Minggu, November 09, 2008

Lokalisasi Dolly: Dengan Rp 150 Ribu, Bisa Kencani PSK ‘Bau Kencur’










Free Hit Counter


Surabaya adalah Kota Pahlawan. Surabaya adalah Lontong Balap dan Semanggi. Surabaya adalah Dolly. Citra itulah yang tertanam di benak warga luar Surabaya, dan bahkan mungkin luar negeri. Keberadaan lokalisasi Dolly sudah menjadi bagian dari ikon Surabaya.
Para pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota ini kalau belum mampir ke sana.
Sore itu, Dolly mulai menggeliat dari tidurnya. Sejumlah lelaki berperawakan besar menyiapkan dan membersihkan wisma-wisma. Ada yang menyapu, membersihkan kaca, dan bahkan mengepel lantai. Di dalam wisma, beberapa gadis muda dan seksi berdandan dan bercanda dengan sebaya.
Itulah sebagian potret lokalisasi Dolly. Lokalisasi ini kini menjadi favorit karena lokasinya yang strategis. Atraksi penawaran PSK dengan memajang mereka dalam etalase kaca seperti ”ikan dalam akuarium” punya daya tarik tersendiri. Meski tak tampak ada papan nama bertuliskan ”Dolly”, daerah itu menjadi magnet yang menggaet para lelaki hidung belang.
Ada sedikitnya 58 wisma di Dolly. Wisma-wisma ini berlomba-lomba menawarkan ‘barang’ dagangan dengan beragam cara. Selain selalu menghadirkan ‘barang’ baru, pemilik wisma juga merekrut makelar atau calo. Jangan heran jika setiap melintas di sini tangan Anda ditarik-tarik untuk sekadar melihat ‘barang’ yang mereka tawarkan.
Berdasarkan data yang dimiliki Yayasan Abdi Asih, jumlah PSK di sini sedikitnya 221 orang. “Kemungkinan bertambah dan kecil kemungkinan berkurang karena itu data tahun 2007,” kata Vera, aktivis Yayasan Abdi Asih, kemarin.
Karena kualitas ‘barang’ lebih baik ketimbang lokalisasi lain, maka jangan heran jika tarifnya lebih mahal. Mereka mematok tarif antara Rp 75 ribu – Rp 150 ribu per jam.
Semakin muda dan cantik, semakin mahal pula tarifnya. “Terserah mau main berapa kali. Yang penting satu jam segitu,” ujar Dewi, salah satu PSK Dolly.
PSK-PSK itu berasal dari penjuru Indonesia. Ada yang datang dari Bandung, Bogor, Sukabumi, dan bahkan Kalimantan. “Sekarang yang lagi ngetrend dari Sukabumi. Ceweknya cakep-cakep, bersih, dan nggak rewel,” ujar Kartono, salah satu makelar PSK di Dolly.
Usia PSK di sini banyak yang masih ‘bau kencur.’ Dalam operasi yustisi yang sering dilakukan petugas memang lebih 17 tahun. Padahal, menurut Kartono, banyak PSK yang masih berusia di bawah 17 tahun. Bagaimana mereka bisa ada di sini meski masih belia?. “Semua bisa diatur mas. Sing penting lhak duwike. Nek onok dhuwik, opo sih sing gak isok diakali,” katanya sembari tersenyum. Banyak juga PSK yang ada di sana sebenarnya korban penipuan sindikat perdagangan anak. Salah satunya Dhani (17 tahun). PSK asal Blitar ini mengaku korban penipuan seorang lelaki yang dikenalnya di Terminal Bungurasih. Dua tahun lalu, ia nekat mengadu nasib di Surabaya karena kampung halamannya tak lagi bisa diharapkan. Tujuannya, bekerja di kawasan Perak di mana salah satu rekannya bekerja di sana sebagai karyawan toko. “Awalnya sedih. Tapi setelah dipikir-pikir, rasanya kok memang lebih enak. Banyak uang dengan sedikit keringat,” katanya sembari tertawa lepas.
Dalam sehari, biasanya ia melayani antara 2-3 tamu dengan tariff Rp 100 ribu. Uang yang didapat, kata dia, masih dipotong Rp 30 ribu untuk ‘maminya.’ Kalau dirata-rata, dalam semalam dia minimal mendapat Rp 140 ribu. “Kadang ada tamu yang baik dan memberi uang lebih,” katanya.
Meski sudah mendapat uang berlebih, ia bertekad untuk keluar dari Dolly setelah hutangnya pada pemilik wisma lunas. “Awal bekerja saya dikasih uang Rp 10 juta. Uang itu sudah habis untuk beli sapi, baju dan handphone,” tandasnya.
Dolly memang punya sejarah unik, lokasi strategis, dan cara menjajakan pelacur yang dramatis. Pada mulanya Dolly hanyalah kawasan pemakaman China di daerah pinggiran kota yang sepi. Tahun 1960-an, makam itu banyak dibongkar untuk dijadikan hunian.
Tahun 1967, seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina, Dolly Khavit, mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang Timur I. Lantaran dianggap sebagai perintis, Dolly kemudian diabadikan sebagai nama daerah itu. ”Dari hanya beberapa wisma, Dolly lantas berkembang menjadi kawasan pelacuran yang ramai tahun 1980-an,” kata Sugeng, mantan germo di Dolly.n kha/arz

Lokalisasi Jarak: Esek-eseknya Murah, Dan Lain-lainnya Bikin Kantong Jebol



Suasana lokalisasi Jarak di pagi hari.


