Minggu, Juli 06, 2008
Bertahan di Tiang Kesabaran
Free Hit Counter
Kamis, 3 Juli 2008 mungkin hari yang akan selalu dikenang Abdul Ghofur (22) selama hidupnya. Pertama kalinya ia harus berurusan dengan polisi setelah sebelumnya kepergok warga Jl Asemrowo tengah mencuri dua batang pipa besi. Perkara pencurian yang dilakukan warga Kalianak, Surabaya, ini sebenarnya tergolong biasa dan sepatutnya seseorang yang mengambil barang bukan miliknya mendapat ganjaran. Yang menarik dan patut kita telaah adalah alasannya mengapa ia sampai nekat melakukan hal itu.
Di depan penyidik Polres Surabaya Utara, ia mengaku tergoda mengambil dua pipa besi yang kebetulan tergeletak di depan rumah warga untuk menambah penghasilannya.
Ia menganggap penghasilannya sebagai pemulung masih tak cukup menutup kebutuhan rumah tangganya. Apalagi, pasangan muda ini dalam hitungan bulan bakal mendapat momongan. Ia nekat. Tak berpikir panjang, diambilnya barang yang bukan haknya itu.
Saat itu, mungkin yang dipikirkan Ghofur hanya cara bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk biaya istrinya melahirkan.
Alasan yang diutarakan Ghofur, bagi saya sangat memilukan. Menyadari perannya sebagai suami yang harus bertanggungjawab, membuatnya mengorbankan diri hidup di balik terali besi.
Di sekeliling kita, apa yang dilakukan Ghofur banyak juga dilakukan orang lain. Namun, tentu saja dengan beragam alasan yang berbeda. Nilai barang yang dicuri, pun bermacam-macam. Ada yang cuma senilai puluhan ribu, seperti yang dilakukan Ghofur atau ada juga yang nilainya mencapai miliaran. Ini, benar terjadi seperti yang dilakukan Bulyan Royan, anggota Partai Bintang Reformasi yang ditangkap KPK dua hari lalu. Bagi saya, apa yang dilakukan Bulyan justru lebih hina. Ghofur, si calon ayah itu mencuri untuk kebutuhan hidupnya. Namun Bulyan, tak jelas untuk apa uang sebesar Rp 1,6 miliar yang didapatnya dari pemenang tender pengerjaan di Depertemen Perhubungan. Bulyan menganggap uang itu sebagai fee. Namun KPK beranggapan lain. KPK menganggap ada persekongkolan jahat antara Bulyan yang juga kiai pemilik pondok pesantren itu dengan pemilik perusahaan pemenang tender pengadaan kapal patroli. Perusahaan pemenang tak bakal memberi uang secara cuma-cuma kepada anggota Komisi V DPR RI itu tanpa ada perjanjian-perjanjian sebelumnya. Bedanya, Bulyan lebih professional, memang berniat maling sejak awal, dan tentu saja nilai uang yang diembat lebih besar dari nilai barang yang dicuri Ghofur. Tambah lagi, uang yang diambil sebenarnya milik orang banyak. Dan bagaimanapun, maling tetaplah maling. Mereka pantas mendapat ganjaran setimpal perbuatannya.
Di hari yang sama dengan kesialan Ghofur, saya bertemu dengan seorang wanita. Orang-orang biasa memanggilnya Mbak Nasi Kuning. Ia saya temui saat tengah melepas lelah tak jauh dari penjual es tebu langganan. Usianya belum genap 25 tahun. Tapi raut wajahnya terlihat seperti seseorang yang sudah berusia 30 tahunan. Ia duduk berjongkok di atas batu. Tak jauh darinya, teronggok dua bungkus besar tas plastik berwarna merah. Isinya, nasi kuning yang dibungkus dalam wadah sterefoam kotak. Jam menunjukkan pukul 11.00. Tapi 20 nasi yang dibawanya, tak satupun yang terjual. “Sepi mas. Nek gak payu, aku sungkan ambek juraganku,” katanya sembari mengeluarkan air putih yang ditaruh di botol Aqua yang sudah usang. Sesekali ia mengusap peluh yang menerobos keluar dari topi putihnya yang terlihat agak kecoklat-coklatan. Setiap hari, ia berjalan sambil membawa dua tas plastik besar itu keliling ke perumahan-perumahan. Kira-kira, masing-masing tas itu beratnya sekitar 3-4 kilograman. Ia berangkat dari rumah pemilik nasi kotak itu tak lama setelah azan shubuh. Saat itu, nasi masih hangat. Dan saat saya cek, nasi itu tetap hangat. “Nasike sampek anget maneh mas. Kepanasan,” ujarnya tersenyum kecut. Tak satupun nasi yang dibawanya terjual. Ia tak habis pikir mengapa hari itu dan hari-hari sebelumnya ia benar-benar sial. Tak satupun terjual. Padahal, dari komisi nasi yang terjual itulah ia baru mendapat penghasilan yang ‘lebih’. Dalam sebulan, tanpa libur 30 hari kerja ia mendapat gaji pokok sebesar Rp 300 ribu. Artinya, dalam sehari ia tetap mendapat uang Rp 10 ribu baik laku atau tidak nasi yang ia jual. Sementara dari setiap kotak yang terjual, ia mendapat komisi lima ratusa perak. Ya, Cuma lima ratus perak. Andaikan terjual semua, barulah tambahan sebesar Rp 10 ribu berada di genggamannya. “Gak pernah habis. Paling apik payu separuh,” katanya.
