Jumat, Februari 13, 2009
AR Baswedan, Arab Revolusioner
AR BASWEDAN
Abdul Rahman (AR) Baswedan merupakan jurnalis dan politikus yang lahir di kampung Ampel Surabaya, 9 September 1908. Beliau merupakan anak dari pasangan Awad Baswedan dan Aliyah binti Abdullah Jarhum. Kakeknya, Umar bin Muhammad bin Abdullah, berasal dari keluarga syekh terkenal dari Kota Syibam, Hadhramaut.
Baswedan lahir di tengah situasi retaknya struktur tradisional: sayyid, gabili, syekh, dan masakin, yang merupakan bawaan dari Hadhramaut, Yaman Selatan.
Sayyid merupakan strata tertinggi, dengan klaim keturunan Nabi dari Husein. Gabili, suku pemegang senjata dan syekh, elite agama lokal, ada di lapisan tengah. Adapun masakin--orang miskin, lemah, dan asal usulnya tak penting--di strata paling bawah. Tapi, di nusantara, pedagang kelompok masakin yang kaya raya mulai menolak mengakui superioritas sayyid--yang di Hadhramaut sekalipun dicium tangannya.
Ada pula pembagian hadhrami murni atau totok alias wulaiti, dengan indohadhrami atau peranakan alias muwallad. Hadhrami totok kerap dianggap superior. Selain masalah asal usul itu, persoalan itu lebih diperkompleks pemilahan kelompok konservatif dan progresif dalam bidang agama dan pendidikan yang tecermin lewat Jami'at Khair dan Jami'at al Irsyad.
Baswedan yang merupakan Arab peranakan, sejak kecil mengalami berbagai kontradiksi dan konfrontasi. Maka, saat dewasa dia pun tampil dengan ide-ide persamaan. Dia mulai menyerang dominasi Arab totok yang saat itu diakui lebih superior.
Saat menjadi wartawan Sin Tit Po--koran berbahasa Melayu yang merupakan lawan Sin Po, media orang Cina yang mendukung nasionalisme Cina dan Chiang Kai-Shek--dan mingguan Matahari, pandangan AR Baswedan semakin luas. Dia mulai menulis tentang masalah nasionalisme Indonesia.
Selain artikel-artikelnya, Baswedan juga melobi berbagai komunitas hadhrami di Jawa untuk berpartisipasi dalam konferensi yang merupakan cikal bakal lahirnya Partai Arab Indonesia. Organisasi yang dibangun dengan meruntuhkan sekat-sekat ekslusivisme keturunan Arab ini, mengintegrasikan gerakan keturunan Arab ke kancah nasional.
Terintegrasinya nasionalime keturunan Arab ke dalam nasionalisme Indonesia, sebenarnya merugikan keturunan Arab. Sebab, Belanda saat itu memberi hak-hak istimewa kepada mereka, sebagaimana kepada orang Cina. Tapi, jalan inilah yang lebih dipilih oleh AR Baswedan dan kawan-kawan seperjuangannya.
Dalam perjalanan kariernya, Baswedan sendiri mengalami resistensi serupa sewaktu ia diterima bekerja di surat kabar Soeara Oemoem. Bahkan koran Bintang Timoer secara khusus menyoroti dan mempertanyakan penerimaan orang keturunan Arab dalam surat kabar yang berhaluan nasionalis dan diasuh dokter Soetomo itu. Ada satu tesis doktoral yang ditulis oleh Husain Haikal yang menjelaskan bahwa keadaan ini bagian dari politik kolonial yang ingin memisahkan orang Hadrami dari orang Indonesia. Dalam tesis berjudul Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia itu, Haikal melukiskan betapa Baswedan sangat berutang budi kepada dokter Soetomo, yang begitu gigih mendukungnya di Soeara Oemoem.
”Masuknya saya dalam redaksi Soeara Oemoem yang didirektori almarhum itu seperti sudah diduga lebih dulu olehnya. Telah menjadi pertanyaan pihak Indonesia maupun pihak Arab. Bahkan telah menerbitkan polemik antara Soeara Oemoem dan salah satu harian Indonesia di Jakarta. Tapi semua itu tidaklah mengganggu beliau untuk bergeser dari keyakinannya yang suci,” demikian Baswedan mengenang kepergian dokter Soetomo.
