Senin, Februari 09, 2009

Resiko Mati, Gaji Setengah Hati



Wartawan Itu Banyak Uang
Wartawan Itu Tau Banyak Hal
Wartawan Itu Tukang Ngarang


Itu persepsi jamak yang dianut banyak orang tentang profesi wartawan. Padahal, tak semua wartawan seperti itu. Banyak wartawan yang hidupnya pas-pasan atau bahkan kekurangan. Banyak wartawan yang hanya tau sedikit hal karena tak punya kesempatan dan dikebiri untuk tau banyak hal. Dan kalau yang terakhir, memang harus diakui tak sedikit wartawan yang tukang ngarang.
Pers, termasuk wartawan merupakan bagian dari pilar demokrasi keempat. Tugas dan tanggungjawab wartawan pun tak main-main meski bayarannya terkadang main-main.
Saya pernah dengar, Aliansi Jurnalis Indonesia Surabaya pada tahun 2008 pernah bikin angket untuk cari tau seberapa besar sih gaji wartawan di Surabaya dan berapa gaji wartawan yang ideal? Hasilnya ternyata tak mengejutkan bagi yang tau seluk beluk dunia pers. Hasil angket itu menyatakan gaji wartawan di Surabaya masih di bawah UMK tahun 2008 yang sebesar Rp 850 ribu per bulan. Masih banyak wartawan yang digaji antara Rp 400 sampe Rp 700 ribu per bulan. Bahkan, ada juga yang nggak digaji. Parahnya lagi, sudah nggak digaji masih ditarget cari iklan! Puihhh, susah banget jadi wartawan.
Padahal, resiko yang harus ditanggung pelaku profesi ini nggak main-main. Mulai dari yang ringan seperti teror, luka kekerasan ringan hingga paling parah mati. Dan pualing parah lagi udah dianggep mati tapi nggak tau bagaimana matinya. Contoh: wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin. Pengen tau lebih lengkap tentang kisah Udin? Klik http://id.wikipedia.org/wiki/Fuad_Muhammad_Syafruddin.
Suherman dan Muhammad Guntur, kameramen Lativi dan SCTV, wafat ketika meliput tenggelamnya KM Levina.
Seandainya benarlah cerita film Superman Return, maka pasti Clark Kent akan lebih memilih tugas jurnalistiknya di Indonesia. Walau tak menginginkan Pulitzer Award, sebuah penghargaan tertinggi di dunia pers Amerika, pastilah berita-beritanya mengenai Indonesia akan diganjar Pulitzer.
Clark Kent memang tidak dilahirkan oleh Jor-El, ayahnya dari Planet Crypton, untuk menjadi penakut dan pengecut. Ia dilengkapi kemampuan terbang, mata yang tembus pandang dan bisa mengeluarkan sinar laser, tenaganya dapat mengangkat planet bumi, kebal senjata apapun dan mampu melesat melebihi kecepatan suara dan cahaya. Tak ada alasan bagi Clark Kent untuk takut. Dan, ia pasti ke Indonesia.
Mengapa Indonesia? “Jangan tanya, tebak saja,” tulis Mustofa Bisri dalam Negeri Teka-teki. Clark Kent tak butuh banyak alasan, cukup satu saja: ia dibutuhkan di sini.
Kemampuan terbangnya diperlukan karena Indonesia bukanlah Amerika, yang sistem transportasinya sudah cukup bagus. Kalaupun ada kecelakaan pesawat di negara itu, itu karena pembajakan. Jadi, bukan karena operatornya menjadi pegawai karena membayar sejumlah uang, juga bukan karena radar dan perlengkapan bandara dibeli melalui penunjukan langsung ala Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Ketua KPK Taufiqurahhman Ruki, dan pasti bukan karena pesawatnya sudah uzur dan ongkos maintenance-nya dipangkas hingga kemudian tiket pesawat bisa jadi lebih murah.
