Minggu, November 09, 2008

Lokalisasi Dolly: Dengan Rp 150 Ribu, Bisa Kencani PSK ‘Bau Kencur’










Free Hit Counter


Surabaya adalah Kota Pahlawan. Surabaya adalah Lontong Balap dan Semanggi. Surabaya adalah Dolly. Citra itulah yang tertanam di benak warga luar Surabaya, dan bahkan mungkin luar negeri. Keberadaan lokalisasi Dolly sudah menjadi bagian dari ikon Surabaya.
Para pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota ini kalau belum mampir ke sana.
Sore itu, Dolly mulai menggeliat dari tidurnya. Sejumlah lelaki berperawakan besar menyiapkan dan membersihkan wisma-wisma. Ada yang menyapu, membersihkan kaca, dan bahkan mengepel lantai. Di dalam wisma, beberapa gadis muda dan seksi berdandan dan bercanda dengan sebaya.
Itulah sebagian potret lokalisasi Dolly. Lokalisasi ini kini menjadi favorit karena lokasinya yang strategis. Atraksi penawaran PSK dengan memajang mereka dalam etalase kaca seperti ”ikan dalam akuarium” punya daya tarik tersendiri. Meski tak tampak ada papan nama bertuliskan ”Dolly”, daerah itu menjadi magnet yang menggaet para lelaki hidung belang.
Ada sedikitnya 58 wisma di Dolly. Wisma-wisma ini berlomba-lomba menawarkan ‘barang’ dagangan dengan beragam cara. Selain selalu menghadirkan ‘barang’ baru, pemilik wisma juga merekrut makelar atau calo. Jangan heran jika setiap melintas di sini tangan Anda ditarik-tarik untuk sekadar melihat ‘barang’ yang mereka tawarkan.
Berdasarkan data yang dimiliki Yayasan Abdi Asih, jumlah PSK di sini sedikitnya 221 orang. “Kemungkinan bertambah dan kecil kemungkinan berkurang karena itu data tahun 2007,” kata Vera, aktivis Yayasan Abdi Asih, kemarin.
Karena kualitas ‘barang’ lebih baik ketimbang lokalisasi lain, maka jangan heran jika tarifnya lebih mahal. Mereka mematok tarif antara Rp 75 ribu – Rp 150 ribu per jam.
Semakin muda dan cantik, semakin mahal pula tarifnya. “Terserah mau main berapa kali. Yang penting satu jam segitu,” ujar Dewi, salah satu PSK Dolly.
PSK-PSK itu berasal dari penjuru Indonesia. Ada yang datang dari Bandung, Bogor, Sukabumi, dan bahkan Kalimantan. “Sekarang yang lagi ngetrend dari Sukabumi. Ceweknya cakep-cakep, bersih, dan nggak rewel,” ujar Kartono, salah satu makelar PSK di Dolly.
Usia PSK di sini banyak yang masih ‘bau kencur.’ Dalam operasi yustisi yang sering dilakukan petugas memang lebih 17 tahun. Padahal, menurut Kartono, banyak PSK yang masih berusia di bawah 17 tahun. Bagaimana mereka bisa ada di sini meski masih belia?. “Semua bisa diatur mas. Sing penting lhak duwike. Nek onok dhuwik, opo sih sing gak isok diakali,” katanya sembari tersenyum. Banyak juga PSK yang ada di sana sebenarnya korban penipuan sindikat perdagangan anak. Salah satunya Dhani (17 tahun). PSK asal Blitar ini mengaku korban penipuan seorang lelaki yang dikenalnya di Terminal Bungurasih. Dua tahun lalu, ia nekat mengadu nasib di Surabaya karena kampung halamannya tak lagi bisa diharapkan. Tujuannya, bekerja di kawasan Perak di mana salah satu rekannya bekerja di sana sebagai karyawan toko. “Awalnya sedih. Tapi setelah dipikir-pikir, rasanya kok memang lebih enak. Banyak uang dengan sedikit keringat,” katanya sembari tertawa lepas.
Dalam sehari, biasanya ia melayani antara 2-3 tamu dengan tariff Rp 100 ribu. Uang yang didapat, kata dia, masih dipotong Rp 30 ribu untuk ‘maminya.’ Kalau dirata-rata, dalam semalam dia minimal mendapat Rp 140 ribu. “Kadang ada tamu yang baik dan memberi uang lebih,” katanya.
Meski sudah mendapat uang berlebih, ia bertekad untuk keluar dari Dolly setelah hutangnya pada pemilik wisma lunas. “Awal bekerja saya dikasih uang Rp 10 juta. Uang itu sudah habis untuk beli sapi, baju dan handphone,” tandasnya.
Dolly memang punya sejarah unik, lokasi strategis, dan cara menjajakan pelacur yang dramatis. Pada mulanya Dolly hanyalah kawasan pemakaman China di daerah pinggiran kota yang sepi. Tahun 1960-an, makam itu banyak dibongkar untuk dijadikan hunian.
Tahun 1967, seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina, Dolly Khavit, mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang Timur I. Lantaran dianggap sebagai perintis, Dolly kemudian diabadikan sebagai nama daerah itu. ”Dari hanya beberapa wisma, Dolly lantas berkembang menjadi kawasan pelacuran yang ramai tahun 1980-an,” kata Sugeng, mantan germo di Dolly.n kha/arz