Baswedan juga terlibat dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Dia, antara lain, menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Setelah kemerdekaan Baswedan juga sempat menjadi menteri muda penerangan, serta anggota parlemen dan konstituante. Ketika Masjumi dibubarkan oleh Soekarno, Baswedan tetap berjuang bersama tokoh-tokoh Masjumi lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Dia menjadi ketua DDII Yogyakarta dan mengasuh Badan Koordinasi Pengajian Anak-anak (Bakopa) atau Ikatan Khatib.
AR Baswedan meninggal dunia pada 1986 lalu. Meski demikian, jasanya yang mendobrak ekslusivisme dan menyerukan persamaan, tetap relevan dilanjutkan. Pembauran keturunan Arab yang mulus, adalah salah satu jejaknya yang paling nyata. Bukankah tak ada beda antara orang Arab dan orang bukan Arab, kecuali takwa?.n arz/bbs
Label:
koran,
pers,
profil,
tokoh surabaya,
wartawan
Senin, Februari 09, 2009
Resiko Mati, Gaji Setengah Hati
Wartawan Itu Banyak Uang
Wartawan Itu Tau Banyak Hal
Wartawan Itu Tukang Ngarang
Itu persepsi jamak yang dianut banyak orang tentang profesi wartawan. Padahal, tak semua wartawan seperti itu. Banyak wartawan yang hidupnya pas-pasan atau bahkan kekurangan. Banyak wartawan yang hanya tau sedikit hal karena tak punya kesempatan dan dikebiri untuk tau banyak hal. Dan kalau yang terakhir, memang harus diakui tak sedikit wartawan yang tukang ngarang.
Pers, termasuk wartawan merupakan bagian dari pilar demokrasi keempat. Tugas dan tanggungjawab wartawan pun tak main-main meski bayarannya terkadang main-main.
Saya pernah dengar, Aliansi Jurnalis Indonesia Surabaya pada tahun 2008 pernah bikin angket untuk cari tau seberapa besar sih gaji wartawan di Surabaya dan berapa gaji wartawan yang ideal? Hasilnya ternyata tak mengejutkan bagi yang tau seluk beluk dunia pers. Hasil angket itu menyatakan gaji wartawan di Surabaya masih di bawah UMK tahun 2008 yang sebesar Rp 850 ribu per bulan. Masih banyak wartawan yang digaji antara Rp 400 sampe Rp 700 ribu per bulan. Bahkan, ada juga yang nggak digaji. Parahnya lagi, sudah nggak digaji masih ditarget cari iklan! Puihhh, susah banget jadi wartawan.
Padahal, resiko yang harus ditanggung pelaku profesi ini nggak main-main. Mulai dari yang ringan seperti teror, luka kekerasan ringan hingga paling parah mati. Dan pualing parah lagi udah dianggep mati tapi nggak tau bagaimana matinya. Contoh: wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin. Pengen tau lebih lengkap tentang kisah Udin? Klik http://id.wikipedia.org/wiki/Fuad_Muhammad_Syafruddin.
Suherman dan Muhammad Guntur, kameramen Lativi dan SCTV, wafat ketika meliput tenggelamnya KM Levina.
Seandainya benarlah cerita film Superman Return, maka pasti Clark Kent akan lebih memilih tugas jurnalistiknya di Indonesia. Walau tak menginginkan Pulitzer Award, sebuah penghargaan tertinggi di dunia pers Amerika, pastilah berita-beritanya mengenai Indonesia akan diganjar Pulitzer.
Clark Kent memang tidak dilahirkan oleh Jor-El, ayahnya dari Planet Crypton, untuk menjadi penakut dan pengecut. Ia dilengkapi kemampuan terbang, mata yang tembus pandang dan bisa mengeluarkan sinar laser, tenaganya dapat mengangkat planet bumi, kebal senjata apapun dan mampu melesat melebihi kecepatan suara dan cahaya. Tak ada alasan bagi Clark Kent untuk takut. Dan, ia pasti ke Indonesia.
Mengapa Indonesia? “Jangan tanya, tebak saja,” tulis Mustofa Bisri dalam Negeri Teka-teki. Clark Kent tak butuh banyak alasan, cukup satu saja: ia dibutuhkan di sini.
Kemampuan terbangnya diperlukan karena Indonesia bukanlah Amerika, yang sistem transportasinya sudah cukup bagus. Kalaupun ada kecelakaan pesawat di negara itu, itu karena pembajakan. Jadi, bukan karena operatornya menjadi pegawai karena membayar sejumlah uang, juga bukan karena radar dan perlengkapan bandara dibeli melalui penunjukan langsung ala Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Ketua KPK Taufiqurahhman Ruki, dan pasti bukan karena pesawatnya sudah uzur dan ongkos maintenance-nya dipangkas hingga kemudian tiket pesawat bisa jadi lebih murah.