Free Hit Counter

Lokalisasi prostitusi Putat Jaya berada satu kawasan dengan Dolly. Meski bersebelahan, namun masing-masing lokalisasi memiliki banyak perbedaan. Di antaranya; PSK yang praktek di lokalisasi Jarak umumnya sudah "STW". Dalam menjaring tamu, para PSK di Jarak juga cukup menampakkan dan menjajakan dirinya di depan wisma-wisma tinggalnya. Tak ada teriakan makelar menawarkan ‘barang’ sehingga lelaki hidung belang bisa lebih bebas memilih pasangan kencan.
Satu hal lagi yang membedakan kedua tempat pelacuran ini adalah tarif. Di Dolly berlaku harga pas, kalau pun bisa ditawar paling hanya bergeser sedikit saja dari harga semula. Sedangkan di Jarak dibutuhkan kemampuan tawar menawar. Rata-rata tarif sekali kencan dengan wanita di Jarak berkisar antara Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per jam.
Persamaan antara Dolly dengan Jarak adalah keduanya tidak berlaku short time maupun long time. Sebab, pembayaran dilakukan berdasarkan durasi. “Nggak masalah mau main berapa kali. Yang penting bookingnya per jam,” katanya.
Lokalisasi seluas 3 hektare ini, selain menyediakan kamar-kamar untuk check-in berukuran 1 x 2 meter, juga terdapat ruang karaoke. Di sini pelanggan bebas memilih lagu-lagu yang disukainya sambil ditemani menyanyi wanita-wanita itu.
Menurut data dari Yayasan Abdi Asih, sebuah lembaga sosial yang dikenal memiliki kepedulian melakukan pendampingan terhadap PSK, jumlah PSK di Jarak sebanyak 2.060 orang dan menempati 385 wisma. Angka ini, menurut Vera—Koordinator Abdi Asih--, kemungkinan besar terus bertambah sebab itu merupakan data tahun 2007.
“Faktor kemiskinan merupakan pemicu utama. Dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Ini sebuah angka yang fenomenal. Bayangkan, ada ribuan PSK di satu kelurahan yang sama,” tuturnya.
Lokasi yang strategis, tarif yang relatif terjangkau, dan banyaknya pilihan ‘barang’ menjadi magnet lokalisasi ini.
Salah satu pelanggan tetapnya adalah Winarso (40). Supir angkot yang ditemui Surabaya Pagi di sebuah warung kopi di kawasan Jarak ini mengaku jajan ke Jarak menjadi rutinitasnya sejak remaja. “Sudah kadung kepincut dengan suasananya. Saya kalau main ya di sini ini (Jarak, red). Pertama karaoke sambil minum bir, lalu nyarung,” katanya tanpa malu-malu. Nyarung merupakan istilah lazim bagi lelaki yang main dengan PSK di sini. Setiap kali berkunjung, ia harus merogoh kocek dalam-dalam. Sejak menginjakkan kaki hingga pulang, pengunjung lokalisasi memang harus mengeluarkan uang. “Mulai parkir, karaokenya, mbayar PSK untuk nemani karaoke, bir, nyarung, dan ke ponten. Nggak ada yang gratis mas di sini,” katanya seraya tertawa lepas. Paling tidak, setiap kali berangkat ia membawa sangu Rp 500 ribu. Dan itu, biasanya habis dalam semalam. Padahal, dalam sebulan ia biasanya datang ke Jarak bisa sampai 3 kali. “PSKnya memang murah. Dan lain-lainnya itu lho sing nggarai kantong jebol,’’ katanya.
Cerita Winarso dapat dijadikan gambaran betapa besarnya perputaran uang di lokalisasi ini. Jika satu PSK di Jarak melayani 3 tamu semalam dengan tarif rata-rata Rp 50 ribu, uang yang beredar Rp 309 juta. Jika dikalikan lagi dalam sebulan maka ketemu angka Rp 9, 27 miliar. Itu hanya perputaran uang jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman, makanan, dan lain-lain.

Taruhlah jika satu wisma menjual satu krat bir seharga sekitar Rp 250.000 per krat, maka total transaksi penjualan bir dari 385 wisma di Jarak mencapai Rp Rp 9.625.000 dalam semalam. Dan dalam sebulan ketemu angka Rp 2,8 miliar untuk penjualan minuman saja.
Tak hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat pada pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras lain.
”Cuci satu baju Rp 1.000, celana panjang Rp 1.500, satu singlet Rp 500. Satu
hari, saya bisa dapat Rp 30.000,” kata Narti (37), warga Putat Jaya yang
menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun terakhir.n kha/arz

Lokalisasi Moroseneng: Lebih Baik dari Jarak, Alternatif Wisata Seks setelah Dolly



MOROSENENG:Suasana di Moroseneng saat siang hari.


Free Hit Counter

Lokalisasi Sememi atau yang lebih dikenal Moroseneng merupakan lokasi favorit kedua setelah Dolly. Meski berada di kawasan pinggiran dan dekat perbatasan kota, namun tak menyurutkan niat lelaki hidung belang bertandang ke sana. Di akhir pekan, jumlah pengunjung di sana bisa mencapai ribuan. Ada yang sekadar minum-minum dan menikmati ‘pemandangan’, namun tak sedikit yang menjajal ‘barang’ yang konon kualitasnya setara dengan Dolly.
‘Moro’ dalam makna harfiah adalah datang, dan ‘Seneng’ adalah senang. Itulah janji yang ditawarkan pengusaha bisnis esek-esek di sana kepada pria hidung belang; Anda datang maka akan senang. Bagi mereka yang hobi berwisata seks mungkin janji itu tidak berlebihan. PSK-PSK yang ditawarkan di sini memang kualitasnya lebih baik ketimbang lokalisasi lain di Surabaya—selain Dolly--,tentunya. Usia yang masih muda, penampilan menggoda dengan tarif yang relatif lebih murah pasti membuat pria-pria iseng tergoda.
Salah satu PSK di sana adalah Rianti (27). Gadis asal Lamongan ini merupakan salah satu primadona di sana. Dalam sehari, ia mengaku mampu melayani antara 3-5 tamu dengan tarif Rp 75 ribu- Rp 100 ribu per jam.
“Kalau malam minggu bisa lebih dari biasanya. Itu nanti dikurangi setoran Rp 30 ribu untuk mami,” katanya singkat.
Meski tahu bahwa apa yang dilakoninya ini termasuk pekerjaan hina, namun ia merasa tak ada beban. Dia pun masih belum berpikir untuk hengkang dari lokalisasi ini meski sudah berada di sana sejak 5 tahun silam. “Sik ngelumpukno bondo mas,” katanya.
Cita-citanya sederhana yaitu ingin membuka wisma. Alasannya, apalagi kalau bukan karena ingin mendapat keuntungan besar dengan cara instan. “Saiki kerjo opo sing hasile isok podho ambek penggaweanku saiki. Nek onok sing podho, pasti aku leren,” katanya seraya tertawa lepas.
Ada lagi PSK bernama Siska (29) yang mengaku berasal dari Ponorogo. Di usianya yang hampir menginjak kepala 3 ini ia mengaku belum memunyai cukup tabungan untuk membuka usaha. Dia pun siap-siap menghadapi hukum alam di mana yang tua harus tersingkir oleh yang muda. Kini ia mencari-cari informasi untuk pindah ke lokalisasi Klakah Rejo yang berada tak jauh dari Moro Seneng.
“Siap-siap pindah mas. Kapene leren duwik yo sik durung gableg. Nek wis sugih ae aku leren,” katanya tanpa malu-malu.
Di belakang bangunan wisma yang berderet di sepanjang Jalan Moro Seneng juga terdapat lokalisasi Sememi. Karena lokasinya menyatu dengan Moro Seneng namun dari kualitas barang ada sedikit perbedaan. Di lokalisasi Sememi Gang I dan II, PSK yang sudah berumur di atas 30 tahun berbaur dengan PSK yang masih belia. “Orang tahunya Moro Seneng. Padahal ada perbedaan antara Sememi dengan Moro Seneng. Kalau Moro Seneng itu yang ada di wisma-wisma pinggir jalan, dan Sememi masuk gang,” kata Ahmad Haerun, Ketua RW setempat.
Jumlah PSK dan wisma di lokalisasi ini tergolang stabil. Sejak dulu, menurut Haerun, jumlah wismanya tak lebih dari 25 dan jumlah PSK-nya paling banyak 130 orang. Namun ia memprediksi tahun ini akan terjadi pengurangan. Sebab, hingga kemarin baru 50 PSK yang kembali setelah libur lebaran. “Nggak tahu ke mana mereka. Mungkin ada yang tobat dan mungkin pula ada yang milih freelance,” katanya.
Meski tak ada penambahan wisma dan PSK namun jangan dikira kompetisi di sini tak terjadi. Wisma-wisma yang ada di Moro Seneng dan Sememi berlomba-lomba merenovasi bangunan agar lebih menarik plus fasilitas tambahan lainnya. Bahkan ada salah satu wisma yang juga membangun parkir mobil khusus bagi pelanggannya. Tujuannya, apalagi jika bukan untuk memberi jaminan privasi. “Lokasinya kan di pinggir jalan besar. Kalau diparkir di depan wisma dan ketemu istri atau keluarganya bagaimana?,” ujar Mona, salah satu mami PSK sembari tertawa lepas.n kha/arz

Lokalisasi Klakahrejo: Tempat Terpencil, Kualitas ‘Barang’ Bikin Mata Mecicil



GEMUK YA: Inilah salah satu model PSK di lokalisasi Klakahrejo. Memang sih terlihat gemuk, tapi --menurut germonya--wajahnya mirip Nafa Urbach.


