Kamis, Oktober 23, 2008

Lokalisasi Bangunsari: Khusus Penggemar Estewe



WAKER BR: Nih fotonya Pak Slamet lagi nunjukin aktivitas PSK di sana. Beliau penjaga atau petugas kontrol di BR.


Free Hit Counter

Layak kiranya jika Surabaya disebut sebagai Kota Prostitusi. Di kota ini bisnis seks tumbuh subur layaknya cendawan di musim hujan. Ada 6 lokalisasi prostitusi yang tersebar di berbagai kawasan, yakni; lokalisasi Tambakasri, Dupak Bangunsari, Dolly, Jarak, Sememi, dan Klakah Rejo. Belum lagi PSK yang memilih ‘independen’ dengan menjual diri di jalanan seperti di Jl Diponegoro, Jl Embong Malang, dan kawasan Wonokromo dan Jagir. Surabaya Pagi secara berseri menurunkan laporan mengenai potret masing-masing lokalisasi itu. Berikut laporan pertama yang diawali dengan lokalisasi Dupak Bangunsari.
Senja itu, Lastri (35 tahun) mulai sibuk berdandan. Setelah mengulas bedak di wajah dan menoreh lipstik di bibir, ia kemudian duduk tenang di depan rumah. Pandangan matanya tajam menatap laki-laki yang lalu lalang di depannya. Tak ada suara, hanya lambaian ringan mengundang para lelaki itu untuk menghampirinya.
Lastri adalah satu di antara 350 PSK di Dupak Bangunsari yang masih bertahan. Usianya memang sudah tak muda, namun ia masih menjadi primadona di sana. Di antara rekan-rekannya sesama profesi, ibu dua anak ini memang paling cantik dan menarik.
Karena itu, meski sudah estewe ia masih percaya diri ‘mengusir’ tamunya jika merasa tamu itu berpenyakit. Menurutnya, tak ada patokan pasti ciri-ciri seseorang mengidap penyakit kelamin. Ia hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman selama berpuluh tahun menjadi PSK untuk menyeleksi tamu-tamunya. “Elek-elek ngene awak dhewe yo gak gelem sembarangan mas,” katanya.
Ia memasang tarif Rp 60 ribu untuk dua kali main selama satu jam. Dalam semalam, ia mengaku tak lebih melayani 2 tamu saja. Hasil ‘jualan’ tak utuh ia kantongi. Dari tarif Rp 60 ribu itu, ia hanya mendapat Rp 35 ribu saja. “Sisanya untuk bayar kamar dan kontrolan. Untuk orang seusia saya kerjo opo maneh oleh duwik sak mene nek gak dadi (maaf) balon,” tuturnya.
Ia mengaku dari tahun ke tahun pamor lokalisasi yang biasa disebut BR—akronim Bangunsari--, itu semakin meredup. Saat pertama terjun di BR lima tahun lalu, jumlah PSK masih ribuan. Di sini tak berlaku hukum dagang di mana semakin sedikit barang maka harga meningkat seiring dengan melonjaknya permintaan. Dengan berkurangnya PSK maka menyusut pula jumlah tamu karena menganggap pilihan semakin sedikit. “Inilah bedanya jualan minyak dengan jual diri,” ujar Lastri sambil tertawa lepas.
Memang benar apa yang dikatakan PSK asal Blitar itu. Berdasarkan data Dinas Sosial Kota Surabaya, di tahun 2007 jumlah PSK di Surabaya mencapai 4.191 orang. Angka ini menurun dibanding tahun 2006 yang mencapai 8.009 orang.
Lokalisasi Dupak Bangunsari merupakan penyumbang terbesar penurunan angka tersebut. Saat ini, hanya 350 PSK yang masih bertahan di sana. Padahal, sekitar lima tahun lalu, PSK di lokalisasi itu mencapai 3.000 orang dan tersebar di 15 gang yang ada di sana.
Ketua RW IV Dupak Bangunsari, Totok Basuki Rahmad mengatakan, jumlah PSK di wilayahnya terus menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dimilikinya, tahun 2007 ada 380 PSK dan di tahun 2008 menyusut lagi menjadi 350 PSK. PSK-PSK ini tersebar di 70 wisma dan terkonsentrasi di wilayah RW IV agar mudah pembinaannya.
Menurutnya, selama ini tak pernah terungkap kasus child trafficking (perdagangan anak dan dijadikan PSK) di wilayahnya karena memang sejak dulu BR merupakan lokalisasi prostitusi estewe. “Ikut hukum alam. Di sini ini khusus PSK estewe. Yang muda jelas saja di Dolly,” katanya.
Ke mana PSK itu?”Ada yang pindah ke Kremil (Lokalisasi Tambak Asri, red), banyak juga yang tobat,” tukasnya.
Menurunnya jumlah PSK di sana, tak lepas dari kiprah sejumlah tokoh agama baik dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang terjun di sana.
Salah satunya adalah Muhammad Hatta. Bersama rekan-rekannya sesama pengurus Muhammadiyah Cabang Krembangan ia mengawali dakwah dengan membangun masjid.
Dia berpikir, jika ada rumah ibadah, paling tidak, setiap hari mucikari dan PSK mendapatkan pencerahan dari corong-corong pengeras suara.
”Paling tidak, mucikari atau PSK bisa mendengarkan suara azan, suara orang melafalkan Alquran dalam jarak cukup dekat. Kami juga rutin menggelar ceramah-ceramah di masjid supaya mereka selalu ingat,” tuturnya. Hatta termasuk salah seorang penceramah yang aktif berbicara melalui pengeras suara. ”Materinya itu tadi, agar masyarakat tabah menghadapi cobaan, tidak gampang putus asa, dan selalu berusaha menjadi lebih baik,” katanya.
Hatta dan rekan-rekannya juga mengadakan pengajian keliling dari gang ke gang. Setiap acara mereka menutup seluruh akses menuju wisma. ”Misalnya, pengajiannya di Bangunsari Gang I, seluruh akses jalan ditutup. Jadi, wisma tidak bisa beroperasi, minimal selama pengajian. Biasanya acara digelar pukul 19.00 hingga 21.00. Padahal, saat itu kan sedang ramai-ramainya tamu,” ucapnya. Bukan hanya PSK dan mucikari yang tidak bisa bekerja selama pengajian. Pria hidung belang yang akan suka jajan juga dipaksa balik kanan oleh acara itu. ”Saya kira, pengajian itu cukup memberikan kontribusi,” katanya.
Strategi selanjutnya jatuh pada pembelian aset milik mucikari. ”Selama ini, kalau ada wisma dijual, biasanya dibeli mucikari lain, kemudian didirikan wisma dengan nama baru. Ini yang juga kami antisipasi,” ucapnya. Lagi-lagi, Hatta menggalang bantuan donatur. Dia meminta kawannya yang punya uang lebih untuk membeli wisma-wisma yang dijual pemiliknya. ”Akhirnya, banyak wisma yang dibeli jamaah kami, kemudian dibuat sebagai tempat tinggal,” tandasnya.arz