Jadi bukan tanpa alasan, bila Taufik Ismail dalam Presiden Boleh Pergi Presiden Boleh Datang pernah berujar pedas, Kini simaklah sebuah kisah, seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah. Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, Honda metalik, dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah. Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika. Ia pun tak perlu naik kereta api. Malah, Clark Kent dibutuhkan untuk membentangkan badannya di bantalan rel, agar rel kereta api yang sering dicuri orang di sini tidak mengakibatkan kereta keluar jalur. Sang Superman juga dibutuhkan terutama agar ia tidak terlambat mengejar deadline berita hanya gara-gara jalan protokol tidak lebih bagus dari jalan kecamatan, kabupaten, propinsi maupun nasional. Dengan demikian, ia juga bisa menghindari rentetan kecelakaan karena jalan-jalan itu sering digali Badan Usaha Milik Negara (seperti PLN dan Telkom) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (seperti PDAM). Dan, terutama agar ia tidak dimaki orang ketika menyeberang jalan walau lampu lalu lintas sedang berwarna merah.
Dus, mata supernya juga sangat diidam-idamkan di negeri ini. Sehingga bila ada kebijakan sekolah lima hari, ia bisa melihat betapa sekolah-sekolah madrasah sedang diambang kehancuran karena siswa-siswanya lebih sibuk dan sudah lelah belajar di sekolah terpadu ataupun yang menerapkan one-day school. Nantinya, mata super ini juga bisa meneliti, kalau tiba-tiba suatu fraksi partai politik di DPR dan DPRD menolak pertanggungjawaban penguasa, maka apakah partai itu juga menolak dana bantuan partai yang selalu dianggarkan dalam APBN dan APBD.
Mata superman yang bisa mengeluarkan sinar laser itu, pastilah diperlukan untuk menerobos dinding-dinding protokoler dan rahasia yang bukan rahasia. Ini karena lembaga komunikasi politik antara rakyat dan penguasanya serta wakilnya kini pun harus dipisah oleh pagar besi seperti tampak di kantor DPRD.
Ini juga karena untuk masuk kantor penguasa daerah tingkat satu, haruslah lewat detektor dan meninggalkan KTP. Padahal siapa pun tahu, urusan administrasi pemerintahan seperti KTP, tidak semua rakyat punya. Kadang pun satu orang bisa lima KTP, tergantung kebutuhannya apa. Bila untuk mencairkan dana Biaya Langsung Tunai (BLT) dipakailah KTP miskin, tapi bila hendak membikin curicullum vitae atau mengurus surat nikah, maka dipakailah KTP yang bertuliskan pejabat ataupun pengusaha. Jadi wajar saja bila Biro Pusat Statistik (BPS), dinas kependudukan, atau bahkan KPU pun bingung berapa sebenarnya jumlah penduduk.
Tenaga super Clark Kent juga dibutuhkan wartawan Indonesia. Itu karena sumber gizi wartawan tak cukup bagi dirinya apalagi bagi keluarga dan handai tolannya. Namun, wartawan di daerah berkembang dan negara miskin, memang tak sepatutnya pula menjadi kaya. Kalaupun ia kaya, maka tak patut pula ia dicurigai telah menjual informasi penting dan rahasia kepada penguasa ataupun mengolah berita yang “wangi”. Mungkin saja ia sudah pintar sedikit dan membuka kedai sampah di depan rumahnya. Kalau dia sampai membuka plaza, tentulah statusnya sebagai wartawan tidak diperlukan lagi.
Sistem kekebalan tubuh superman juga dibutuhkan di sini. Pasalnya, Undang-undang Pokok Pers belumlah berdiri layaknya sebuah pokok yang kuat dan tahan banting. Kematian Udin wartawan Bernas, sampai sekarang masihlah menjadi misteri, demikian juga Eliuddin wartawan Berita Sore di Teluk Dalam, Nias. Kantor wartawan juga sampai harus didatangi mahasiswa karena mahasiswa itu merasa dirugikan ketika pejabat kampusnya diberitakan terlibat korupsi dan manipulasi. Wartawan memang tak pantas untuk ditakuti. Taufik Ismail saja dalam puisinya takut ’66, takut ’98 tak menghitung wartawan.