Free Hit Counter


Surabaya benar-benar dikepung dengan lokalisasi prostitusi. Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Surabaya, terdapat kompleks pelacuran di Desa Klakah Rejo, Kecamatan Benowo. Lokalisasi ini berada tak jauh dengan lokalisasi Moroseneng di Sememi yang terkenal itu. Meski berada di kawasan pinggiran dan perbatasan kota, namun kedua lokalisasi ini lebih baik ketimbang lokalisasi Dupak Bangunsari dan Tambakasri. Karena itu, kawasan ini biasa dikunjungi hidung belang kelas menengah yang memburu kenikmatan sesaat.
Namanya memang kalah popular dengan Moroseneng. Namun bagi lelaki hidung belang, ini merupakan salah satu lokalisasi favorit. Letaknya yang terpencil plus ‘barang’ yang relatif muda, sungguh menjadi magnet tersendiri. Memang, jika kurang teliti mengamati wilayah ini sulit membedakan mana yang rumah tangga biasa dan mana yang rumah yang dijadikan wisma PSK. “Karena itu enak njajan nang kene. Nek ketemon dulur, ngomong ae dolen nang konco,” ujar Adi—bukan nama sebenarnya--, salah satu pelanggan lokalisasi ini.
Wisma PSK di Klakah Rejo dipusatkan di Gang Barokah yang berada di wilayah RW II, Kelurahan Klakah Rejo, Kecamatan Benowo.
Di lokalisasi ini, sedikitnya terdapat 47 wisma dengan 167 PSK yang berusia antara 20-30 tahun dengan tarif antara Rp 50 ribu – Rp 100 ribu.
Namun beberapa tahun terakhir pamor lokalisasi ini meredup. Ini terlihat dari jumlah PSK dan wisma yang semakin berkurang.
Ketua RW II, Kuswadi mengatakan, pihaknya tak tahu pasti mengapa terjadi penurunan. Yang jelas, tahun lalu di lokalisasi ini sedikitnya masih ada 200 PSK yang menjajakan diri di 50 wisma yang ada.
“Mungkin saja merasa modal sudah cukup dan membuka usaha di kampung halamannya. Sekarang saja banyak yang masih belum pulang setelah libur lebaran,” katanya.
Pernyataan Kuswadi itu dibenarkan Titin (27), PSK Wisma Flamboyan.
Menurutnya, banyak rekan-rekannya sesama PSK yang mentas setelah merasa mengantongi cukup uang untuk membuka usaha. Gadis jebolan SMP ini pun mengaku akan melakukan hal serupa jika uang yang ia kumpulkan dari hasil menjual diri sejak lima tahun silam, itu cukup untuk membuka usaha.
Saat ini, ia sudah memiliki sebuah toko yang menjual kebutuhan rumah tangga di kampung halamannya di Blitar. “Alhamdulillah mas punya took. Sekarang lagi ngumpulin uang untuk membuka usaha lain,” katanya.
Menurutnya, menjadi seorang PSK merupakan pilihan terakhir setelah sebelumnya ia mencoba pekerjaan lain. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya, ia bekerja di sebuah warung makan. Menganggap beban kerja yang tak sesuai dengan uang yang didapat, Titin akhirnya keluar. “Pertama kerja di warung aku dibayar Rp 280 ribu sebulan. Dapat apa dengan uang segitu. Padahal, setiap bulan aku harus mengirim uang ke kampung untuk emak,” katanya.
Dia pun tergiur dengan tawaran seorang teman lelakinya yang menawarkan pekerjaan dengan penghasilan lima kali lipat. “Saya langsung tertarik dan mau saja diajak ke Moroseneng,” katanya.
Tak satupun keluarga dan rekannya di kampung yang tahu profesinya sebenarnya. Dia menutup rapat-rapat pekerjaan yang dianggapnya hina ini. Bahkan suaminya yang kini berada di Malaysia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pun tak tahu pekerjaan yang dilakoninya saat ini. “Suamiku tahunya aku kerja di Surabaya. Itu saja,” katanya.
Di lokalisasi ini ada banyak Titin-Titin lainnya. Mereka ada yang memang sejak awal berniat menjadi PSK, namun ada juga yang terpaksa karena kadung kebujuk. Ada yang sudah remaja, namun tak sedikit yang benar-benar masih belia.
Awal bulan Juli tahun ini, Polwiltabes Surabaya bahkan berhasil mengungkap penjualan
dua gadis di bawah umur yang melibatkan seorang sekretaris desa di Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan.
Modusnya, sekdes berinisial BD ini membantu memalsukan KTP dua gadis bernama Desi dan Ratna (keduanya nama samaran). Usia Desi diubah dari 16 tahun menjadi 22 tahun, dan usia Ratna diubah dari 17 tahun menjadi 23 tahun. Sebelumnya, kedua gadis itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.n kha/arz

Lokalisasi Kremil: Tahu Diri, Tak Marah Dibayar Seikhlasnya



SEPI: Ini suasana Kremil saat siang hari. Terlihat sepi meski ada beberapa PSK yang sudah mejeng. Tuh di dekat gapura ada salah satu PSK yang mejeng sambil asyik nelpon.


Free Hit Counter

Lokalisasi prostitusi Tambakasri ini juga disebut sebagai lokalisasi Kremil. Ini merupakan satu di antara 6 lokalisasi prostitusi di Surabaya yang masih eksis. Lokalisasi yang terletak di wilayah Kecamatan Krembangan, itu juga dikenal sebagai lokalisasi untuk warga kelas menengah-bawah. Maklum saja, tarif PSK di lokalisasi dengan jumlah PSK terbesar kedua setelah lokalisasi Jarak (versi Dinsos) ini memang relatif murah meriah. Cukup mengeluarkan uang antara Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu, syahwat pun terpuaskan.