Lokalisasi Jarak: Esek-eseknya Murah, Dan Lain-lainnya Bikin Kantong Jebol



Suasana lokalisasi Jarak di pagi hari.


Free Hit Counter

Lokalisasi prostitusi Putat Jaya berada satu kawasan dengan Dolly. Meski bersebelahan, namun masing-masing lokalisasi memiliki banyak perbedaan. Di antaranya; PSK yang praktek di lokalisasi Jarak umumnya sudah "STW". Dalam menjaring tamu, para PSK di Jarak juga cukup menampakkan dan menjajakan dirinya di depan wisma-wisma tinggalnya. Tak ada teriakan makelar menawarkan ‘barang’ sehingga lelaki hidung belang bisa lebih bebas memilih pasangan kencan.
Satu hal lagi yang membedakan kedua tempat pelacuran ini adalah tarif. Di Dolly berlaku harga pas, kalau pun bisa ditawar paling hanya bergeser sedikit saja dari harga semula. Sedangkan di Jarak dibutuhkan kemampuan tawar menawar. Rata-rata tarif sekali kencan dengan wanita di Jarak berkisar antara Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per jam.
Persamaan antara Dolly dengan Jarak adalah keduanya tidak berlaku short time maupun long time. Sebab, pembayaran dilakukan berdasarkan durasi. “Nggak masalah mau main berapa kali. Yang penting bookingnya per jam,” katanya.
Lokalisasi seluas 3 hektare ini, selain menyediakan kamar-kamar untuk check-in berukuran 1 x 2 meter, juga terdapat ruang karaoke. Di sini pelanggan bebas memilih lagu-lagu yang disukainya sambil ditemani menyanyi wanita-wanita itu.
Menurut data dari Yayasan Abdi Asih, sebuah lembaga sosial yang dikenal memiliki kepedulian melakukan pendampingan terhadap PSK, jumlah PSK di Jarak sebanyak 2.060 orang dan menempati 385 wisma. Angka ini, menurut Vera—Koordinator Abdi Asih--, kemungkinan besar terus bertambah sebab itu merupakan data tahun 2007.
“Faktor kemiskinan merupakan pemicu utama. Dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Ini sebuah angka yang fenomenal. Bayangkan, ada ribuan PSK di satu kelurahan yang sama,” tuturnya.
Lokasi yang strategis, tarif yang relatif terjangkau, dan banyaknya pilihan ‘barang’ menjadi magnet lokalisasi ini.
Salah satu pelanggan tetapnya adalah Winarso (40). Supir angkot yang ditemui Surabaya Pagi di sebuah warung kopi di kawasan Jarak ini mengaku jajan ke Jarak menjadi rutinitasnya sejak remaja. “Sudah kadung kepincut dengan suasananya. Saya kalau main ya di sini ini (Jarak, red). Pertama karaoke sambil minum bir, lalu nyarung,” katanya tanpa malu-malu. Nyarung merupakan istilah lazim bagi lelaki yang main dengan PSK di sini. Setiap kali berkunjung, ia harus merogoh kocek dalam-dalam. Sejak menginjakkan kaki hingga pulang, pengunjung lokalisasi memang harus mengeluarkan uang. “Mulai parkir, karaokenya, mbayar PSK untuk nemani karaoke, bir, nyarung, dan ke ponten. Nggak ada yang gratis mas di sini,” katanya seraya tertawa lepas. Paling tidak, setiap kali berangkat ia membawa sangu Rp 500 ribu. Dan itu, biasanya habis dalam semalam. Padahal, dalam sebulan ia biasanya datang ke Jarak bisa sampai 3 kali. “PSKnya memang murah. Dan lain-lainnya itu lho sing nggarai kantong jebol,’’ katanya.
Cerita Winarso dapat dijadikan gambaran betapa besarnya perputaran uang di lokalisasi ini. Jika satu PSK di Jarak melayani 3 tamu semalam dengan tarif rata-rata Rp 50 ribu, uang yang beredar Rp 309 juta. Jika dikalikan lagi dalam sebulan maka ketemu angka Rp 9, 27 miliar. Itu hanya perputaran uang jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman, makanan, dan lain-lain.