Jika di rata-rata dalam sehari nasi yang terjual sebanyak 7 bungkus, maka komisinya sebesar Rp 3.500. Cukupkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? “Jujur, nggak cukup mas. Tapi yaopo maneh,” katanya. Saat ini, ia memang tak punya pilihan lain. Menurutnya, berapapun penghasilan yang ia dapatkan yang penting telah membantu mengurangi beban suaminya mencukupi kebutuhan keluarga. “Bojoku tukang sampah mas. Sak ulan mek Rp 600 ribu,” katanya polos.
Sehari sebelumnya, di tempat yang sama secara kebetulan aku juga bertemu dengan seorang pemuda. Usianya mungkin sepantaran. Ia berdiri di sebelah sepeda MTB butut. Di atas boncengan sepedanya, ada tumpukan keset. Jumlahnya tak sampai 10 biji. Seseorang terlihat membolak-balik keset dagangannya. Pemuda yang belakangan kuketahui bernama Yanto itu hanya diam. Ia unik tak seperti pedagang-pedagang umumnya. Ia diam jika tak ditanya dan tak pula mengunggul-unggulkan dagangannya. Ia menjawab lirih “Tujuh ribu lima ratus pak,” saat seorang calon pembeli menanyakan berapa harga keset dagangannya. Entah karena kemahalan atau sekadar iseng, orang itu berlalu. Yanto pun diam saja tak berusaha mengejar atau menurunkan harga. Ia menata lagi keset yang sudah dibolak-balik itu dengan sabar. Tak lama kemudian ia memesan es tebu dan mengambil sepotong gorengan. Barulah setelah kulihat ia agak santai, kuberanikan diri berbincang dengannya. Dan ia tak keberatan meladeni pertanyaan-pertanyaanku. Ia mengaku berasal dari sebuah desa yang tak kukenal di daerah Porong, Sidoarjo. Ingatanku langsung melayang ke lumpur. Bencana alam atau mungkin lebih pantas disebut alam yang dibencanakan itu telah menyusahkan ribuan atau bahkan ratusan ribu orang. Dan ternyata Yanto salah satunya korbannya. Sambil menerawang ia menceritakan kebahagiaan hidupnya sebelum Lumpur menyembur atau disemburkan. Ia pernah menjadi mandor di salah satu pabrik krupuk yang ada di desanya. Sebagai pemuda desa, bekerja di pabrik dengan jabatan mandor tentu sudah menjadi kebanggaan. “Meski bayaran nggak sepiro tapi rasane cukup mas,” katanya. Namun, karena pabrik krupuk terpaksa tutup setelah ditelan Lumpur maka iapun menjadi pengangguran. Bukan hanya itu, ia juga terpaksa mengungsi ke Pasar Baru dengan istri yang baru beberapa bulan ia nikahi. “Ngenes mas. Kemanten anyar tapi turune ambek wong akeh,” ujarnya sembari tersenyum kecut. Dua bulan ia bertahan hidup mengandalkan tabungan dan hadiah perkawinan. Bermodal uang yang tak seberapa, ia membulatkan tekad berdagang kasur lantai yang dikulak dari Pasuruan. Kasur-kasur itu kemudian ia jual ke tetangga-tetangganya di Pasar Baru. Lumayan juga untung yang didapat meski itu tak bertahan lama karena mulai banyak orang yang meniru. Ia menganggur lagi untuk sekian lama. Bekerja apapun ia lakoni. Mulai dari ngernet, hingga menjadi kuli panggul pernah ia rasakan. “Abot mas. Masio kerjo ngono ae yo sikut-sikutan. Aku gak betah nek kerjo model koyok ngono. Mending ngalah ae. Mosok pengeran gak welas,” katanya bijak.