Siang itu, Tutik (55) terlihat serius membersihkan halaman rumahnya yang berdebu. Ia pun semangat membersihkan kaca bening berukuran 2 x 3 meter yang terbungkus tembok depan rumahnya. Tutik adalah satu di antara sekian banyak mami PSK di lokalisasi yang juga biasa disebut Kremil itu. Tak ada papan nama di depan wisma yang sekaligus ia jadikan tempat tinggalnya. Yang membedakan rumah miliknya dengan rumah tangga biasa adalah di atas pintu masuk terdapat plat seng bertuliskan ‘Anggota TNI Dilarang Masuk.’
Tutik tergolong wajah lama di Tambakasri. Sudah sejak umur 20 tahun dia ‘terjebak’ di sini. “Kebujuk wong lanang,” katanya singkat.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia mengaku tak tahu apa-apa. Maklum, saat itu ia hanya gadis desa biasa yang mencoba mengadu untung di Surabaya. “Tahu-tahu diajak ke sini disuruh kerja di warung dan jualan bir. Lama-lama kok keterusan dan (maaf) jadi lonte,” katanya.
Tahun 1981, ia naik kelas menjadi germo sekaligus pemilik wisma bermodal uang tabungan selama jadi PSK. Wisma miliknya berukuran 6 X 10 meter, dengan dinding terbuat dari triplek. Ada 6 sekat ruang yang 5 di antaranya ia fungsikan sebagai kamar anak buahnya. Di teras rumah terdapat meja besar dan etalase sederhana yang ia gunakan berjalan nasi dan minuman ringan. “Meski elek, sing penting iso gawe ndelek duwek gawe nyambung urip,” katanya.
Meski begitu Tutik masih beruntung. Banyak rekan-rekan seusianya yang hingga kini masih menjajakan diri. Karena sudah kewut (baca:tuwek), tentu saja penghasilan yang mereka terima tak menentu. Memang, di Tambakasri dikenal sebagai lokalisasi khusus PSK kewut. Kalaupun ada yang ‘muda’ itupun berusia di atas 30 tahun. “Yang di bawah 30 tahun bisa dihitung dengan jari. Yang banyak di atas 40 tahun dan 50 tahun juga banyak,” kata Tutik.
Sri (35), salah satu PSK asal Madiun merupakan primadona wisma Tutik. Meski menjadi primadona jangan dibayangkan jika Sri bergelimang harta. Dalam sehari ia maksimal hanya mengantongi uang Rp 50 ribu dari hasil menjual diri. “Saya tidak memasang tarif mas. Hanya berharap kerelaan tamu saja. Dikasih berapapun saya terima. Namun pasarannya memang antara Rp 25 ribu – Rp 50 ribu,” kata Sri.
Menurutnya, lokalisasi Tambakasri semakin meredup. Saking sepinya, terkadang ia terpaksa mulai ‘praktek’ sejak siang bolong. “Mungkin aja ada yang mampir,” katanya.
Meski dianggap sepi, namun PSK yang masih bertahan di sana cukup banyak. Data tahun 2007 yang dilansir Dinas Sosial menyebutkan, jumlah PSK di Tambakasri mencapai 1.600 orang. Jumlah ini terbesar kedua setelah lokalisasi Jarak yang berisi 2.543 PSK. “Banyak yang seharusnya pensiun tapi tetap kerja. Makanya jadi yang terbanyak,” ujar Tutik dengan tawa lepas.
Namun data ini dibantah Sekretaris RW setempat, Agus Purnomo. Dari data yang ia miliki, jumlah PSK saat ini sebanyak 435 orang dan tersebar di 143 wisma. Setiap PSK-PSK itu dikenai retribusi atau yang menurutnya uang kontrol sebesar Rp 5 ribu. Hasil yang terkumpul digunakan untuk biaya operasional RW dan petugas keamanan.n arz

Kamis, Oktober 23, 2008

Lokalisasi Bangunsari: Khusus Penggemar Estewe



WAKER BR: Nih fotonya Pak Slamet lagi nunjukin aktivitas PSK di sana. Beliau penjaga atau petugas kontrol di BR.


Free Hit Counter

Layak kiranya jika Surabaya disebut sebagai Kota Prostitusi. Di kota ini bisnis seks tumbuh subur layaknya cendawan di musim hujan. Ada 6 lokalisasi prostitusi yang tersebar di berbagai kawasan, yakni; lokalisasi Tambakasri, Dupak Bangunsari, Dolly, Jarak, Sememi, dan Klakah Rejo. Belum lagi PSK yang memilih ‘independen’ dengan menjual diri di jalanan seperti di Jl Diponegoro, Jl Embong Malang, dan kawasan Wonokromo dan Jagir. Surabaya Pagi secara berseri menurunkan laporan mengenai potret masing-masing lokalisasi itu. Berikut laporan pertama yang diawali dengan lokalisasi Dupak Bangunsari.
Senja itu, Lastri (35 tahun) mulai sibuk berdandan. Setelah mengulas bedak di wajah dan menoreh lipstik di bibir, ia kemudian duduk tenang di depan rumah. Pandangan matanya tajam menatap laki-laki yang lalu lalang di depannya. Tak ada suara, hanya lambaian ringan mengundang para lelaki itu untuk menghampirinya.
Lastri adalah satu di antara 350 PSK di Dupak Bangunsari yang masih bertahan. Usianya memang sudah tak muda, namun ia masih menjadi primadona di sana. Di antara rekan-rekannya sesama profesi, ibu dua anak ini memang paling cantik dan menarik.
Karena itu, meski sudah estewe ia masih percaya diri ‘mengusir’ tamunya jika merasa tamu itu berpenyakit. Menurutnya, tak ada patokan pasti ciri-ciri seseorang mengidap penyakit kelamin. Ia hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman selama berpuluh tahun menjadi PSK untuk menyeleksi tamu-tamunya. “Elek-elek ngene awak dhewe yo gak gelem sembarangan mas,” katanya.
Ia memasang tarif Rp 60 ribu untuk dua kali main selama satu jam. Dalam semalam, ia mengaku tak lebih melayani 2 tamu saja. Hasil ‘jualan’ tak utuh ia kantongi. Dari tarif Rp 60 ribu itu, ia hanya mendapat Rp 35 ribu saja. “Sisanya untuk bayar kamar dan kontrolan. Untuk orang seusia saya kerjo opo maneh oleh duwik sak mene nek gak dadi (maaf) balon,” tuturnya.
Ia mengaku dari tahun ke tahun pamor lokalisasi yang biasa disebut BR—akronim Bangunsari--, itu semakin meredup. Saat pertama terjun di BR lima tahun lalu, jumlah PSK masih ribuan. Di sini tak berlaku hukum dagang di mana semakin sedikit barang maka harga meningkat seiring dengan melonjaknya permintaan. Dengan berkurangnya PSK maka menyusut pula jumlah tamu karena menganggap pilihan semakin sedikit. “Inilah bedanya jualan minyak dengan jual diri,” ujar Lastri sambil tertawa lepas.
Memang benar apa yang dikatakan PSK asal Blitar itu. Berdasarkan data Dinas Sosial Kota Surabaya, di tahun 2007 jumlah PSK di Surabaya mencapai 4.191 orang. Angka ini menurun dibanding tahun 2006 yang mencapai 8.009 orang.
Lokalisasi Dupak Bangunsari merupakan penyumbang terbesar penurunan angka tersebut. Saat ini, hanya 350 PSK yang masih bertahan di sana. Padahal, sekitar lima tahun lalu, PSK di lokalisasi itu mencapai 3.000 orang dan tersebar di 15 gang yang ada di sana.
Ketua RW IV Dupak Bangunsari, Totok Basuki Rahmad mengatakan, jumlah PSK di wilayahnya terus menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dimilikinya, tahun 2007 ada 380 PSK dan di tahun 2008 menyusut lagi menjadi 350 PSK. PSK-PSK ini tersebar di 70 wisma dan terkonsentrasi di wilayah RW IV agar mudah pembinaannya.
Menurutnya, selama ini tak pernah terungkap kasus child trafficking (perdagangan anak dan dijadikan PSK) di wilayahnya karena memang sejak dulu BR merupakan lokalisasi prostitusi estewe. “Ikut hukum alam. Di sini ini khusus PSK estewe. Yang muda jelas saja di Dolly,” katanya.
Ke mana PSK itu?”Ada yang pindah ke Kremil (Lokalisasi Tambak Asri, red), banyak juga yang tobat,” tukasnya.
Menurunnya jumlah PSK di sana, tak lepas dari kiprah sejumlah tokoh agama baik dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang terjun di sana.
Salah satunya adalah Muhammad Hatta. Bersama rekan-rekannya sesama pengurus Muhammadiyah Cabang Krembangan ia mengawali dakwah dengan membangun masjid.
Dia berpikir, jika ada rumah ibadah, paling tidak, setiap hari mucikari dan PSK mendapatkan pencerahan dari corong-corong pengeras suara.
”Paling tidak, mucikari atau PSK bisa mendengarkan suara azan, suara orang melafalkan Alquran dalam jarak cukup dekat. Kami juga rutin menggelar ceramah-ceramah di masjid supaya mereka selalu ingat,” tuturnya. Hatta termasuk salah seorang penceramah yang aktif berbicara melalui pengeras suara. ”Materinya itu tadi, agar masyarakat tabah menghadapi cobaan, tidak gampang putus asa, dan selalu berusaha menjadi lebih baik,” katanya.
Hatta dan rekan-rekannya juga mengadakan pengajian keliling dari gang ke gang. Setiap acara mereka menutup seluruh akses menuju wisma. ”Misalnya, pengajiannya di Bangunsari Gang I, seluruh akses jalan ditutup. Jadi, wisma tidak bisa beroperasi, minimal selama pengajian. Biasanya acara digelar pukul 19.00 hingga 21.00. Padahal, saat itu kan sedang ramai-ramainya tamu,” ucapnya. Bukan hanya PSK dan mucikari yang tidak bisa bekerja selama pengajian. Pria hidung belang yang akan suka jajan juga dipaksa balik kanan oleh acara itu. ”Saya kira, pengajian itu cukup memberikan kontribusi,” katanya.
Strategi selanjutnya jatuh pada pembelian aset milik mucikari. ”Selama ini, kalau ada wisma dijual, biasanya dibeli mucikari lain, kemudian didirikan wisma dengan nama baru. Ini yang juga kami antisipasi,” ucapnya. Lagi-lagi, Hatta menggalang bantuan donatur. Dia meminta kawannya yang punya uang lebih untuk membeli wisma-wisma yang dijual pemiliknya. ”Akhirnya, banyak wisma yang dibeli jamaah kami, kemudian dibuat sebagai tempat tinggal,” tandasnya.arz