Taruhlah jika satu wisma menjual satu krat bir seharga sekitar Rp 250.000 per krat, maka total transaksi penjualan bir dari 385 wisma di Jarak mencapai Rp Rp 9.625.000 dalam semalam. Dan dalam sebulan ketemu angka Rp 2,8 miliar untuk penjualan minuman saja.
Tak hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat pada pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras lain.
”Cuci satu baju Rp 1.000, celana panjang Rp 1.500, satu singlet Rp 500. Satu
hari, saya bisa dapat Rp 30.000,” kata Narti (37), warga Putat Jaya yang
menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun terakhir.n kha/arz

Lokalisasi Moroseneng: Lebih Baik dari Jarak, Alternatif Wisata Seks setelah Dolly



MOROSENENG:Suasana di Moroseneng saat siang hari.


Free Hit Counter

Lokalisasi Sememi atau yang lebih dikenal Moroseneng merupakan lokasi favorit kedua setelah Dolly. Meski berada di kawasan pinggiran dan dekat perbatasan kota, namun tak menyurutkan niat lelaki hidung belang bertandang ke sana. Di akhir pekan, jumlah pengunjung di sana bisa mencapai ribuan. Ada yang sekadar minum-minum dan menikmati ‘pemandangan’, namun tak sedikit yang menjajal ‘barang’ yang konon kualitasnya setara dengan Dolly.
‘Moro’ dalam makna harfiah adalah datang, dan ‘Seneng’ adalah senang. Itulah janji yang ditawarkan pengusaha bisnis esek-esek di sana kepada pria hidung belang; Anda datang maka akan senang. Bagi mereka yang hobi berwisata seks mungkin janji itu tidak berlebihan. PSK-PSK yang ditawarkan di sini memang kualitasnya lebih baik ketimbang lokalisasi lain di Surabaya—selain Dolly--,tentunya. Usia yang masih muda, penampilan menggoda dengan tarif yang relatif lebih murah pasti membuat pria-pria iseng tergoda.
Salah satu PSK di sana adalah Rianti (27). Gadis asal Lamongan ini merupakan salah satu primadona di sana. Dalam sehari, ia mengaku mampu melayani antara 3-5 tamu dengan tarif Rp 75 ribu- Rp 100 ribu per jam.
“Kalau malam minggu bisa lebih dari biasanya. Itu nanti dikurangi setoran Rp 30 ribu untuk mami,” katanya singkat.
Meski tahu bahwa apa yang dilakoninya ini termasuk pekerjaan hina, namun ia merasa tak ada beban. Dia pun masih belum berpikir untuk hengkang dari lokalisasi ini meski sudah berada di sana sejak 5 tahun silam. “Sik ngelumpukno bondo mas,” katanya.