Tak percaya? Inilah kata Taufik Ismail soal takut itu, /mahasiswa takut pada dosen/ dosen takut pada dekan/ dekan takut pada rektor/ rektor takut pada menteri/ menteri takut pada presiden/presiden takut pada mahasiswa”
Lucunya, sudah tak masuk dalam kategori yang ditakuti, para wartawan sendiri pun kadang-kadang harus saling berkelahi karena “tuan” yang berbeda-beda.
Kecepatan Superman juga menjadi barang langka di sini. Kegesitan diperlukan untuk mengimbangi kelihaian seorang politisi atau kandidat penguasa yang sering dikatakan “curi start”. Selentingan yang mengatakan, ketika seorang pejabat disumpah pertama kali maka di situlah kampanye untuk periode keduanya bermula, sudah berurat-berakar di daerah ini. Kecepatan dalam melihat dan menangkap peluang-peluang serta mempraktekkan korupsi menjadi syarat utama untuk menjadi pejabat di Indonesia.
Di negeri yang subur ini, hanya ada dua kontestan terdepan dalam soal kecepatan, yaitu pertambahan orang miskin dan pertumbuhan koruptor. 30 tahun lalu, Rendra sudah mengatakan ini dalam bait-bait Sajak Pertemuan Mahasiswa. Bacalah bait satirnya ini: kenapa maksud baik dilakukan/ tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya/ tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota/ perkebunan yang luas/ hanya menguntungkan segolongan kecil saja/ alat-alat kemajuan yang diimpor/ tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Marilah berbicara yang tak masuk akal karena logika sudah tak lagi diperlukan. Jangan bertanya mengapa karena Mustofa Bisri sudah bilang ini memang negeri teka-teki. Katanya, “jangan tanya siapa/ membunuh buruh dan wartawan/ siapa merenggut nyawa/ yang dimuliakan Tuhan/ jangan tanya mengapa,/ tebak saja.”
Ah, seandainya saja Suherman dan Muhammad Guntur serta wartawan lainnya yang ikut meliput tenggelamnya KM Levina, tidak meliput ke sana.
Seandainya saja manusia Indonesia tanggap bahwa tenggelamnya kapal bukan karena ditelan naga laut.
Seandainya saja, kapal-kapal itu telah mengalami pemeriksaan dan uji kelayakan. Seandainya pejabat yang meluluskan uji kelayakan itu kuat imannya dalam mengambil keputusan.
Seandainya atasannya pun tak salah memilih orang. Dan atasan atasannya itu melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya yang satu lagi. Dan seandainya, atasan yang satu lagi itu, benar-benar melaksanakan amanah yang diberikan orang-orang miskin, si kaya, anak-anak yatim, para mahasiswa, wartawan, seniman, para garong, orang cacat, TKI dan TKW, dan seluruhnya.
Dan seandainya pula orang-orang yang memilih para wakil dan pemimpinnya ini, sadar terhadap orang dipilihnya, dan bukan karena pesona, uang, dan keangkerannya.
Ah, seandainya tak ada keyakinan akan adanya “tuah” itu, maka seorang politisi pun tak harus melontarkan “ruwatan penguasa”. “Ada republik rasa kerajaan,” sitir Mustofa dalam Zaman Kemajuan.
Seandainya itu terjadi, mungkin Clark Kent alias Superman alias Kar-el tak perlu diundang ke mari. Karena ia pasti tak paham soal doa, apalagi Doa Orang-orang Lapar-nya Rendra. Tapi, seandainya Clark Kent si wartawan itu percaya akan doa, maka dengarkanlah rintihan Mustofa Bisri dalam Doa.
kami tak berani menatap langit
bumi yang terbaring
terus mengerang
menghisap air mata kami
( tapi tak menghilangkan, sayang
bahkan menambah dahaga )
Selamat jalan, para wartawan…! (*)
Siap-Siap Jadi Wartawan Perjuangan
Harus rela desak-desakan demi mendapat sebuah berita
Free Hit Counter
Hari ini, 9 Februari 2009 Hari Pers Indonesia dirayakan. Acara puncak peringatan Hari Pers Nasional di Tenis Indoor Senayan dihadiri Presiden SBY dan sejumlah menteri kabinet, seperti Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Komunikasi dan Informarika M.Nuh, dan Ketua DPR Agung Laksono.Acara dihadiri oleh para insan pers, loper dan agen koran, serta mahasiswa. Puncak hari pers nasional kali ini mengambil tema, "Kemerdekaan Pers dari dan untuk Rakyat". Sebelum acara puncak, digelar gerak jalan dan konvensi nasional bidang ekonomi serta pemilu.