Minggu, Juli 06, 2008

Bertahan di Tiang Kesabaran



Free Hit Counter

Kamis, 3 Juli 2008 mungkin hari yang akan selalu dikenang Abdul Ghofur (22) selama hidupnya. Pertama kalinya ia harus berurusan dengan polisi setelah sebelumnya kepergok warga Jl Asemrowo tengah mencuri dua batang pipa besi. Perkara pencurian yang dilakukan warga Kalianak, Surabaya, ini sebenarnya tergolong biasa dan sepatutnya seseorang yang mengambil barang bukan miliknya mendapat ganjaran. Yang menarik dan patut kita telaah adalah alasannya mengapa ia sampai nekat melakukan hal itu.
Di depan penyidik Polres Surabaya Utara, ia mengaku tergoda mengambil dua pipa besi yang kebetulan tergeletak di depan rumah warga untuk menambah penghasilannya.
Ia menganggap penghasilannya sebagai pemulung masih tak cukup menutup kebutuhan rumah tangganya. Apalagi, pasangan muda ini dalam hitungan bulan bakal mendapat momongan. Ia nekat. Tak berpikir panjang, diambilnya barang yang bukan haknya itu.
Saat itu, mungkin yang dipikirkan Ghofur hanya cara bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk biaya istrinya melahirkan.
Alasan yang diutarakan Ghofur, bagi saya sangat memilukan. Menyadari perannya sebagai suami yang harus bertanggungjawab, membuatnya mengorbankan diri hidup di balik terali besi.
Di sekeliling kita, apa yang dilakukan Ghofur banyak juga dilakukan orang lain. Namun, tentu saja dengan beragam alasan yang berbeda. Nilai barang yang dicuri, pun bermacam-macam. Ada yang cuma senilai puluhan ribu, seperti yang dilakukan Ghofur atau ada juga yang nilainya mencapai miliaran. Ini, benar terjadi seperti yang dilakukan Bulyan Royan, anggota Partai Bintang Reformasi yang ditangkap KPK dua hari lalu. Bagi saya, apa yang dilakukan Bulyan justru lebih hina. Ghofur, si calon ayah itu mencuri untuk kebutuhan hidupnya. Namun Bulyan, tak jelas untuk apa uang sebesar Rp 1,6 miliar yang didapatnya dari pemenang tender pengerjaan di Depertemen Perhubungan. Bulyan menganggap uang itu sebagai fee. Namun KPK beranggapan lain. KPK menganggap ada persekongkolan jahat antara Bulyan yang juga kiai pemilik pondok pesantren itu dengan pemilik perusahaan pemenang tender pengadaan kapal patroli. Perusahaan pemenang tak bakal memberi uang secara cuma-cuma kepada anggota Komisi V DPR RI itu tanpa ada perjanjian-perjanjian sebelumnya. Bedanya, Bulyan lebih professional, memang berniat maling sejak awal, dan tentu saja nilai uang yang diembat lebih besar dari nilai barang yang dicuri Ghofur. Tambah lagi, uang yang diambil sebenarnya milik orang banyak. Dan bagaimanapun, maling tetaplah maling. Mereka pantas mendapat ganjaran setimpal perbuatannya.
Di hari yang sama dengan kesialan Ghofur, saya bertemu dengan seorang wanita. Orang-orang biasa memanggilnya Mbak Nasi Kuning. Ia saya temui saat tengah melepas lelah tak jauh dari penjual es tebu langganan. Usianya belum genap 25 tahun. Tapi raut wajahnya terlihat seperti seseorang yang sudah berusia 30 tahunan. Ia duduk berjongkok di atas batu. Tak jauh darinya, teronggok dua bungkus besar tas plastik berwarna merah. Isinya, nasi kuning yang dibungkus dalam wadah sterefoam kotak. Jam menunjukkan pukul 11.00. Tapi 20 nasi yang dibawanya, tak satupun yang terjual. “Sepi mas. Nek gak payu, aku sungkan ambek juraganku,” katanya sembari mengeluarkan air putih yang ditaruh di botol Aqua yang sudah usang. Sesekali ia mengusap peluh yang menerobos keluar dari topi putihnya yang terlihat agak kecoklat-coklatan. Setiap hari, ia berjalan sambil membawa dua tas plastik besar itu keliling ke perumahan-perumahan. Kira-kira, masing-masing tas itu beratnya sekitar 3-4 kilograman. Ia berangkat dari rumah pemilik nasi kotak itu tak lama setelah azan shubuh. Saat itu, nasi masih hangat. Dan saat saya cek, nasi itu tetap hangat. “Nasike sampek anget maneh mas. Kepanasan,” ujarnya tersenyum kecut. Tak satupun nasi yang dibawanya terjual. Ia tak habis pikir mengapa hari itu dan hari-hari sebelumnya ia benar-benar sial. Tak satupun terjual. Padahal, dari komisi nasi yang terjual itulah ia baru mendapat penghasilan yang ‘lebih’. Dalam sebulan, tanpa libur 30 hari kerja ia mendapat gaji pokok sebesar Rp 300 ribu. Artinya, dalam sehari ia tetap mendapat uang Rp 10 ribu baik laku atau tidak nasi yang ia jual. Sementara dari setiap kotak yang terjual, ia mendapat komisi lima ratusa perak. Ya, Cuma lima ratus perak. Andaikan terjual semua, barulah tambahan sebesar Rp 10 ribu berada di genggamannya. “Gak pernah habis. Paling apik payu separuh,” katanya.
Jika di rata-rata dalam sehari nasi yang terjual sebanyak 7 bungkus, maka komisinya sebesar Rp 3.500. Cukupkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? “Jujur, nggak cukup mas. Tapi yaopo maneh,” katanya. Saat ini, ia memang tak punya pilihan lain. Menurutnya, berapapun penghasilan yang ia dapatkan yang penting telah membantu mengurangi beban suaminya mencukupi kebutuhan keluarga. “Bojoku tukang sampah mas. Sak ulan mek Rp 600 ribu,” katanya polos.