Cita-citanya sederhana yaitu ingin membuka wisma. Alasannya, apalagi kalau bukan karena ingin mendapat keuntungan besar dengan cara instan. “Saiki kerjo opo sing hasile isok podho ambek penggaweanku saiki. Nek onok sing podho, pasti aku leren,” katanya seraya tertawa lepas.
Ada lagi PSK bernama Siska (29) yang mengaku berasal dari Ponorogo. Di usianya yang hampir menginjak kepala 3 ini ia mengaku belum memunyai cukup tabungan untuk membuka usaha. Dia pun siap-siap menghadapi hukum alam di mana yang tua harus tersingkir oleh yang muda. Kini ia mencari-cari informasi untuk pindah ke lokalisasi Klakah Rejo yang berada tak jauh dari Moro Seneng.
“Siap-siap pindah mas. Kapene leren duwik yo sik durung gableg. Nek wis sugih ae aku leren,” katanya tanpa malu-malu.
Di belakang bangunan wisma yang berderet di sepanjang Jalan Moro Seneng juga terdapat lokalisasi Sememi. Karena lokasinya menyatu dengan Moro Seneng namun dari kualitas barang ada sedikit perbedaan. Di lokalisasi Sememi Gang I dan II, PSK yang sudah berumur di atas 30 tahun berbaur dengan PSK yang masih belia. “Orang tahunya Moro Seneng. Padahal ada perbedaan antara Sememi dengan Moro Seneng. Kalau Moro Seneng itu yang ada di wisma-wisma pinggir jalan, dan Sememi masuk gang,” kata Ahmad Haerun, Ketua RW setempat.
Jumlah PSK dan wisma di lokalisasi ini tergolang stabil. Sejak dulu, menurut Haerun, jumlah wismanya tak lebih dari 25 dan jumlah PSK-nya paling banyak 130 orang. Namun ia memprediksi tahun ini akan terjadi pengurangan. Sebab, hingga kemarin baru 50 PSK yang kembali setelah libur lebaran. “Nggak tahu ke mana mereka. Mungkin ada yang tobat dan mungkin pula ada yang milih freelance,” katanya.
Meski tak ada penambahan wisma dan PSK namun jangan dikira kompetisi di sini tak terjadi. Wisma-wisma yang ada di Moro Seneng dan Sememi berlomba-lomba merenovasi bangunan agar lebih menarik plus fasilitas tambahan lainnya. Bahkan ada salah satu wisma yang juga membangun parkir mobil khusus bagi pelanggannya. Tujuannya, apalagi jika bukan untuk memberi jaminan privasi. “Lokasinya kan di pinggir jalan besar. Kalau diparkir di depan wisma dan ketemu istri atau keluarganya bagaimana?,” ujar Mona, salah satu mami PSK sembari tertawa lepas.n kha/arz

Lokalisasi Klakahrejo: Tempat Terpencil, Kualitas ‘Barang’ Bikin Mata Mecicil



GEMUK YA: Inilah salah satu model PSK di lokalisasi Klakahrejo. Memang sih terlihat gemuk, tapi --menurut germonya--wajahnya mirip Nafa Urbach.