Jadi bukan tanpa alasan, bila Taufik Ismail dalam Presiden Boleh Pergi Presiden Boleh Datang pernah berujar pedas, Kini simaklah sebuah kisah, seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah. Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, Honda metalik, dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah. Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika. Ia pun tak perlu naik kereta api. Malah, Clark Kent dibutuhkan untuk membentangkan badannya di bantalan rel, agar rel kereta api yang sering dicuri orang di sini tidak mengakibatkan kereta keluar jalur. Sang Superman juga dibutuhkan terutama agar ia tidak terlambat mengejar deadline berita hanya gara-gara jalan protokol tidak lebih bagus dari jalan kecamatan, kabupaten, propinsi maupun nasional. Dengan demikian, ia juga bisa menghindari rentetan kecelakaan karena jalan-jalan itu sering digali Badan Usaha Milik Negara (seperti PLN dan Telkom) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (seperti PDAM). Dan, terutama agar ia tidak dimaki orang ketika menyeberang jalan walau lampu lalu lintas sedang berwarna merah.
Dus, mata supernya juga sangat diidam-idamkan di negeri ini. Sehingga bila ada kebijakan sekolah lima hari, ia bisa melihat betapa sekolah-sekolah madrasah sedang diambang kehancuran karena siswa-siswanya lebih sibuk dan sudah lelah belajar di sekolah terpadu ataupun yang menerapkan one-day school. Nantinya, mata super ini juga bisa meneliti, kalau tiba-tiba suatu fraksi partai politik di DPR dan DPRD menolak pertanggungjawaban penguasa, maka apakah partai itu juga menolak dana bantuan partai yang selalu dianggarkan dalam APBN dan APBD.
Mata superman yang bisa mengeluarkan sinar laser itu, pastilah diperlukan untuk menerobos dinding-dinding protokoler dan rahasia yang bukan rahasia. Ini karena lembaga komunikasi politik antara rakyat dan penguasanya serta wakilnya kini pun harus dipisah oleh pagar besi seperti tampak di kantor DPRD.
Ini juga karena untuk masuk kantor penguasa daerah tingkat satu, haruslah lewat detektor dan meninggalkan KTP. Padahal siapa pun tahu, urusan administrasi pemerintahan seperti KTP, tidak semua rakyat punya. Kadang pun satu orang bisa lima KTP, tergantung kebutuhannya apa. Bila untuk mencairkan dana Biaya Langsung Tunai (BLT) dipakailah KTP miskin, tapi bila hendak membikin curicullum vitae atau mengurus surat nikah, maka dipakailah KTP yang bertuliskan pejabat ataupun pengusaha. Jadi wajar saja bila Biro Pusat Statistik (BPS), dinas kependudukan, atau bahkan KPU pun bingung berapa sebenarnya jumlah penduduk.
Tenaga super Clark Kent juga dibutuhkan wartawan Indonesia. Itu karena sumber gizi wartawan tak cukup bagi dirinya apalagi bagi keluarga dan handai tolannya. Namun, wartawan di daerah berkembang dan negara miskin, memang tak sepatutnya pula menjadi kaya. Kalaupun ia kaya, maka tak patut pula ia dicurigai telah menjual informasi penting dan rahasia kepada penguasa ataupun mengolah berita yang “wangi”. Mungkin saja ia sudah pintar sedikit dan membuka kedai sampah di depan rumahnya. Kalau dia sampai membuka plaza, tentulah statusnya sebagai wartawan tidak diperlukan lagi.
Sistem kekebalan tubuh superman juga dibutuhkan di sini. Pasalnya, Undang-undang Pokok Pers belumlah berdiri layaknya sebuah pokok yang kuat dan tahan banting. Kematian Udin wartawan Bernas, sampai sekarang masihlah menjadi misteri, demikian juga Eliuddin wartawan Berita Sore di Teluk Dalam, Nias. Kantor wartawan juga sampai harus didatangi mahasiswa karena mahasiswa itu merasa dirugikan ketika pejabat kampusnya diberitakan terlibat korupsi dan manipulasi. Wartawan memang tak pantas untuk ditakuti. Taufik Ismail saja dalam puisinya takut ’66, takut ’98 tak menghitung wartawan.