Sehari sebelumnya, di tempat yang sama secara kebetulan aku juga bertemu dengan seorang pemuda. Usianya mungkin sepantaran. Ia berdiri di sebelah sepeda MTB butut. Di atas boncengan sepedanya, ada tumpukan keset. Jumlahnya tak sampai 10 biji. Seseorang terlihat membolak-balik keset dagangannya. Pemuda yang belakangan kuketahui bernama Yanto itu hanya diam. Ia unik tak seperti pedagang-pedagang umumnya. Ia diam jika tak ditanya dan tak pula mengunggul-unggulkan dagangannya. Ia menjawab lirih “Tujuh ribu lima ratus pak,” saat seorang calon pembeli menanyakan berapa harga keset dagangannya. Entah karena kemahalan atau sekadar iseng, orang itu berlalu. Yanto pun diam saja tak berusaha mengejar atau menurunkan harga. Ia menata lagi keset yang sudah dibolak-balik itu dengan sabar. Tak lama kemudian ia memesan es tebu dan mengambil sepotong gorengan. Barulah setelah kulihat ia agak santai, kuberanikan diri berbincang dengannya. Dan ia tak keberatan meladeni pertanyaan-pertanyaanku. Ia mengaku berasal dari sebuah desa yang tak kukenal di daerah Porong, Sidoarjo. Ingatanku langsung melayang ke lumpur. Bencana alam atau mungkin lebih pantas disebut alam yang dibencanakan itu telah menyusahkan ribuan atau bahkan ratusan ribu orang. Dan ternyata Yanto salah satunya korbannya. Sambil menerawang ia menceritakan kebahagiaan hidupnya sebelum Lumpur menyembur atau disemburkan. Ia pernah menjadi mandor di salah satu pabrik krupuk yang ada di desanya. Sebagai pemuda desa, bekerja di pabrik dengan jabatan mandor tentu sudah menjadi kebanggaan. “Meski bayaran nggak sepiro tapi rasane cukup mas,” katanya. Namun, karena pabrik krupuk terpaksa tutup setelah ditelan Lumpur maka iapun menjadi pengangguran. Bukan hanya itu, ia juga terpaksa mengungsi ke Pasar Baru dengan istri yang baru beberapa bulan ia nikahi. “Ngenes mas. Kemanten anyar tapi turune ambek wong akeh,” ujarnya sembari tersenyum kecut. Dua bulan ia bertahan hidup mengandalkan tabungan dan hadiah perkawinan. Bermodal uang yang tak seberapa, ia membulatkan tekad berdagang kasur lantai yang dikulak dari Pasuruan. Kasur-kasur itu kemudian ia jual ke tetangga-tetangganya di Pasar Baru. Lumayan juga untung yang didapat meski itu tak bertahan lama karena mulai banyak orang yang meniru. Ia menganggur lagi untuk sekian lama. Bekerja apapun ia lakoni. Mulai dari ngernet, hingga menjadi kuli panggul pernah ia rasakan. “Abot mas. Masio kerjo ngono ae yo sikut-sikutan. Aku gak betah nek kerjo model koyok ngono. Mending ngalah ae. Mosok pengeran gak welas,” katanya bijak.
Hingga akhirnya sejak sebulan terakhir ia memilih berjualan keset. Alas lantai itu bukan miliknya sendiri. Dagangan itu milik temannya dan harus ia setor berapa-berapa yang laku setiap harinya. Dari harga jual Rp 7.500, ia mendapat untung Rp 2.500. Itupun menurutnya sudah bagus. “Akeh sing nawar mas. Padahal, nek tuku nang supermarket oleh tah nawar. Gak oleh kan,” katanya kali ini sembari terkekeh.
Dalam sehari, dengan sepeda bututnya itu ia keliling menawarkan 10 keset. Paling banter, separuhnya saja yang terjual. Katakanlah dalam sehari keset yang terjual sebanyak 5 biji, maka ia hanya mengantongi keuntungan Rp 12.500. Cukupkah uang sebesar itu untuk menopang hidup? “Bukane gak bersyukur mas. Tapi jelas ae kurang. Untunge koncoku iku ngerti. Kadang aku sik digawan-gawani panganan. Lumayan duwike isok gawe kebutuhan liyane,” katanya.
Dan malam sebelum kuketik naskah ini, lagi-lagi kubertemu dengan orang-orang semacam Mbak Nasi Kuning dan Yanto. Sebetulnya sejak lama aku amati bapak tua yang selalu bertopi ini. Setiap kali pulang kerja, selalu kulihat ia duduk dengan tenang di depan rambak dan bipang dagangannya. Ia mangkal tak jauh dari ATM Taman Pondok Jati, Sidoarjo. Di perbatasan malam menuju pagi, kulihat tas plastik bening berukuran besar miliknya masih cukup penuh terisi rambak dan bipang. Cukup sering aku berhenti sejenak membeli sekotak bipang seharga Rp 2.500 dan sebungkis rambak dua ribuan dagangannya. Tapi entah mengapa, setelah bipang di genggaman biasanya aku langsung tancap gas dan hanya membatin betapa berat perjuangan bapak itu mencari nafkah. Namun tadi malam terasa beda. Aku merasa sudah kenal akrab sekali dan langsung duduk di sebelahnya. Setelah dekat, barulah terlihat lebih jelas gurat-gurat ketuaan di wajahnya. Meski mengaku tak tahu umur karena tak ingat tahun kelahirannya, namun aku menduga bapak tua yang mengaku bernama Pak Man ini usianya mendekati 70-an. Ia asli Malang. Di Surabaya ia indekos di daerah Kalijaten. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari tempatnya berjualan saat ini. Tanpa kuminta, ia menceritakan aktivitasnya sehari-hari. Usai shalat Shubuh berjamaah, ia biasanya kulakan bipang di Kota Pasuruan menggunakan kereta api. Setiap dua hari sekali ia bolak-balik Surabaya-Pasururun dan Pasuruan-Surabaya. Sepulang kulakan, ia beristirahat sejenak di tempat kos yang ia sewa sebesar Rp 60 ribu sebulan. Baru sorenya ia beranjak dengan berjalan kaki ke tempat ia biasa mangkal sehari-hari. Baru dua bulan terakhir ia mangkal di dekat ATM. Biasanya ia keliling dari satu perumahan ke perumahan lainnya dan dari kampong ke kampong lainnya. Namun sejak rematik dan asam uratnya akhir-akhir ini tak mau kompromi, ia terpaksa menahan hasrat untuk berkeliling. “Kulo mboten purun nyusahaken lare-lare. Sakjane ngge mboten angsal sadeyan. Kulo seng mekso piyambak. Kulino nyambut damel, mboten eco nek tenguk-tenguk mawon ten nggriyo,” ujarnya dengan bahasa Jawa karma.
Ia cukup bangga dengan apa yang ia lakoni saat ini. Meski tak bias dikatakan berlebih, ia bersyukur mampu membiayai sendiri biaya hidupnya. “Masio sadeyan ngeten, kulo taksih saget nyangoni putu-putu,” ujarnya seraya tersenyum
Dalam sehari, pendapatan kotornya rata-rata sekitar Rp 80 ribu. Setelah dipotong modal dan beli ini-itu, ia masih mampu menyisihkan uang sebesar Rp 15 ribu sehari.
Saya salud dan angkat topi dengan lakon yang dialami ketiga orang yang saya temui tak lama ini. Dengan segala keterbatasan dan kesulitan hidup, Mbak Nasi Kuning, Yanto, dan Pak Man, tetap bersabar dan semangat menjalani hidup. Sempat bertemu dan berbincang dengan mereka, membuat saya bersyukur dan lebih bersyukiur lagi. Seharusnyalah mereka yang berniat korupsi, berpikir seribu kali lagi karena mereka yang hidup dengan keterbatasan itu saja masih sanggup bertahan. Tentu saja, mereka bertahan dan berpegang di tiang kesabaran.