Free Hit Counter


Surabaya benar-benar dikepung dengan lokalisasi prostitusi. Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Surabaya, terdapat kompleks pelacuran di Desa Klakah Rejo, Kecamatan Benowo. Lokalisasi ini berada tak jauh dengan lokalisasi Moroseneng di Sememi yang terkenal itu. Meski berada di kawasan pinggiran dan perbatasan kota, namun kedua lokalisasi ini lebih baik ketimbang lokalisasi Dupak Bangunsari dan Tambakasri. Karena itu, kawasan ini biasa dikunjungi hidung belang kelas menengah yang memburu kenikmatan sesaat.
Namanya memang kalah popular dengan Moroseneng. Namun bagi lelaki hidung belang, ini merupakan salah satu lokalisasi favorit. Letaknya yang terpencil plus ‘barang’ yang relatif muda, sungguh menjadi magnet tersendiri. Memang, jika kurang teliti mengamati wilayah ini sulit membedakan mana yang rumah tangga biasa dan mana yang rumah yang dijadikan wisma PSK. “Karena itu enak njajan nang kene. Nek ketemon dulur, ngomong ae dolen nang konco,” ujar Adi—bukan nama sebenarnya--, salah satu pelanggan lokalisasi ini.
Wisma PSK di Klakah Rejo dipusatkan di Gang Barokah yang berada di wilayah RW II, Kelurahan Klakah Rejo, Kecamatan Benowo.
Di lokalisasi ini, sedikitnya terdapat 47 wisma dengan 167 PSK yang berusia antara 20-30 tahun dengan tarif antara Rp 50 ribu – Rp 100 ribu.
Namun beberapa tahun terakhir pamor lokalisasi ini meredup. Ini terlihat dari jumlah PSK dan wisma yang semakin berkurang.
Ketua RW II, Kuswadi mengatakan, pihaknya tak tahu pasti mengapa terjadi penurunan. Yang jelas, tahun lalu di lokalisasi ini sedikitnya masih ada 200 PSK yang menjajakan diri di 50 wisma yang ada.
“Mungkin saja merasa modal sudah cukup dan membuka usaha di kampung halamannya. Sekarang saja banyak yang masih belum pulang setelah libur lebaran,” katanya.
Pernyataan Kuswadi itu dibenarkan Titin (27), PSK Wisma Flamboyan.
Menurutnya, banyak rekan-rekannya sesama PSK yang mentas setelah merasa mengantongi cukup uang untuk membuka usaha. Gadis jebolan SMP ini pun mengaku akan melakukan hal serupa jika uang yang ia kumpulkan dari hasil menjual diri sejak lima tahun silam, itu cukup untuk membuka usaha.
Saat ini, ia sudah memiliki sebuah toko yang menjual kebutuhan rumah tangga di kampung halamannya di Blitar. “Alhamdulillah mas punya took. Sekarang lagi ngumpulin uang untuk membuka usaha lain,” katanya.
Menurutnya, menjadi seorang PSK merupakan pilihan terakhir setelah sebelumnya ia mencoba pekerjaan lain. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya, ia bekerja di sebuah warung makan. Menganggap beban kerja yang tak sesuai dengan uang yang didapat, Titin akhirnya keluar. “Pertama kerja di warung aku dibayar Rp 280 ribu sebulan. Dapat apa dengan uang segitu. Padahal, setiap bulan aku harus mengirim uang ke kampung untuk emak,” katanya.
Dia pun tergiur dengan tawaran seorang teman lelakinya yang menawarkan pekerjaan dengan penghasilan lima kali lipat. “Saya langsung tertarik dan mau saja diajak ke Moroseneng,” katanya.
Tak satupun keluarga dan rekannya di kampung yang tahu profesinya sebenarnya. Dia menutup rapat-rapat pekerjaan yang dianggapnya hina ini. Bahkan suaminya yang kini berada di Malaysia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pun tak tahu pekerjaan yang dilakoninya saat ini. “Suamiku tahunya aku kerja di Surabaya. Itu saja,” katanya.
Di lokalisasi ini ada banyak Titin-Titin lainnya. Mereka ada yang memang sejak awal berniat menjadi PSK, namun ada juga yang terpaksa karena kadung kebujuk. Ada yang sudah remaja, namun tak sedikit yang benar-benar masih belia.
Awal bulan Juli tahun ini, Polwiltabes Surabaya bahkan berhasil mengungkap penjualan
dua gadis di bawah umur yang melibatkan seorang sekretaris desa di Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan.
Modusnya, sekdes berinisial BD ini membantu memalsukan KTP dua gadis bernama Desi dan Ratna (keduanya nama samaran). Usia Desi diubah dari 16 tahun menjadi 22 tahun, dan usia Ratna diubah dari 17 tahun menjadi 23 tahun. Sebelumnya, kedua gadis itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.n kha/arz

Lokalisasi Kremil: Tahu Diri, Tak Marah Dibayar Seikhlasnya



SEPI: Ini suasana Kremil saat siang hari. Terlihat sepi meski ada beberapa PSK yang sudah mejeng. Tuh di dekat gapura ada salah satu PSK yang mejeng sambil asyik nelpon.