Di tengah gemerlapnya acara, ada ironi dan fakta tak terelakkan yang terjadi di dunia pers.
BANYAK USAHA PERS YANG GULUNG TIKAR!
Mengapa itu bisa terjadi?
Chairman Jawa Pos Group, Dahlan Iskan yang juga Ketua umum SPS Pusat (Serikat Penerbit Surat Kabar) mengatakan, waktu koran hanya lima tahun!
Pembaca koran naik drastis di Amerika Serikat (AS), tapi pembeli koran turun drastis. Demikian juga ”pemirsa laptop” naik drastis dan pemirsa TV turun drastis. Untuk kali pertama dalam sejarah media, pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 AS pada 21 Januari lalu lebih banyak ditonton lewat laptop daripada lewat pesawat televisi.
Naiknya pembaca koran lewat internet dan meningkatnya pemirsa laptop untuk peristiwa besar telah menyusutkan pendapatan iklan kedua jenis media itu. Belum ada usul bagaimana mengatasi ancaman terhadap televisi itu, tapi mulai ada wacana agar perusahaan koran yang mengalami kesulitan keuangan akibat krisis global ini juga di-bailout oleh pemerintah AS. Apalagi, di AS amat terkenal kredo ”lebih baik tidak ada pemerintah daripada tidak ada koran”. Kalau perusahaan mobil saja di-bailout, mengapa pilar demokrasi ini tidak.
Perkembangan lain, TV lokal di AS kini mulai bisa mengalahkan jaringan nasional –khususnya untuk TV berita. Ini karena berita yang nasional-nasional akan menjadi garapan empuk jaringan internet yang dengan lebih mudah ditonton di laptop. Sedangkan naiknya pembaca koran secara elektronik menimbulkan kesulitan besar: pembaca membayar bukan kepada
perusahaan koran, melainkan ke provider internet.
Perusahaan koran belum menemukan cara yang memadai untuk mendapatkan penghasilan dari hasil perubahan cara baca itu. Memang berita koran –terutama dari koran yang reputasinya baik– lebih dipercaya daripada sumber yang bukan dari koran, tapi tetap saja pengguna internet telanjur terbiasa sejak awal dulu bahwa sesuatu yang di internet itu gratis. Padahal, untuk mendapatkan kepercayaan bahwa ”berita koran itu lebih bisa dipercaya” memerlukan biaya. Kelak, kalau semua pembaca koran tidak mau membayar ongkos untuk melahirkan ”berita koran lebih dipercaya” itu? Dari sinilah awalnya mengapa ada wacana bailout untuk surat kabar. Bahkan, sudah ada yang mewacanakan bahwa surat kabar itu kelak dianggap saja sama dengan rumah sakit atau universitas: universitasnya demokrasi dan rumah sakitnya demokrasi. Atau, mungkin mirip rumah sakit yang sekaligus teaching university. Koran bisa seperti RS Tjiptomangunkusumo atau RS dr Sutomo.
Belum ditemukannya bagaimana cara ”membayar” itu antara lain karena selama ini memang tidak pernah dipikirkan. Kalau toh terpikirkan, barulah yang caranya juga tradisional: siapa yang mengakses koran harus berlangganan. Ini tidak efektif karena psikologi isi internet itu gratis. Baru sekarang ini, sekarang ini, bingung. Yakni, setelah terjadi krisis finansial global yang ternyata juga melanda perusahaan surat kabar AS.
Grup surat kabar terkemuka di dunia Chicago Tribune sudah menyatakan bangkrut. Bisa dibayangkan nasib koran yang lebih lemah. The New York Times yang begitu hebat, sedang di ambang jurang yang sama. Utangnya yang hampir jatuh tempo mendekati Rp 40 triliun, sedangkan dana yang siap baru Rp 4 triliun. The New York Times mengalami krisis dana cash yang luar biasa besar.
Mengapa selama ini tidak dipikirkan cara yang ampuh untuk menghubungkan agar pemanfaatan isi koran lewat internet itu bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan koran? Jawabnya jelas: perusahaan koran sudah seperti perusahaan pada umumnya: “mabuk” pasar modal.
Perusahaan koran berlomba mengumumkan semakin tingginya angka hit terhadap koran mereka. Kian banyak orang mengklik kian bangga –meski itu mencerminkan semakin dijauhinya koran edisi cetak mereka. Dengan menggalakkan edisi on line, perusahaan koran itu sebenarnya sudah mendorong agar pembaca meninggalkan edisi cetak. Bertahun-tahun dorongan itu dilakukan dan hasilnya sangat ”baik”: kian banyak orang yang pindah ke on line. Baik menurut ukuran ekonomi saat itu.