Rabu, Mei 28, 2008

Di Mana Kita



Free Hit Counter

Selasa, 27 Mei 2008. Seorang nenek yang diperkirakan berumur 75 tahun meninggal tepat di depan Mapolsek Wonokromo.
Menurut Kusnan, saksi mata, sejak pagi nenek itu memang sudah berada di lokasi kejadian dengan posisi tidur sembari memayungi tubuhnya.
Namun menjelang sore, saat diamati korban ternyata sudah tidak bernafas lagi sehingga langsung dilaporkan ke Polsek Wonokromo yang berada dibelakang lokasi kejadian.
Ironisnya, nenek yang diperkirakan pengemis itu besar dugaan meninggal karena kelaparan. Saat ditemukan, nenek itu dalam posisi tidur di bawah payung yang masih terbuka.
Kapolsek Wonokromo, AKP Nuriadi kesulitan mencari tahu alamat korban karena kondisi korban sendiri tanpa identitas.
Karena itulah selama beberapa jam sejak ditemukan meninggal,jenazah korban dibiarkan begitu saja sebelum akhirnya dibawa ke RSUD dr Soetomo.
Berita ini sangat menyedihkan. Di negeri yang katanya negeri agraris ini ternyata masih juga ditemukan orang yang meninggal karena kelaparan.
Yang menjadi pertanyaan dan patut kita renungkan bersama adalah; DI MANA KITA saat nenek renta itu meregang nyawa karena lapar. Saat nenek renta itu meregang nyawa, mungkin beberapa di antara kita sedang ketawa-ketiwi di starbucks. Di antara kita mungkin ada yang tengah antre di Mc D. Di antara kita, mungkin ada yang tengah menikmati sabu yang konon harganya saat ini Rp 1,5 juta untuk satu gramnya. Bayangkan jika kita membatalkan niat kita datang ke starbuck ketika dalam perjalanan melihat seorang nenek renta tidur di bawah payung. Mungkinkah kita sisihkan uang Rp 3 ribu untuk sekadar membuatnya kenyang. Tak terbayangkan kah oleh kita untuk mengajaknya ikut makan di Mc D bersama-sama. Atau tak terbayangkan kah oleh kita berapa banyak nasi bungkus yang bisa kita dapat dengan uang Rp 1,5 juta?
Meninggal karena bunuh diri minum racun serangga, masih mending karena memang kematian itulah yang diinginkan peminumnya. Namun meregang nyawa setelah menahan lapar yang hanya nenek itu saja yang tahu kapan terakhir ia makan, sungguh tak mungkin terbayangkan oleh kita.
Namun semuanya sudah terlambat. Nenek itu, kini mungkin lebih 'terjamin' hidupnya. Di alam barzah, mungkin baginya surga sementara karena ia tak perlu merasakan sakitnya saat lapar. Apa yang dialami oleh nenek itu, bukan hanya menjadi bahan renungan. Tapi juga tamparan. Betapa kita ternyata semakin tak peduli dengan sekitar kita. Betapa kita hanya mementingkan diri sendiri. Saatnya bagi kita untuk peduli dan berbagi...

Senin, Mei 12, 2008

Tentang Kami...