Tak percaya? Inilah kata Taufik Ismail soal takut itu, /mahasiswa takut pada dosen/ dosen takut pada dekan/ dekan takut pada rektor/ rektor takut pada menteri/ menteri takut pada presiden/presiden takut pada mahasiswa”
Lucunya, sudah tak masuk dalam kategori yang ditakuti, para wartawan sendiri pun kadang-kadang harus saling berkelahi karena “tuan” yang berbeda-beda.
Kecepatan Superman juga menjadi barang langka di sini. Kegesitan diperlukan untuk mengimbangi kelihaian seorang politisi atau kandidat penguasa yang sering dikatakan “curi start”. Selentingan yang mengatakan, ketika seorang pejabat disumpah pertama kali maka di situlah kampanye untuk periode keduanya bermula, sudah berurat-berakar di daerah ini. Kecepatan dalam melihat dan menangkap peluang-peluang serta mempraktekkan korupsi menjadi syarat utama untuk menjadi pejabat di Indonesia.
Di negeri yang subur ini, hanya ada dua kontestan terdepan dalam soal kecepatan, yaitu pertambahan orang miskin dan pertumbuhan koruptor. 30 tahun lalu, Rendra sudah mengatakan ini dalam bait-bait Sajak Pertemuan Mahasiswa. Bacalah bait satirnya ini: kenapa maksud baik dilakukan/ tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya/ tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota/ perkebunan yang luas/ hanya menguntungkan segolongan kecil saja/ alat-alat kemajuan yang diimpor/ tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Marilah berbicara yang tak masuk akal karena logika sudah tak lagi diperlukan. Jangan bertanya mengapa karena Mustofa Bisri sudah bilang ini memang negeri teka-teki. Katanya, “jangan tanya siapa/ membunuh buruh dan wartawan/ siapa merenggut nyawa/ yang dimuliakan Tuhan/ jangan tanya mengapa,/ tebak saja.”
Ah, seandainya saja Suherman dan Muhammad Guntur serta wartawan lainnya yang ikut meliput tenggelamnya KM Levina, tidak meliput ke sana.
Seandainya saja manusia Indonesia tanggap bahwa tenggelamnya kapal bukan karena ditelan naga laut.
Seandainya saja, kapal-kapal itu telah mengalami pemeriksaan dan uji kelayakan. Seandainya pejabat yang meluluskan uji kelayakan itu kuat imannya dalam mengambil keputusan.
Seandainya atasannya pun tak salah memilih orang. Dan atasan atasannya itu melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya yang satu lagi. Dan seandainya, atasan yang satu lagi itu, benar-benar melaksanakan amanah yang diberikan orang-orang miskin, si kaya, anak-anak yatim, para mahasiswa, wartawan, seniman, para garong, orang cacat, TKI dan TKW, dan seluruhnya.
Dan seandainya pula orang-orang yang memilih para wakil dan pemimpinnya ini, sadar terhadap orang dipilihnya, dan bukan karena pesona, uang, dan keangkerannya.
Ah, seandainya tak ada keyakinan akan adanya “tuah” itu, maka seorang politisi pun tak harus melontarkan “ruwatan penguasa”. “Ada republik rasa kerajaan,” sitir Mustofa dalam Zaman Kemajuan.
Seandainya itu terjadi, mungkin Clark Kent alias Superman alias Kar-el tak perlu diundang ke mari. Karena ia pasti tak paham soal doa, apalagi Doa Orang-orang Lapar-nya Rendra. Tapi, seandainya Clark Kent si wartawan itu percaya akan doa, maka dengarkanlah rintihan Mustofa Bisri dalam Doa.
kami tak berani menatap langit
bumi yang terbaring
terus mengerang
menghisap air mata kami
( tapi tak menghilangkan, sayang
bahkan menambah dahaga )
Selamat jalan, para wartawan…! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar