Rabu, Mei 28, 2008

Di Mana Kita



Free Hit Counter

Selasa, 27 Mei 2008. Seorang nenek yang diperkirakan berumur 75 tahun meninggal tepat di depan Mapolsek Wonokromo.
Menurut Kusnan, saksi mata, sejak pagi nenek itu memang sudah berada di lokasi kejadian dengan posisi tidur sembari memayungi tubuhnya.
Namun menjelang sore, saat diamati korban ternyata sudah tidak bernafas lagi sehingga langsung dilaporkan ke Polsek Wonokromo yang berada dibelakang lokasi kejadian.
Ironisnya, nenek yang diperkirakan pengemis itu besar dugaan meninggal karena kelaparan. Saat ditemukan, nenek itu dalam posisi tidur di bawah payung yang masih terbuka.
Kapolsek Wonokromo, AKP Nuriadi kesulitan mencari tahu alamat korban karena kondisi korban sendiri tanpa identitas.
Karena itulah selama beberapa jam sejak ditemukan meninggal,jenazah korban dibiarkan begitu saja sebelum akhirnya dibawa ke RSUD dr Soetomo.
Berita ini sangat menyedihkan. Di negeri yang katanya negeri agraris ini ternyata masih juga ditemukan orang yang meninggal karena kelaparan.
Yang menjadi pertanyaan dan patut kita renungkan bersama adalah; DI MANA KITA saat nenek renta itu meregang nyawa karena lapar. Saat nenek renta itu meregang nyawa, mungkin beberapa di antara kita sedang ketawa-ketiwi di starbucks. Di antara kita mungkin ada yang tengah antre di Mc D. Di antara kita, mungkin ada yang tengah menikmati sabu yang konon harganya saat ini Rp 1,5 juta untuk satu gramnya. Bayangkan jika kita membatalkan niat kita datang ke starbuck ketika dalam perjalanan melihat seorang nenek renta tidur di bawah payung. Mungkinkah kita sisihkan uang Rp 3 ribu untuk sekadar membuatnya kenyang. Tak terbayangkan kah oleh kita untuk mengajaknya ikut makan di Mc D bersama-sama. Atau tak terbayangkan kah oleh kita berapa banyak nasi bungkus yang bisa kita dapat dengan uang Rp 1,5 juta?
Meninggal karena bunuh diri minum racun serangga, masih mending karena memang kematian itulah yang diinginkan peminumnya. Namun meregang nyawa setelah menahan lapar yang hanya nenek itu saja yang tahu kapan terakhir ia makan, sungguh tak mungkin terbayangkan oleh kita.
Namun semuanya sudah terlambat. Nenek itu, kini mungkin lebih 'terjamin' hidupnya. Di alam barzah, mungkin baginya surga sementara karena ia tak perlu merasakan sakitnya saat lapar. Apa yang dialami oleh nenek itu, bukan hanya menjadi bahan renungan. Tapi juga tamparan. Betapa kita ternyata semakin tak peduli dengan sekitar kita. Betapa kita hanya mementingkan diri sendiri. Saatnya bagi kita untuk peduli dan berbagi...

Senin, Mei 12, 2008

Tentang Kami...



Free Hit Counter

Suatu ketika, dalam perbincangan lepas malam dengan seorang kawan Ia menceritakan betapa anaknya tak bisa tidur pulas tanya hembusan AC. Istrinya pun, kata dia, tak bisa nyaman di rumah tanpa ada lemari es. Mencuci, rasanya juga akan berat tanpa ada mesin cuci. Aku bangga karena teman yang mulanya aku anggap ekonominya pas-pasan itu ternyata bisa menyisihkan uangnya untuk membeli perabot-perabot yang aku sebut di atas. Setelah bercerita panjang lebar dan tak mungkin aku utarakan di sini, ia kemudian bertanya. "Bagaimana dengan kamu?" Aku tahu apa yang dia maksud.
Tanpa pikir panjang, Aku pun bercerita. "Aku nggak punya AC. Aku juga nggak punya mesin cuci dan lemari es," jawabku.
Ia tergelak dan menganggap aku berbohong. "Tapi itulah kenyataannya," kataku.
"Kalau AC, aku sih maklum. Tapi kalau nggak punya kulkas dan mesin cuci, nggak mungkinlah. Bagaimana dengan istrimu," cerocosnya.
Hidup tanpa AC, mesin cuci, dan kulkas memang suatu hal yang baru bagiku. Tapi itulah yang kurasakan dan ingin kubiasakan sejak 6 tahun terakhir. Tepatnya, sejak aku menikahi istriku dan mantap ingin memulai hidup baru.
Bukan tanpa alasan jika rumahku tak ber-AC, tak ber-mesin cuci, dan tak ber-kulkas.
Dengan AC, memang tidur anakku akan lebih pulas. Tapi ketika dia tidur pulas, aku pun tak sanggup untuk tak dekat dan mendekapnya. Kupastikan, aku pasti terlelap dan malas bekerja.
Dengan ber-kulkas, aku merasa hidupku akan lebih konsumtif. Sebab, tak mungkin kita biarkan kulkas kosong dan hanya mencetak bongkahan-bongkahan es. Jika ada kulkas, istriku mungkin tak seperti saat ini. Di mana ia selalu masak sesuai dengan kebutuhan sehari. Tak ada makanan tersisa dalam keluargaku dan dengan begitu istriku akan terbiasa berhemat. Tak ber-mesin cuci, bukan karena aku pelit mengeluarkan uang ketika rekening listrik pastinya ikut melonjak seiring makin seringnya mesin cuci digunakan. Aku hanya merasa, saat mencuci baju itulah aku,istri, dan anakku benar-benar berolahraga. Energi-energi yang dikeluarkan saat mencuci, aku yakini sama dengan berjalan kaki 5 kilometer.
Ritual saat mencuci baju, juga merupakan saat-saat bagiku untuk bersenda gurau bersama.
"Apa istrimu nggak pernah iri dengan tetangga," tanya temanku.
Aku bangga dengan istriku. Jangankan iri, tak terlintas sedikitpun di benaknya bahwa apa yang dimiliki oleh orang lain harus ia miliki juga. Meskipun terkadang seharusnya ia memang patut memiliki itu.
Ia terkesima dengan ceritaku dan kelihatannya ia tak percaya dengan apa yang aku utarakan tadi.
Aku, bukan tak mampu membelikan istriku barang-barang sering kusebut di atas. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, barang-barang itu bagiku bukan sebuah barang mewah yang kuanggap tak sanggup kubeli. Aku dan istriku hanya merasa, kami belum butuh itu dan tak ingin disibukkan dengan pikiran bahwa kami harus beli itu.