangan ketimbang cuci piring. Untuk keadilan, kepada pihak-pihak yang seperti itu, jangan ganggu kami-kami, kita-kita yang siang malam mencuci piring," kata SBY.
Terlepas dari kesalahan masing-masing, kini saatnya bersama-sama membangun bangsa ini dengan kebersamaan. Ibarat satu rumah, tak akan ada kedamaian bila salah satu anggota rumah bersitegang.
Sebaiknya pula sebagai sesama tokoh bangsa tidak usah saling menyindir. Para tokoh bangsa sebaiknya saling memberikan masukan konstruktif pada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Saatnya pula kita belajar pada bangsa semut. Mereka, memang terbagi dalam beberapa kasta. Ada semut pekerja, dan ada juga semut pemimpin. Namun, mereka tak pernah bertengkar dan saling bahu membahu membangun sarang. Saatnya pula kita belajar dari bangsa lebah yang mencurahkan segenap waktunya untuk kepentingan sang ratu….