Free Hit Counter

Lokalisasi prostitusi Tambakasri ini juga disebut sebagai lokalisasi Kremil. Ini merupakan satu di antara 6 lokalisasi prostitusi di Surabaya yang masih eksis. Lokalisasi yang terletak di wilayah Kecamatan Krembangan, itu juga dikenal sebagai lokalisasi untuk warga kelas menengah-bawah. Maklum saja, tarif PSK di lokalisasi dengan jumlah PSK terbesar kedua setelah lokalisasi Jarak (versi Dinsos) ini memang relatif murah meriah. Cukup mengeluarkan uang antara Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu, syahwat pun terpuaskan.

Siang itu, Tutik (55) terlihat serius membersihkan halaman rumahnya yang berdebu. Ia pun semangat membersihkan kaca bening berukuran 2 x 3 meter yang terbungkus tembok depan rumahnya. Tutik adalah satu di antara sekian banyak mami PSK di lokalisasi yang juga biasa disebut Kremil itu. Tak ada papan nama di depan wisma yang sekaligus ia jadikan tempat tinggalnya. Yang membedakan rumah miliknya dengan rumah tangga biasa adalah di atas pintu masuk terdapat plat seng bertuliskan ‘Anggota TNI Dilarang Masuk.’
Tutik tergolong wajah lama di Tambakasri. Sudah sejak umur 20 tahun dia ‘terjebak’ di sini. “Kebujuk wong lanang,” katanya singkat.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia mengaku tak tahu apa-apa. Maklum, saat itu ia hanya gadis desa biasa yang mencoba mengadu untung di Surabaya. “Tahu-tahu diajak ke sini disuruh kerja di warung dan jualan bir. Lama-lama kok keterusan dan (maaf) jadi lonte,” katanya.
Tahun 1981, ia naik kelas menjadi germo sekaligus pemilik wisma bermodal uang tabungan selama jadi PSK. Wisma miliknya berukuran 6 X 10 meter, dengan dinding terbuat dari triplek. Ada 6 sekat ruang yang 5 di antaranya ia fungsikan sebagai kamar anak buahnya. Di teras rumah terdapat meja besar dan etalase sederhana yang ia gunakan berjalan nasi dan minuman ringan. “Meski elek, sing penting iso gawe ndelek duwek gawe nyambung urip,” katanya.
Meski begitu Tutik masih beruntung. Banyak rekan-rekan seusianya yang hingga kini masih menjajakan diri. Karena sudah kewut (baca:tuwek), tentu saja penghasilan yang mereka terima tak menentu. Memang, di Tambakasri dikenal sebagai lokalisasi khusus PSK kewut. Kalaupun ada yang ‘muda’ itupun berusia di atas 30 tahun. “Yang di bawah 30 tahun bisa dihitung dengan jari. Yang banyak di atas 40 tahun dan 50 tahun juga banyak,” kata Tutik.
Sri (35), salah satu PSK asal Madiun merupakan primadona wisma Tutik. Meski menjadi primadona jangan dibayangkan jika Sri bergelimang harta. Dalam sehari ia maksimal hanya mengantongi uang Rp 50 ribu dari hasil menjual diri. “Saya tidak memasang tarif mas. Hanya berharap kerelaan tamu saja. Dikasih berapapun saya terima. Namun pasarannya memang antara Rp 25 ribu – Rp 50 ribu,” kata Sri.
Menurutnya, lokalisasi Tambakasri semakin meredup. Saking sepinya, terkadang ia terpaksa mulai ‘praktek’ sejak siang bolong. “Mungkin aja ada yang mampir,” katanya.
Meski dianggap sepi, namun PSK yang masih bertahan di sana cukup banyak. Data tahun 2007 yang dilansir Dinas Sosial menyebutkan, jumlah PSK di Tambakasri mencapai 1.600 orang. Jumlah ini terbesar kedua setelah lokalisasi Jarak yang berisi 2.543 PSK. “Banyak yang seharusnya pensiun tapi tetap kerja. Makanya jadi yang terbanyak,” ujar Tutik dengan tawa lepas.
Namun data ini dibantah Sekretaris RW setempat, Agus Purnomo. Dari data yang ia miliki, jumlah PSK saat ini sebanyak 435 orang dan tersebar di 143 wisma. Setiap PSK-PSK itu dikenai retribusi atau yang menurutnya uang kontrol sebesar Rp 5 ribu. Hasil yang terkumpul digunakan untuk biaya operasional RW dan petugas keamanan.n arz