Free Hit Counter

Suatu ketika, dalam perbincangan lepas malam dengan seorang kawan Ia menceritakan betapa anaknya tak bisa tidur pulas tanya hembusan AC. Istrinya pun, kata dia, tak bisa nyaman di rumah tanpa ada lemari es. Mencuci, rasanya juga akan berat tanpa ada mesin cuci. Aku bangga karena teman yang mulanya aku anggap ekonominya pas-pasan itu ternyata bisa menyisihkan uangnya untuk membeli perabot-perabot yang aku sebut di atas. Setelah bercerita panjang lebar dan tak mungkin aku utarakan di sini, ia kemudian bertanya. "Bagaimana dengan kamu?" Aku tahu apa yang dia maksud.
Tanpa pikir panjang, Aku pun bercerita. "Aku nggak punya AC. Aku juga nggak punya mesin cuci dan lemari es," jawabku.
Ia tergelak dan menganggap aku berbohong. "Tapi itulah kenyataannya," kataku.
"Kalau AC, aku sih maklum. Tapi kalau nggak punya kulkas dan mesin cuci, nggak mungkinlah. Bagaimana dengan istrimu," cerocosnya.
Hidup tanpa AC, mesin cuci, dan kulkas memang suatu hal yang baru bagiku. Tapi itulah yang kurasakan dan ingin kubiasakan sejak 6 tahun terakhir. Tepatnya, sejak aku menikahi istriku dan mantap ingin memulai hidup baru.
Bukan tanpa alasan jika rumahku tak ber-AC, tak ber-mesin cuci, dan tak ber-kulkas.
Dengan AC, memang tidur anakku akan lebih pulas. Tapi ketika dia tidur pulas, aku pun tak sanggup untuk tak dekat dan mendekapnya. Kupastikan, aku pasti terlelap dan malas bekerja.
Dengan ber-kulkas, aku merasa hidupku akan lebih konsumtif. Sebab, tak mungkin kita biarkan kulkas kosong dan hanya mencetak bongkahan-bongkahan es. Jika ada kulkas, istriku mungkin tak seperti saat ini. Di mana ia selalu masak sesuai dengan kebutuhan sehari. Tak ada makanan tersisa dalam keluargaku dan dengan begitu istriku akan terbiasa berhemat. Tak ber-mesin cuci, bukan karena aku pelit mengeluarkan uang ketika rekening listrik pastinya ikut melonjak seiring makin seringnya mesin cuci digunakan. Aku hanya merasa, saat mencuci baju itulah aku,istri, dan anakku benar-benar berolahraga. Energi-energi yang dikeluarkan saat mencuci, aku yakini sama dengan berjalan kaki 5 kilometer.
Ritual saat mencuci baju, juga merupakan saat-saat bagiku untuk bersenda gurau bersama.
"Apa istrimu nggak pernah iri dengan tetangga," tanya temanku.
Aku bangga dengan istriku. Jangankan iri, tak terlintas sedikitpun di benaknya bahwa apa yang dimiliki oleh orang lain harus ia miliki juga. Meskipun terkadang seharusnya ia memang patut memiliki itu.
Ia terkesima dengan ceritaku dan kelihatannya ia tak percaya dengan apa yang aku utarakan tadi.
Aku, bukan tak mampu membelikan istriku barang-barang sering kusebut di atas. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, barang-barang itu bagiku bukan sebuah barang mewah yang kuanggap tak sanggup kubeli. Aku dan istriku hanya merasa, kami belum butuh itu dan tak ingin disibukkan dengan pikiran bahwa kami harus beli itu.

Selasa, Februari 05, 2008

Bangsa Kepiting



Free Hit Counter


Suatu ketika, saya melihat putri saya tengah asyik mengamati tingkah kepiting-kepiting yang berada di dalam wadah. Kepiting-kepiting kecil itu hasil tangkapan saya dari sungai kecil di belakang rumah. Ia terheran-heran mengapa kepiting-kepiting tersebut tak keluar dari wadah meskipun wadahnya tak seberapa besar. “Lucu ya Yah. Kepitingnya nggak mau ngalah,” katanya, dengan polos.
Sejenak, saya tertegun. Saya tak menyangka, putri saya yang masih berusia empat tahun lebih beberapa bulan itu mampu mengamati dengan baik dan menerjemahkan pengamatannya dalam kata-kata.
Setelah saya ikut mengamati, memang benarlah adanya. Kepiting-kepiting tersebut tak bisa keluar karena kawannya selalu menarik dari belakang. Mereka saling mengait ketika ada kepiting lain yang berusaha keluar dari wadah. Mereka benar-benar nggak mau ngalah.
Seperti itulah yang terjadi di negeri kita saat ini. Setiap orang, tak berhenti mengkritik yang lain. Seakan-akan, apa yang telah dilakukan orang lain itu tak lebih baik dari apa yang telah ia lakukan. Semua terbiasa menghujat. Saking seringnya, hujatan secara langsung tak lagi mempan. Kini, semua kembali menggunakan bahasa sindiran. Memang, dengan menyindir terasa lebih halus. Namun jeleknya, sindiran membuat segalanya terasa kabur.
Bahasa sindiran itu pula yang dipilih mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Peristiwanya terjadi saat Mega –panggilan akrab Megawati—berpidato di acara peringatan puncak HUT PDIP ke-35 di GOR Sriwijaya, Jl POM IX Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (31/1).
"Pemerintahan saat ini, saya melihat seperti penari poco-poco. Maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Tidak pernah beranjak dari tempatnya. Bergoyang hanya untuk menghibur orang lain," kata Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Tak berselang lama, kritikan Mega ini langsung ditanggapi pemerintah. "Itu bukan tari poco-poco," ujar Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng.
Menurut Andi, apa yang telah dilakukan Bosnya merupakan langkah konkret. Ia pun kemudian menyebut-nyebut beberapa kebijakan yang bermanfaat besar bagi bangsa ini.
"Begitu ada indikasi resesi di Amerika Serikat yang juga memicu kenaikan harga barang-barang, Presiden langsung mengambil langkah-langkah konkret," ujarnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun ikut-ikutan angkat bicara. Bukan hanya membela, saudagar kaya asal Sulawesi itu ganti membalas sindiran Mega dengan sindiran pula. JK mengatakan, tarian poco-poco lebih baik daripada “Dansa Sambil Jual Gas Murah.”
"Poco-poco itu kan sehat. Itu gerak bersatu. Lagipula poco-poco itu lebih baik dari tari dansa yang hanya berputar-putar sambil jual gas yang murah," cetus JK.
"Ngerti kan maksudnya? ujar JK menyindir masa pemerintahan Mega saat menjadi presiden. Ketika itu Mega menjual gas di Papua dengan harga yang murah.
Kubu SBY, melalui Partai Demokrat balas menyindir Mega telah menari undur-undur.
"Masih lumayan poco-poco ada majunya, daripada tari undur-undur, mundur terus," cetus Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Sutan Bathoegana di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2008).
Apa yang dilontarkan Mega, boleh jadi merupakan balas dendam atas pernyataan SBY tahun lalu. Sekitar bulan November 2007, SBY pernah melontarkan pernyataan bahwa pemerintahannya saat ini siang malam mencuci piring pesta yang dulu. Makanya, demi keadilan, SBY minta jangan diganggu.
"Kita harus kerja keras cuci piring biar bersih, karena banyak yang dulu berpesta, lupa cuci piring," kata SBY.
SBY mengungkapkan hal itu saat menerangkan komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Namun upayanya itu masih 'diusik' oleh pemerintahan terdahulu.
"Yang diingat cuci tangan ketimbang cuci piring. Untuk keadilan, kepada pihak-pihak yang seperti itu, jangan ganggu kami-kami, kita-kita yang siang malam mencuci piring," kata SBY.
Terlepas dari kesalahan masing-masing, kini saatnya bersama-sama membangun bangsa ini dengan kebersamaan. Ibarat satu rumah, tak akan ada kedamaian bila salah satu anggota rumah bersitegang.
Sebaiknya pula sebagai sesama tokoh bangsa tidak usah saling menyindir. Para tokoh bangsa sebaiknya saling memberikan masukan konstruktif pada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Saatnya pula kita belajar pada bangsa semut. Mereka, memang terbagi dalam beberapa kasta. Ada semut pekerja, dan ada juga semut pemimpin. Namun, mereka tak pernah bertengkar dan saling bahu membahu membangun sarang. Saatnya pula kita belajar dari bangsa lebah yang mencurahkan segenap waktunya untuk kepentingan sang ratu….