Dengan tingginya angka hit sebuah koran, performance mereka di pasar modal semakin baik. Harga sahamnya pun naik drastis. Kenaikan harga saham setiap tahun inilah yang dikejar. Mengejar kenaikan harga saham melalui peningkatan hit di on line lebih mudah daripada memperbesar sirkulasi surat kabar. Usaha memperbesar sirkulasi koran secara tradisional sangatlah sulit: pelaksananya bukan hanya harus pintar, tapi juga harus bekerja keras. Termasuk bekerja keras mengeluarkan keringat di pasar sejak pukul 03.00. Dari segi pemasaran, perusahaan koran tidak ada bedanya dengan tukang sayur: sudah harus ada di pasar sejak sebelum subuh. Sedangkan meningkatkan ”sirkulasi” koran lewat on line meski juga harus pintar, tapi lebih mudah: bisa dikerjakan di ruang AC dengan tidak harus bercucuran keringat. Kalau bisa meningkatkan harga saham dengan cara mudah, mengapa harus melakukannya dengan cara susah payah? Toh, sistem ekonomi pasar di AS saat itu memungkinkan berkembangnya ekonomi yang tidak perlu riil seperti itu dengan penuh gairah.
Itulah gairah yang ”memabukkan”. Maka, ketika tiba-tiba terjadi krisis keuangan dan hal-hal yang tidak riil tidak bisa lagi dijual, bangunan megah itu ternyata seperti rumah-rumahan dari styrofoam: terbang terbawa angin ribut. Ketahuanlah bahwa jumlah pembaca koran yang naik terus itu sebenarnya diikuti dengan turunnya oplah. Iklan pun merosot drastis. Pengguna on line sudah telanjur dibiasakan tidak membayar. Harga saham koran seperti The New York Times terjun bebas: kini sudah mendekati kategori junk bond.
Di Indonesia belum ada koran raksasa yang mengalami kesulitan –karena selama ini mereka itu sebenarnya memang belum pernah benar-benar jadi raksasa. Belum ada koran raksasa yang terjun ke pasar modal. Baru ada tiga koran yang masuk bursa: TEMPO, Republika dan –melalui induk perusahaannya– Seputar Indonesia. Performa harga saham dua koran pertama tidak pernah tinggi –dan karena itu tidak bisa anjlok.
Sedangkan performa koran ketiga sulit dinilai karena yang masuk bursa bukan koran itu sendiri, melainkan induknya.
Boleh dikata, belum ada perusahaan koran di Indonesia yang “mabuk” pasar modal. Sudah ada memang yang baru ingin mau ”mabuk”, tapi sudah keburu ada krisis: Jawa Pos.
Jawa Pos sudah lama mempersiapkan diri masuk pasar modal, tapi selalu ditunda karena ragu-ragu akibat baik-buruknya.
Koran di Indonesia juga masih punya waktu kira-kira lima tahun untuk menghadapi ancaman on line itu. Mengapa lima tahun? Jawabnya ini: akhir tahun depan pembangunan Palapa Ring tahap pertama selesai. Yakni, penanaman jaringan fiber optic sejauh 3.000 km di banyak kota di Indonesia. Dengan jaringan fiber optic yang demikian luas, koridor untuk on line sangat leluasa. Akses internet akan mengalami percepatan yang menggila. Apalagi, kalau Palapa Ring sudah terbangun sempurna lima tahun lagi. “Jalan tol” di bawah tanah itu akan jauh meninggalkan kelancaran jalan tol yang di atas tanah.
Lima tahun ke depan ini adalah tahap yang amat menentukan bagi koran di Indonesia. Maju atau mati. Karena itu, Hari Pers Nasional yang diperingati hari ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana wartawan bisa tetap hidup bersama korannya. Wartawan akan terus hidup, tapi akankah dia kerja gratisan untuk pembacanya di on line? Jangan-jangan itulah saatnya yang disebut era wartawan perjuangan, yakni wartawan yang berjuang menegakkan keadilan, kebenaran dan demokrasi, membela yang tertindas, membongkar kejahatan termasuk korupsi, dan melakukan kontrol sosial yang kuat –tanpa jelas siapa yang harus memberi gaji setiap bulan. Kalau itu terjadi, itulah baru yang disebut “wartawan perjuangan” yang murni.
Langganan:
Postingan (Atom)