Hingga akhirnya sejak sebulan terakhir ia memilih berjualan keset. Alas lantai itu bukan miliknya sendiri. Dagangan itu milik temannya dan harus ia setor berapa-berapa yang laku setiap harinya. Dari harga jual Rp 7.500, ia mendapat untung Rp 2.500. Itupun menurutnya sudah bagus. “Akeh sing nawar mas. Padahal, nek tuku nang supermarket oleh tah nawar. Gak oleh kan,” katanya kali ini sembari terkekeh.
Dalam sehari, dengan sepeda bututnya itu ia keliling menawarkan 10 keset. Paling banter, separuhnya saja yang terjual. Katakanlah dalam sehari keset yang terjual sebanyak 5 biji, maka ia hanya mengantongi keuntungan Rp 12.500. Cukupkah uang sebesar itu untuk menopang hidup? “Bukane gak bersyukur mas. Tapi jelas ae kurang. Untunge koncoku iku ngerti. Kadang aku sik digawan-gawani panganan. Lumayan duwike isok gawe kebutuhan liyane,” katanya.
Dan malam sebelum kuketik naskah ini, lagi-lagi kubertemu dengan orang-orang semacam Mbak Nasi Kuning dan Yanto. Sebetulnya sejak lama aku amati bapak tua yang selalu bertopi ini. Setiap kali pulang kerja, selalu kulihat ia duduk dengan tenang di depan rambak dan bipang dagangannya. Ia mangkal tak jauh dari ATM Taman Pondok Jati, Sidoarjo. Di perbatasan malam menuju pagi, kulihat tas plastik bening berukuran besar miliknya masih cukup penuh terisi rambak dan bipang. Cukup sering aku berhenti sejenak membeli sekotak bipang seharga Rp 2.500 dan sebungkis rambak dua ribuan dagangannya. Tapi entah mengapa, setelah bipang di genggaman biasanya aku langsung tancap gas dan hanya membatin betapa berat perjuangan bapak itu mencari nafkah. Namun tadi malam terasa beda. Aku merasa sudah kenal akrab sekali dan langsung duduk di sebelahnya. Setelah dekat, barulah terlihat lebih jelas gurat-gurat ketuaan di wajahnya. Meski mengaku tak tahu umur karena tak ingat tahun kelahirannya, namun aku menduga bapak tua yang mengaku bernama Pak Man ini usianya mendekati 70-an. Ia asli Malang. Di Surabaya ia indekos di daerah Kalijaten. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari tempatnya berjualan saat ini. Tanpa kuminta, ia menceritakan aktivitasnya sehari-hari. Usai shalat Shubuh berjamaah, ia biasanya kulakan bipang di Kota Pasuruan menggunakan kereta api. Setiap dua hari sekali ia bolak-balik Surabaya-Pasururun dan Pasuruan-Surabaya. Sepulang kulakan, ia beristirahat sejenak di tempat kos yang ia sewa sebesar Rp 60 ribu sebulan. Baru sorenya ia beranjak dengan berjalan kaki ke tempat ia biasa mangkal sehari-hari. Baru dua bulan terakhir ia mangkal di dekat ATM. Biasanya ia keliling dari satu perumahan ke perumahan lainnya dan dari kampong ke kampong lainnya. Namun sejak rematik dan asam uratnya akhir-akhir ini tak mau kompromi, ia terpaksa menahan hasrat untuk berkeliling. “Kulo mboten purun nyusahaken lare-lare. Sakjane ngge mboten angsal sadeyan. Kulo seng mekso piyambak. Kulino nyambut damel, mboten eco nek tenguk-tenguk mawon ten nggriyo,” ujarnya dengan bahasa Jawa karma.
Ia cukup bangga dengan apa yang ia lakoni saat ini. Meski tak bias dikatakan berlebih, ia bersyukur mampu membiayai sendiri biaya hidupnya. “Masio sadeyan ngeten, kulo taksih saget nyangoni putu-putu,” ujarnya seraya tersenyum
Dalam sehari, pendapatan kotornya rata-rata sekitar Rp 80 ribu. Setelah dipotong modal dan beli ini-itu, ia masih mampu menyisihkan uang sebesar Rp 15 ribu sehari.
Saya salud dan angkat topi dengan lakon yang dialami ketiga orang yang saya temui tak lama ini. Dengan segala keterbatasan dan kesulitan hidup, Mbak Nasi Kuning, Yanto, dan Pak Man, tetap bersabar dan semangat menjalani hidup. Sempat bertemu dan berbincang dengan mereka, membuat saya bersyukur dan lebih bersyukiur lagi. Seharusnyalah mereka yang berniat korupsi, berpikir seribu kali lagi karena mereka yang hidup dengan keterbatasan itu saja masih sanggup bertahan. Tentu saja, mereka bertahan dan berpegang di tiang kesabaran.
Langganan:
Postingan (Atom)